“Yo design?!” Clara menggeram kesal ketika menyadari siapa pemilik logo yang sejak tadi tampak familiar itu.
“Yohan!”
Clara mengembalikan tablet di tangannya dengan gerakan yang kasar, tidak peduli pandangan beberapa orang yang ada disekitarnya.
“Sial!”
Terdengar gemeletuk gigi Clara yang saling beradu satu sama lain bersama kedua tangan yang terkepal erat di samping badan.
“Stevan … jadi ternyata diam-diam kamu membantu Elisa!?” Clara berdecak lirih, merasa dibodohi oleh sikap acuh tak acuh Stevan. “Kamu bodoh atau memilih berpura-pura tidak tahu kalau wanita itu menyelingkuhimu, hah?!”
C
“Good job, Elisa!” puji Bastian sambil mengulurkan soft drink ke arah Elisa, membuat gadis yang sedang duduk santai dengan Sera menoleh seketika. Mereka saling pandang untuk beberapa detik lamanya. Sekarang waktunya istirahat. Setidaknya sampai tiga puluh menit ke depan, tidak akan ada pengunjung yang mendatangi stand mereka. “Ambillah. Ini untuk kalian berdua.” Bastian menatap Elisa dan Sera bergantian, lebih mendekatkan minuman dingin itu kepada kedua mahasiswi di depannya. Tangannya yang lain meletakkan kantong plastik berisi rice bowl di atas meja, santap malam untuk mereka bertiga. “Terima kasih,” ucap Elisa lirih, berusaha menyembunyikan binar di matanya karena kebaikan Bastian. Namun, semburat kemerahan di pipi tak bisa dienyahkan begitu saja. Elisa sampai menahan napas, meredam rasa gugup karena Bastian menatapnya lekat-lekat. Sera yang sedari tadi diam, tidak bisa menahan senyum melihat interaksi Elisa dan Bastian yang malu-malu tapi mau. Terlihat jelas keduanya saling
“Elisa, tunggu!”Kali ini Sera yang menghalangi jalan gadis itu, berniat meminta penjelasan. Belum pernah dia melihat Elisa sepanik sekarang. Bahkan ketika booth-nya dipindahkan tiba-tiba, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan raut wajah Elisa saat ini.“Apa yang terjadi?” tanya Sera, terlihat khawatir.“Sera, tolong bereskan barang-barang milikku sebelum kamu kembali ke stand sendiri. Aku harus pergi sekarang.”Tanpa menunggu jawaban Sera, gadis itu lebih dulu berlari bersama Mario. Mereka bahkan terlihat tidak sabar menunggu lift, sampai akhirnya memutuskan beralih memakai eskalator dan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalan.Hingga punggung Elisa menghilang,
“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Elisa kepada seorang dokter yang sesaat lalu memeriksa Stevan. Stetoskop yang semula menempel di dada dan perut Stevan, kini dilipat dan disimpan kembali ke dalam tas kerja.“Dari hasil pemeriksaan awal, kemungkinan suami Anda terkena gastroesophageal reflux disease atau GERD. Bahasa mudahnya, ada gangguan dalam sistem pencernaannya yang menyebabkan asam lambung naik ke kerongkongan.”“Apakah itu berbahaya, Dok?” kejar Elisa tergesa. Dia pernah mendengar jenis penyakit itu, tapi tidak tahu akan menimbulkan gejala hebat seperti yang Stevan alami. Pria itu terlihat sangat kesakitan, bahkan kehilangan kesadaran.Dokter berusia paruh baya itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Sebenarnya, GERD umum terjadi pada pencernaan manusia, baik tua, muda, laki-laki, maupun perempuan. Namun pada beberapa orang, bisa menimbulkan risiko yang lebih parah karena adanya masalah tersendiri dengan kesehatan mereka.”Elisa meremas jari-jarinya, tidak bisa me
Elisa mengerjapkan mata, tercenung melihat aksi tiba-tiba itu. Ia menatap Stevan yang masih terpejam, menandakan kalau pria itu belum sadar. Ternyata dia mengigau. Stevan mendekap tangan Elisa erat-erat di depan dada, tak mengizinkan gadis itu bergerak sedikit pun dari sisinya. “Stevan …” “Aku tidak akan meminta apa pun. Tolong tetap di sini.” Satu bulir air mata keluar dari kelopak mata yang masih terpejam, membuat Elisa tidak tega menarik tangannya. Terlebih, suara Stevan yang begitu parau menambah rasa iba untuknya. Pria itu memang belum mendapatkan kesadarannya, tetapi yang diucapkan jelas menyuarakan keinginan yang tersimpan di alam bawah sadarnya. Beban yang selama ini disimpan seorang diri. “Bagaimana ini?” Elisa bimbang. Melihat wajah Stevan yang diliputi aura kesedihan, membuatnya tidak bisa mengabaikan pria itu. Terlepas dari luka dan sakit hati selama menjadi istrinya, Elisa merasa memiliki tanggung jawab kepada suaminya. Namun, urusan tugas akhir juga menggangguny
“Jam berapa ini?” gumam Elisa sambil meraba-raba jam digital di atas nakas. Wanita itu sibuk mengucek mata, berusaha mengumpulkan nyawa. Tubuhnya menegang saat menyadari tempatnya berada. “Bukankah ini kamar Stevan?! Kenapa ….” Elisa menoleh ke samping dan mendapati Stevan masih terlelap. Kepanikan semalam kembali terbayang. Beberapa tetes darah yang tercecer di selimut putih membuat Elisa terlonjak saat itu juga. “Astaga jarum infusnya terlepas!” seru Elisa sambil beranjak bangun dari posisinya, meraih tisu dan membersihkan darah di tangan Stevan. “Ceroboh sekali. Kenapa aku bisa tertidur saat menjaganya?!” Elisa berlari ke sisi lain kamar, meraih kotak P3K dengan cepat dan menutup luka itu dengan plester. “Apa demamnya sudah turun?” tanya Elisa sambil menempelkan punggung tangannya di kening Stevan. Kelegaan terlihat detik berikutnya. Suhu tubuh Stevan sudah normal. Terdengar ucapan syukur berkali-kali dari mulut Elisa bersama embusan napas yang menunjukkan kelegaan. Tangannya
“Astaga!” Elisa mulai jengah dengan sikap Sera yang selalu ingin tahu kehidupan pribadinya. “Tidak bisakah kita memikirkan fashion show saja? Apa yang terjadi di sini?!”Sera susah payah mengendalikan emosinya, menekan rasa ingin tahu yang membuatnya hampir gila. Dia kehilangan Elisa yang dulu, bahkan merasa gadis itu menyimpan banyak rahasia darinya.“Karena kamu tidak mau mengatakannya, lebih baik aku bicara dengan Bastian.”Sera tidak bisa mencegah kepergian Elisa. Dia menyadari kesalahannya yang sudah terlalu ikut campur dengan kehidupan pribadi gadis itu. Padahal, dia hanya khawatir dan takut Elisa bertemu pria yang salah.Bastian segera menjelaskan apa yang terjadi. Dia mengumpulkan Elisa bersama mahasiswa lain untu
Tubuh Elisa membeku menatap pria dengan balutan busana rancangannya kini berdiri di belakang keempat model lainnya.“Stevan?” gumam Elisa hampir tanpa suara, mengenali punggung itu sebagai pria yang dirasa sangat amat tidak mungkin muncul di sana. “Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Itu pasti bukan dia!”Gadis itu masih belum bisa bergerak, terus menatap tanpa berkedip pada pria yang menyembunyikan sebagian wajahnya di balik topeng ala pesta.“Elisa, persiapkan dirimu!”Sera muncul, mengalihkan atensi Elisa dan menghapus keringat dingin di kening. Setelahnya, dia sibuk mengoleskan pewarna bibir untuk menyembunyikan wajah pucat sahabatnya.“Ayo! Giliranmu keluar set
Langkah Stevan terhenti. Beberapa orang menghadangnya, meminta berfoto bersama. Meski pria itu berusaha menolak, tapi dia tetap terjebak di antara gadis-gadis yang sedari peragaan busana tadi terus memusatkan perhatian padanya.Hanya tinggal dua langkah lagi, Elisa bisa menggapai punggung Stevan. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada pria itu. Bagaimana keadaannya? Ada demamnya benar-benar sudah turun? Kenapa dia bisa ada di sini?“Selamat, Elisa! Aku sangat bangga padamu!”Uluran tangan Elisa yang sedianya hampir menyentuh punggung Stevan, justru tak pernah sampai. Bastian tiba-tiba datang dan memeluknya begitu erat, bahkan membuat gadis 22 tahun itu kesulitan bernapas.Pria dengan topeng di wajah melirik sekilas, tapi tida
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli