“Dasar gila!” sengit Clara sambil menarik tangannya dari cengkeraman Alex. Matanya berkilat penuh amarah, berharap bisa menelan hidup-hidup pria di hadapannya. Sosok buas yang membuatnya terpuaskan, tapi juga pegal-pegal seluruh badan.
“Ayolah, Honey. Aku—”
“Jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu. Menjijikkan!”
Bukannya berhasil menemui Stevan, Clara justru bertemu Alex yang membuat mood-nya semakin jelek. Tampang bodoh pria berusia seperempat abad itu membuatnya muak. Bayang-bayang kejadian semalam gagal dienyahkan dari pikirannya. Jantungnya justru berdegup kencang, ingin mengulanginya.
‘STOP IT, CLARA?! ARE YOU CRAZY?!’ batin Clara saat pikirannya kembali teringat bahwa dirinya begitu terpuaskan semalam.
“Kamu mengancamku, hah?!” tantang Clara, menaikkan dagu untuk menatap Alex yang sepuluh sentimeter lebih tinggi darinya. “Kamu pikir aku takut pada anak kecil sepertimu? Semua yang kamu pakai itu pemberian ayah dan nenekmu. Bagian mana yang bisa kamu banggakan?!”Alex tak menjawab, memasang telinga dan matanya baik-baik. Dia menikmati amukan Clara dan semua hinaan yang diucapkan. Baginya, wanita itu terlihat begitu menggemaskan dan lucu. Tidak ada orang yang berani menceramahinya panjang lebar kecuali Harris dan Shana.“Kamu tahu? Aku benar-benar muak melihat wajahmu. Jangan pernah bermimpi untuk memilikiku karena aku hanya tertarik pada Stevan. Kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan pamanmu itu, hey, Anak Kecil. Dia begitu sempurna. Sosok yang tepat untukku!”“Ah, jadi kamu
“Sial!” umpat Clara sambil menuruni anak tangga pendek di luar gedung pencakar langit bertuliskan Wijaya Group. Punggung tangannya berkali-kali menghapus jejak bibir Alex yang seolah tidak bisa dihilangkan bagaimanapun caranya.“Anak kecil itu mengerjaiku, membuatku hampir gila rasanya!”Gemeletuk heels Clara menyentuh lantai dengan keras, menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berpapasan. Namun, wanita itu tidak peduli. Rasa kesal di hatinya lebih besar dari rasa malu maupun image yang perlu dijaga.Selain gagal bertemu Stevan, Clara justru sudah mempermalukan dirinya di depan Alex yang notabenenya tidak pernah masuk dalam perhitungan masalah asmara.“Aku pasti sudah gila karena menikmati ciumannya!”
“Bagaimana?” Stevan mengangkat telepon dari Mario, membuatnya terpaksa harus berjalan ke beranda kamar Elisa, takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap.Entah karena efek multivitamin yang diminum atau kelelahan, Elisa sudah tertidur sejak pukul delapan malam. Sekarang ini, delapan jam berikutnya, dia belum juga terbangun dari mimpi indahnya.“Sesuai permintaan Anda, semua berjalan lancar.”“Apa yang terjadi?”“Kemarin siang Nona Clara datang dan ingin bertemu dengan Anda. Namun, seseorang melihatnya pergi ke tangga darurat bersama Tuan Alex.”“Alex?!”“Ya. Dia terlihat begitu murka saat meninggalkan p
“Elisa, apa yang ingin kau lakukan hari ini?”“Hari ini?” beo wanita hamil yang saat ini menampilkan kening berkerut-kerut, menatap heran ke arah Stevan.“Ya.”“Bukannya kamu harus pergi bekerja? Kemarin saja kamu sudah—”“Katakan saja apa yang kau inginkan. Aku akan mewujudkannya.”Elisa tampak berpikir sejenak. Tidak ada yang dia inginkan. Tubuhnya masih terasa lemah dan dihantui rasa kantuk meski sudah cukup tidur.“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu tidak mau pergi ke kantor? Apa Jasmine berpesan sesuatu padamu? Terjadi sesuatu dengan tubuhku? Apa mereka baik-baik saja?” cecar Elisa sambil mengelus peru
“Aku pergi, Sayang,” pamit Stevan esok harinya setelah dua hari menghabiskan waktu bersama Elisa. Keduanya berdiri di beranda, dengan tangan Elisa yang masih bergelayut manja di lengan sang suami.Alih-alih melepaskan tangan Stevan, Elisa justru menggeleng sambil memanyunkan bibirnya. Dia merasa berat melepas Stevan bekerja.“Tidak bisakah kamu bekerja dari rumah lagi seperti kemarin?” bujuk Elisa sambil membuka kancing jas Stevan dan memeluk pria itu erat-erat.“Hmm? Kenapa?”Stevan mencoba melepas pelukan wanita itu, tapi gagal. Mau tidak mau, akhirnya dia hanya bisa membalas pelukan Elisa sambil menghadiahkan kecupan mesra di ujung kepala.“Kenapa kamu jadi manja sekali seperti ini, Sweety?”Elisa tak menjawab, menggeleng-gelengkan kepalanya.“El—”“Anak-anak tidak mengizinkanmu pergi hari ini. Mereka masih ingin bermain denganmu. Pokoknya kamu harus di rumah menemani kami bertiga. Titik!”Gelak tawa Stevan terdengar berikutnya. Elisa terlihat begitu menggemaskan, persis seperti an
Lambaian tangan wanita hamil itu terlihat sampai mobil Stevan melewati pintu gerbang. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya yang mulai terlihat semakin berisi. Meskipun Stevan terlihat dingin dan mengerikan di luar, tapi pria itu begitu lembut padanya dan anak-anak. Satu hal yang membuat Elisa merasa begitu bersyukur bisa bersanding dengan pria itu.Tak banyak yang Elisa lakukan pagi menjelang siang. Dia kembali tenggelam di dalam perpustakaan dan menikmati buku-buku bisnis milik Stevan. Entah sejak kapan wanita itu tertarik dengan dunia yang dulu tidak pernah terpikirkan olehnya.Saat matahari tepat berada di atas kepala, Elisa justru tertidur di sofa sambil memegang buku hitung-hitung keuangan yang dulu sempat dipelajarinya bersama Stevan. Sementara itu, tak jauh dari sana ketegangan terjadi di kediaman utama keluarga Wijaya. Harris memasuki rumahnya dengan wajah merah padam menahan marah.“Alex! Keluar kamu bocah sialan!” teriaknya sambil menggebrak pintu utama, membuat Shana y
“Seperti dugaanmu, Harris menerima penawaran dariku tanpa membaca kontraknya. Dia benar-benar bodoh atau apa?”“Bukankah sudah kukatakan sejak awal? Pria tamak seperti dia, akan tumpul logikanya jika dihadapkan dengan uang,” balas Stevan sambil terkekeh.Thomas mengangguk setuju. “Kamu benar. Pantas saja dia tidak layak menjadi CEO Wijaya Group.”Stevan tak menjawab, hanya menyeringai.“Bagaimana? Apa lagi yang bisa aku lakukan untukmu, Steve?” tanya Thomas setelah hening beberapa detik. “Tidak ada.”Thomas berdecak sebelum berucap, “Ada satu hal yang tidak kumengerti, Steve.”“Hmm?”“Kenapa kamu harus bersembunyi di belakang nama Thomas and Co untuk memberi pelajaran pada Harris? Kau sangat mampu melenyapkan pria itu bersama anak dan istrinya yang hanya menjadi benalu di keluargamu.”“Karena aku tidak mau.”“Hah?”“Jika bisa meminjam tangan orang lain, kenapa harus mengotori tanganku sendiri?”“Sial!” umpat Thomas kembali tertawa. Dia tidak tersinggung dijadikan kambing hitam oleh S
Perlakuan ramah maupun sikap hangat pemilik butik tak serta merta membuat perasaan Elisa membaik. Dia kehilangan selera saat diminta memilih gaun. Di sisi lain, Stevan memakai jas miliknya dan menyambar paper bag yang beberapa kali berhasil menyita perhatiannya. Satu hadiah khusus untuk sang istri tercinta. “Aku tidak akan kembali sampai sore nanti. Jika ada kepentingan mendesak, kau handle saja sebisamu. Aku harus menemui Elisa sekarang. Dia menungguku.” Mario tidak bisa berkomentar apa pun. Jelas-jelas dia masih mengingat kalimat terakhir sebelum Stevan mematikan panggilan teleponnya dengan Elisa. Namun, sebagai bawahan yang patuh, Mario hanya mengangguk saja. Punggung Stevan menghilang tertelan pintu lift, meninggalkan Mario yang hanya bisa menggelengkan kepala. Jatun cinta benar-benar membuat seorang Stevan Wijaya berubah. Dia tidak lagi gila kerja, sesekali menjadi budak cinta Elisa Andara. Dengan kecepatan penuh, pria itu melajukan kendaraannya menuju butik tempat Elisa bera
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli