Stella terisak. Air mata kembali jatuh membasahi wajah yang terlihat tirus dan tertekan.“Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Mama … Mama pergi meninggalkanku sendirian. Dia menghilang tanpa jejak, juga tanpa kata perpisahan. Sudah beberapa minggu ini aku berusaha menghubungi dan mencarinya, tapi dia tidak ada di mana pun.”“Hah?!”Alex tidak lantas percaya. Dia merasa penuturan Stella aneh.“Bagaimana bisa kamu kehilangan ibumu? Bukankah kalian selalu bersama?” Anggukan terlihat bersama jemari Stella yang kembali menghapus bulir hangat yang menembus pertahanannya.“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Mama terlihat sangat sibuk beberapa hari terakhir saat kami masih bersama. Dia pergi dengan tergesa, tapi akan pulang saat malam. Atau terkadang, dia pergi tengah malam dan kembali keesokan harinya.”Stella menyusut hidungnya yang berair dengan tisu.“Awalnya aku pikir Mama pergi seperti biasa dan akan kembali dalam beberapa hari. Mungkin ada urusan bisnis yang tidak aku menger
“Apa yang Mama lakukan?!”Alex yang terkejut, spontan bertanya dan menatap Shana dengan wajah penuh tanda tanya. Keributan tak terduga itu jelas membuat kepalanya penuh oleh berbagai pemikiran yang tidak jelas pangkal ujungnya. Di sisi lain, Stella yang tidak mengantisipasi tamparan dari Shana, kehilangan pijakan dan mundur beberapa langkah. Tubuhnya limbung, hampir luruh ke lantai jika tidak berpegangan pada lengan kursi.“Aku tidak tahu apa yang membuat Mama jadi seperti ini. Kepalaku hampir pecah melihat keributan kalian yang tidak aku tahu penyebabnya.”“Alex, dengar. Aku hanya berusaha—”“Diam kamu!”Stella baru membuka mulutnya, bersiap melayangkan protes dan membela dirinya di depan Alex, tetapi Shana lebih dulu menyela. Kilat tajam tampak di matanya yang dipenuhi kemarahan.“Kamu benar-benar gadis yang tidak tahu malu. Sama seperti ibumu!”Alex menatap ibu dan mantan kekasihnya bergantian. Dia sama sekali tidak tahu ada konflik apa di antara keduanya.“Jika bukan karena keser
Musik menghentak terdengar memekakkan telinga saat Alex menginjakkan kaki di sebuah kelab malam elit yang selama ini menjadi tempatnya menghabiskan waktu dan bersenang-senang.Dengan wajah suntuk penuh beban, Alex sengaja mendatangi tempat itu, berharap bisa membuang penat. Setidaknya dia bisa melupakan masalah tentang Clara dan Stella, juga tuntutan ibunya yang meminta solusi atas badai yang tengah mengepung mereka.Namun, harapan Alex tak semudah itu menjadi nyata. Alih-alih melupakan masalah yang membuat kepalanya nyaris meledak, justru hal menjengkelkan yang harus dia dapatkan.“Hoho, lihat siapa yang datang,” ucap seorang pria dengan jaket kulit yang pertama kali melihat kedatangan Alex. Senyum miring tampak di wajahnya, tidak menyangka terduga tersangka pembunuhan
“Alex, bangun!” Clara berusaha menjaga nada bicaranya meski dalam hati terkejut luar biasa. Di hadapannya, tampak seorang pria dengan jaket kulit warna hitam yang tidur terlentang di atas jalan raya. Matanya terpejam seperti kehilangan kesadaran. “Alex!” Seruan Clara semakin keras, tapi tak ada pergerakan dari Alex. Bahkan, membuka matanya saja tidak. Jarak yang masih tersisa beberapa langkah membuat Clara meragu. Detik berikutnya, Clara yang panik karena Alex tetap bergeming di tempat seolah nyawanya tidak lagi bersatu dengan raga, langsung menghampirinya. Napasnya tercekat di tenggorokan, membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang terjadi kepada pria itu. Tangan Clara terulur, hendak menyentuh lengan Alex. Namun, gerakan itu terhenti saat hanya berjarak satu jengkal saja. Keraguan menyergapnya, mengingat interaksi Alex dengan seorang gadis muda siang tadi. “Bodoh!” umpat Clara sambil tertawa, menertawakan dirinya sendiri. “Untuk apa memedulikannya? Aku bukan siapa-siapa,” imb
WARNING! ADULT CONTENT! TIDAK UNTUK DITIRU, KECUALI PASANGAN SUAMI ISTRI! “Mati? Kamu ingin mati?” Mendengar pertanyaan putus asa dari Alex, hati Clara terasa nyeri luar biasa. Ada satu jarum tajam yang seolah menghujam tepat di ulu hatinya, memberikan rasa sesak bersama sakit yang tak terkira. “Kalau mau mati, mati saja! Kenapa harus mati di depanku?!” ketus Clara sambil menghempas tangan Alex sekuat tenaga. Matanya berkaca-kaca. Sejujurnya, gadis itu ikut terluka melihat apa yang terjadi. Ke mana pria muda penuh percaya diri yang selama ini dia kenal? Alex yang saat ini ada di hadapannya benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda. Clara tidak pernah mengira seorang Cassanova seperti Alex akan berada di titik ini, di mana dirinya kehilangan segalanya, termasuk pesonanya yang memikat. “Aku menyesal sudah membawamu pulang ke apartemenku!” Clara yang tidak bisa lagi menahan luapan emosinya, memilih berteriak sekuat tenaga. Suaranya parau dan gemetar, menunjukkan dia tidak su
“Benarkah ini nyata atau hanya mimpi saja?” gumam Alex lirih sambil menatap wajah cantik di depannya yang masih memejamkan mata.Bayangan adegan panas semalam kembali terbayang di kepala Alex Wijaya, membuat hatinya menghangat dan memancing sudut bibirnya untuk tertarik ke atas. “Ternyata, masih ada pelangi yang bisa kulihat setelah badai besar menghantamku,” gumamnya lebih lanjut, mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Clara, mengelusnya penuh cinta. Matanya berkaca-kaca, mengingat kembali betapa hancur hidupnya sekarang.Tak terasa, satu bulir luruh menjebol pertahanan Alex, membuatnya terisak dan langsung membalik badannya. Sebagai seorang pria, jujur saja dia malu jika tertangkap basah harus menangis di depan gadis pujaannya.Pergerakan Alex yang tiba-tiba, membuat tidur lelap Clara terusik. Dia mengerjap matanya beberapa kali, berusaha mengumpulkan nyawa.Saat penglihatan Clara benar-benar jelas, Alex sudah berdiri di balkon sambil bersedekap. Pria itu menarik napas dalam berka
“Kasus ini resmi ditutup. Terima kasih atas kerja sama Anda, Tuan. Jika ada yang Anda butuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi kami.”Dua orang detektif yang selama ini diandalkan oleh Stevan dalam penanganan kasusnya dua bulan ke belakang, menghubunginya pagi-pagi buta untuk sekadar mengonfirmasi bahwa tugas mereka sudah selesai.Selain mengucapkan terima kasih atas bonus yang Stevan berikan melalui Mario, mereka juga memberi kabar tentang bebasnya Alex.“Alex sudah bebas?” tanya Elisa setelah memastikan panggilan telepon dua arah itu terputus dan Stevan meletakkan ponselnya. Meski tak ikut berbincang, Elisa mendengar setiap percakapan itu karena suaminya mengaktifkan fungsi pengeras suara.“Hmm. Dia keluar kemarin siang.”“Kemarin siang?” beo Elisa, memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik.“Hmm.”“Di mana dia tinggal sekarang? Bukankah seluruh aset atas nama Harris maupun Shana sudah disita semua? Rasa-rasanya, aku tidak melihat dia pulang ke rumah Mama.”Alih-alih menja
Cup!Mata Elisa terbelalak dengan napas tercekat di tenggorokan. Dia belum selesai bicara saat bibirnya dibungkam paksa oleh Stevan yang dengan semena-mena melesakkan lidahnya juga. Tangan pria itu yang terbebas, mencengkeram kedua pinggang istrinya erat-erat.“Berhenti membahas mereka atau aku akan membuatmu bungkam dan hanya bisa mendesah sambil menyebut namaku!” ancam Stevan sambil menunjukkan senyum miring di sudut bibirnya. “Bagaimana? Pilih mana?”Elisa yang kesal, mendorong tubuh Stevan. Bibirnya mengerucut. Dia segera pergi dari hadapan sang suami sebelum terjadi hal-hal yang diinginkan.Stevan terkekeh. Dia tidak sepenuhnya marah kepada Elisa, justru sekarang dibuat gemas melihat wajah cantik si bumil yang tersipu. Mereka bukan lagi pengantin baru, tapi Elisa benar-benar masih malu-malu.Tidak ada interaksi berarti saat di meja makan. Elisa fokus melayani Stevan yang harus mendapat telepon dari Renata. Wanita itu membahas beberapa urusan bisnis yang membuat Stevan mau tidak ma
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli