Elisa baru berbalik setengah badan saat mendengar suara Maria.
“Apakah Anda bisa menunggu sepuluh sampai lima belas menit? Saya akan menyiapkan bekal makanan untuk Anda.”
“Bekal?” tanya Elisa dengan satu alis naik. Dia tidak terbiasa membawa makanan dari rumah.
“Tolong tunggu sebentar. Duduklah, Nona. Akan saya siapkan.”
Tanpa menunggu persetujuan Elisa, Maria sudah lebih dulu bergerak ke belakang dan memanggil dua pelayan yang lain. Mereka bertiga tangkas bekerja, membuat dapur terlihat sibuk seketika.
Tadinya Elisa ingin menolak, tapi tak sampai hati mematahkan semangat Maria. Akhirnya, dia memutuskan untuk membuka ponselnya, melihat beberapa pesan di kotak email yang berisi
“Benar di sini tempatnya, Nona?” Pria berusia empat puluh lima tahun itu menoleh ke belakang, memastikan jawaban Elisa sebelum membawa barang-barang memasuki mall Glory, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota tempat diselenggarakannya pameran dan fashion show.“Ya. Tolong bawa barang-barang ini ke lantai dua. Stand nomor B8, ambil kiri dari lift khusus staf. Ini ID card-nya. Masuklah dulu, aku harus menelepon seseorang.”“Baik, Nona.”Tanpa menunggu lama, pria itu mendorong troli berisi perlengkapan pameran memasuki mall, meninggalkan Elisa yang sibuk dengan ponsel di tangan.“Sera, kamu di mana?”“Aku sebentar lagi sampai. Kamu sudah ada di sana?
“Akhirnya selesai juga!” teriak Sera sambil meluruskan kakinya dan membuang napas kasar dari mulut. Dia lega karena stand milik Elisa selesai, masih ada waktu tiga puluh menit sebelum pembukaan acara dimulai.“Aku terkejut dengan pemberitahuan tiba-tiba itu. Untung saja semua sudah kamu siapkan semalam.”“Benar. Untung saja masih terkejar.”Sera berdiri dan mendekat ke arah Elisa, memeluknya erat-erat.“Elisa, aku benar-benar takut kamu gagal di pameran ini dan harus mengulang semester depan atau bahkan tahun depan. Kita masuk sama-sama, jadi harus selesai bersama!”Sebuah senyum terukir di wajah Elisa, menepuk-nepuk punggung Sera.
“Kamu belum sarapan?” tanya Bastian setelah mendengar perut Elisa berbunyi, mengalihkan perhatian mereka dari ponsel dan foto-foto yang diambil dua menit yang lalu.Elisa membenahi helai rambut ke belakang telinga sambil tersenyum canggung. Meskipun pagi ini duduk bersama Stevan, tapi dia tidak benar-benar makan. Pikirannya penuh susunan kata untuk mengajak pria itu menghadiri fashion show-nya. Namun, penolakan yang didapatkan.“Karena outlet makanan di sini belum siap, aku akan keluar untuk—”“Tidak perlu!” cegah Elisa dengan tergesa. “Aku punya makanan di sini,” ucapnya sambil membuka laci dan mengeluarkan bekal makanan yang Maria buatkan.“Mau makan bersama?” tawar Elisa sambil menatap jam mungil di pergelangan tangannya. Masih ada waktu dua puluh lima menit sebelum pembukaan pameran.Senyum bahagia terukir di wajah Bastian, tidak akan menolak ajakan Elisa. Kebetulan dia juga belum makan apa pun, tergesa datang ke sana demi memastikan terlaksananya acara.Pria dengan kemeja kotak-k
Manager operasional itu tampak menahan rasa kesal. Ekspresinya mengeras. Tapi ia lantas mengangguk patuh pada atasannya. Dengan disertai embusan napas kasar, pria itu meninggalkan ruangan Clara dan langsung turun ke lantai dua. Isi kepalanya riuh oleh berbagai pemikiran, mencari alasan yang tepat untuk disampaikan pada pemilik stand pameran yang mungkin akan melontarkan protes padanya. Saat tiba di lantai dua, manager yang sudah bekerja untuk Clara selama lebih dari tiga tahun itu melihat sebuah baliho yang menampilkan informasi pameran dan fashion show pekan depan. Dia akan menggunakan alasan itu untuk ‘mengusir’ orang yang tidak diinginkan atasannya. Tanpa membuang waktu, empat orang staf segera dipanggil dan diminta membawa media promosi itu untuk mendekati booth milik Elisa. Pergerakan yang tiba-tiba itu cukup menyita perhatian, termasuk Sera dan Elisa yang sedang membicarakan beberapa hal. “Siapa pemilik stand ini?” tanya manager operasional sambil menoleh ke kanan kiri, berg
Elisa kehilangan semangatnya, menatap stand baru miliknya yang sedikit terpisah dari stand milik teman-temannya yang lain. Semarah apa pun, tidak ada yang bisa dia lakukan. Lagi pula, pembukaan acara hanya tinggal hitungan menit.“Elisa, kamu baik-baik saja? Ada yang luka?”Bastian mendekati Elisa dan berjongkok di depannya, meraih tangan Elisa yang sedari tadi menopang bobot tubuhnya ke lantai.“Bas ….”“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja,” kata Bastian menenangkan. “Ayo.”Bastian merengkuh bahu Elisa, membuat tubuhnya tak lagi berjarak dengan gadis itu. Dia tidak memedulikan urusan lain. Hal terpenting saat ini adalah mengamankan Elisa dari orang-orang yang masih memandanginya.Sera menyusul di belakang. Gadis itu membawa sebotol air mineral, memberikannya kepada Elisa setelah duduk di stand baru miliknya yang masih sedikit berantakan.“Minum dulu, El.”Elisa menggeleng, sama sekali tidak berselera makan atau minum. Pikirannya saat ini masih sedikit terguncang, heran dengan pi
Seorang pria berkulit putih dengan mata sipit muncul setelah memutar kursi. Sebuah senyuman hangat terpatri di wajahnya yang tak lagi muda. “Long time no see, Steve!”Pelukan hangat dan tepukan berkali-kali mendarat di punggung Stevan bersama tawa yang menggema memenuhi ruangan. Pria itu menantikan pertemuannya dengan adik tingkat yang beberapa tahun ke belakang bertransformasi menjadi rekan bisnisnya yang begitu berharga.“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu? Kamu sudah benar-benar pulih sekarang?”Stevan menyunggingkan senyum simpul saat Thomas mengamati penampilannya dari ujung kaki hingga kepala. Tampak kebahagiaan yang tulus di wajah pria itu.“Seperti yang kau lihat, aku masih bernapas.”Lagi-lagi Thomas tertawa, kali ini menepuk lengan tamunya dan mengajaknya duduk.“Aku ikut senang mendengar kamu siuman. Aku bahkan ingin datang menemuimu ke sana, tapi kamu tahu, tidak banyak waktu yang aku punya.”“Aku tahu. Itu sebabnya aku yang mendatangimu ke sini.”“Ah, ya. Ada apa? Kamu butuh
“Apa katamu? Stand baru itu lebih ramai dibandingkan yang lainnya?!” Clara sampai terlonjak dari kursi saat mendengar penuturan salah satu karyawannya yang ditugaskan mengawasi pameran. “Benar, Nona.” “Bagaimana bisa?!” Tanpa menunggu penjelasan pria itu, Clara sudah lebih dulu meninggalkan ruangannya. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari, wanita itu menyibak kerumunan di eskalator dan langsung turun ke lantai tiga, satu tingkat di atas pameran seni Elisa dan teman-temannya. Clara berdiri sambil mencengkeram pagar kaca berbingkai besi di depannya, menatap stand Elisa yang dipadati oleh pengunjung. Padahal, dia sudah menempatkan gadis itu di bagian paling tidak strategis. Bisa dipastikan, tidak ada satu pun pengunjung yang berjalan ke sana. “Bukannya kemarin tidak ada satu pun pengunjung?!” Clara belum percaya dengan penglihatannya, mendengkus kesal melihat kesuksesan Elisa. “Benar, Nona. Dari pagi hingga malam, tidak ada satu pun yang melewati stand itu. Daftar pengunju
“Yo design?!” Clara menggeram kesal ketika menyadari siapa pemilik logo yang sejak tadi tampak familiar itu.“Yohan!”Clara mengembalikan tablet di tangannya dengan gerakan yang kasar, tidak peduli pandangan beberapa orang yang ada disekitarnya.“Sial!”Terdengar gemeletuk gigi Clara yang saling beradu satu sama lain bersama kedua tangan yang terkepal erat di samping badan.“Stevan … jadi ternyata diam-diam kamu membantu Elisa!?” Clara berdecak lirih, merasa dibodohi oleh sikap acuh tak acuh Stevan. “Kamu bodoh atau memilih berpura-pura tidak tahu kalau wanita itu menyelingkuhimu, hah?!”C
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli