Hayoo mau ngapain tuh kira-kira? Hehe
“Jangan gila, Steve. Kita ada di butik!” cegah Elisa sambil mendorong tubuh Stevan dan membuat tautan bibir keduanya harus terlepas. Detik itu juga Elisa sedikit menjauh dari Stevan, menyambar gaun dan memakainya dengan cepat.“Elisa—”“Apa yang kamu lakukan?!” sela Elisa tanpa mau menatap wajah Stevan. Dia malu. Jika tangan maupun bibir Stevan dibiarkan, Elisa tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Sorot mata pria itu menunjukkan dia tidak lagi peduli di mana mereka berada. Tempat tertutup itu memberikan privasi tersendiri.Elisa dengan dada naik turun menetralkan detak jantung sambil mengatur napas. Pipinya merona merah, ingin marah, tetapi sejujurnya dia juga menikmati perlakuan romantis Stevan. Hanya saja, dia heran kenapa Stevan bisa lepas kendali seperti itu?Tangan Elisa yang basah oleh keringat, gagal menaikkan zipper di bagian belakang gaunnya. Satu hal yang membuat Stevan menahan senyum. Elisa akan merengut jika mendapati dirinya tertawa terang-terangan.“Butuh bant
Sapaan seorang wanita refleks membuat Stevan dan Elisa menoleh ke sumber suara. Tampak wanita enam puluhan dengan penampilan elegan berdiri tak jauh dari keduanya. Sosok penting yang memprakarsai pernikahan sang putra dengan menantu kesayangannya itu.“Mama?!” Binar bahagia membuat Elisa melupakan ponsel di tangan Stevan. Detik itu juga, dia berlari menghambur ke pelukan Renata. “Apa kabar, Sayang?”“Baik, Ma!”Menyuarakan rasa rindunya, Elisa kembali mendekap Renata setelah saling bertatap muka dua-tiga detik. Senyum hangat terukir di wajah kedua wanita berbeda usia itu, merasakan hati mereka buncah oleh rasa bahagia.Namun, hal yang sebaliknya justru tampak terjadi pada Stevan. Senyum maupun ekspresi semringah yang semula tampak di wajahnya, kini luruh tak bersisa. Rahangnya mengeras mengingat pertentangannya dengan wanita itu di pertemuan terakhir mereka.Ekor mata Renata menangkap tatapan dingin dari Stevan yang masih salah paham padanya. Dia beranggapan Renata berpihak pada Har
Stevan lebih banyak diam dalam perjalanan pulang. Pria itu fokus memperhatikan jalanan di depannya, sama sekali tak menegur maupun bicara dengan Elisa yang sekarang duduk di sampingnya. Di kursi belakang, Renata juga tidak membuka mulutnya sama sekali. Hanya jemarinya yang sempat sibuk mengirim pesan melalui ponsel. Dia tidak ingin hubungan Elisa dan Stevan jadi semakin keruh karena kehadirannya. “Siapkan makan malam,” titah Stevan begitu berpapasan dengan Maria di ruang tengah. Tanpa menunggu jawaban dari wanita enam puluh tahunan itu, Stevan lebih dulu menaiki anak tangga dan masuk ke kamar pribadinya. Selain untuk membersihkan diri, dia juga butuh waktu untuk menenangkan kemelut di dalam hatinya. Di belakang sana, Elisa dan Renata saling pandang setelah sosok Stevan benar-benar menghilang dari pandangan. Keduanya menyadari suasana hati Stevan tidak begitu baik. Setelah semua pengorbanan yang Stevan lakukan, bahkan secara sengaja membuat kejutan dengan muncul di butik, Elisa jus
“Steve,” panggil Elisa sambil membalik badannya, membuat pasutri itu saling berhadapan, “Kamu baik-baik saja?” tanya wanita yang saat ini menangkup rahang sang suami, menatap manik matanya lekat-lekat.Anggukan mantap terlihat sepersekian detik setelahnya, bersama dua tangan Stevan yang menangkap jemari istrinya.“Aku minta maaf karena—”“Aku juga minta maaf atas sikapku sebelumnya, Elisa,” sela Stevan sambil mengecup punggung tangan Elisa penuh rasa. “Aku kesal karena wanita … ah, maksudku Mama tiba-tiba datang dan mengganggu kita. Alih-alih mendapat perhatianmu, kau malah sibuk dengannya.”Elisa tersenyum bukan karena Stevan minta maaf atau memperlakukannya dengan manis, melainkan karena pria itu tidak lagi menyebut Renata dengan istilah ‘wanita tua’ seperti sebelumnya. Artinya, dia sudah mulai berdamai dengan dirinya sendiri.“Aku sadar itu sikap kekanak-kanakan yang menjengkelkan, tapi tetap saja aku tidak bisa mengenyahkannya begitu saja. Bisa dibilang aku mementingkan egoku send
“Sayang,” panggil Stevan sambil membantu Elisa membereskan piring di meja.“Apa?!” jawab Elisa ketus, berlalu ke arah wastafel dan mulai memakai sarung tangan sebelum menghidupkan kran air.“Ayo naik.”Pipi Elisa bersemu merah. Dia tahu Stevan ingin mendapatkan haknya seperti sindiran Mama Renata.“Naiklah dulu. Aku akan menyelesaikan ini.” Tangan Elisa sigap membuang sisa makanan ke tempat sampah sebelum mengusap piring di tangannya dengan spon yang dipenuhi busa. Sebisa mungkin dia tidak menunjukkan rasa gugupnya.“Biarkan Maria yang membersihkannya atau mau kubantu?”“Tidak perlu. Aku bisa melakukannya send
“Bagian mana dari tubuhmu yang belum kulihat, Sayang? Kenapa harus malu?”Stevan mendekatkan diri ke arah Elisa dan melepas tali kimono di samping pinggang Elisa.“Aku akan membantumu memakainya.”Elisa menggeleng tegas, “Aku bisa memakainya sendiri,” ucapnya sambil mundur dua langkah ke belakang dan membelakangi Stevan. Satu hal yang membuat pria itu terkekeh lirih.“Kau itu istriku dan aku suamimu, Elisa. Jangan sungkan seperti orang asing begitu.”“Bagaimanapun juga aku malu, Steve. Sudahlah. Jangan menggodaku lagi atau aku akan marah. Perasaanku memburuk gara-gara kran air itu. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Kenapa sekarang rusak?!” gerutu Elisa sambil mengem
“Jam berapa ini?” gumam Elisa saat merasakan embusan angin dingin di tengkuk, menyadarkannya dari tidur lelap sejak berjam-jam yang lalu. Tatapannya tertuju pada jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul empat pagi. Aroma lavender menyapa hidung, membuat Elisa tersadar akan satu hal. Ada rasa asing saat menatap tirai warna hitam yang tergantung di jendela. Itu bukan kamarnya! “Mulai sekarang, tinggallah di sini bersamaku, Elisa,” pinta Stevan sambil mendekap tubuh polos Elisa setelah napasnya kembali teratur. Saat itu, keduanya baru saja menyelesaikan urusan nafkah batin masing-masing untuk ke sekian kalinya. Di depannya, Elisa masih memejamkan mata, tak mengiyakan maupun menyangkalnya. Milik Stevan masih tenggelam di bawah sana, membuatnya merasa begitu penuh. Meski beberapa menit telah berlalu, agaknya Stevan belum berniat menarik diri. “Elisa, kenapa diam saja? Kau mau kan tidur denganku setiap hari setelah ini?” Mata indah Elisa yang sempat tertutup cukup lama, sekarang
Stevan terkekeh, secara tidak langsung membenarkan ucapan Elisa dan melepaskan pinggang wanita itu dari rengkuhan jemarinya. “Ayo, kita harus bergegas,” cetus Stevan sambil melirik arloji di tangan sebelah kiri. Bersamaan dengan itu, Elisa membalik tubuhnya dan mulai memakaikan dasi di leher sang suami. “Jadi, aku boleh pergi kan? Aku sudah menuntaskan keinginanmu, seharusnya tidak ada alasan kamu menahanku.” “Apa aku boleh ikut?” balas Stevan dengan wajah tanpa dosa, membuat Elisa gemas dan refleks memukul dada bidang suaminya sambil tertawa. Dia hanya bercanda. Keceriaan itu masih terlihat sampai meja makan. Mereka tak henti-hentinya bercanda, saling lempar senyum. Maria turut bahagia melihat kedekatan mereka. “Ayo berangkat. Aku akan mengantarmu ke kampus,” ajak Stevan sambil menggandeng tangan Elisa yang sesaat lalu membenahi posisi dasi di lehernya yang sedikit miring. Elisa mengangguk, berjalan di samping sang suami setelah meraih clutch bag. Langkahnya terasa begitu ringa
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli