“Aku yakin kamu sudah merencanakan hal ini sejak awal,” ujar Harris sambil menyodorkan surat kabar pada Stevan. Tampak headline berita menuliskan: Kembalinya Kejayaan Wijaya Group di Bawah Pimpinan Pewaris Sahnya, Stevan Wijaya.“Berapa banyak uang yang kamu berikan untuk pemimpin redaksi itu?”Stevan menghempas surat kabar di tangannya ke meja, tak ingin meladeni ucapan Harris. Dia tidak melakukan apa pun.“Ah, mungkin kamu menawarkan kerja sama atau slot iklan misalnya?”“Aku tidak ada waktu untuk meladeni pemikiran bodohmu itu,” jawab Stevan sambil berbalik dan melanjutkan langkahnya.“Itu benar-benar judul yang dramatis. Kamu sengaja menggiring opini orang-orang agar tidak berpihak lagi padaku, kan?” imbuh Harris dengan suara angkuh, sengaja menantang Stevan. “Aku sungguh tidak menyangka kamu bisa berbuat selicik itu, Stevan.” Stevan menahan langkahnya, menoleh ke samping dengan wajah malas. Sejujurnya, dia enggan berurusan dengan Harris yang selalu berprasangka buruk padanya. Ti
“Stevan, tolong jangan salah paham. Aku menyembunyikan itu untuk kebaikan kita bertiga. Aku takut kamu marah dan memaksakan kehendakmu seperti dulu. Dia sangat berharga untukku. Kalau kamu ingin menyingkirkannya, aku bahkan rela berkorban nyawa untuk menyelamatkannya!”Stevan tak lantas menjawab, menatap Elisa lekat-lekat.“Kau rela berkorban nyawa?” Kening Stevan berkerut dalam. “Apa wanita tua itu lebih berharga dari hidupmu sendiri?”“Apa? Wanita tua?” Wajah bodoh Elisa menjadi pemandangan yang Stevan lihat berikutnya.Mata indah Elisa mengerjap dua kali, memastikan telinganya tidak salah dengar. Dia tidak sepenuhnya mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Tadinya, dia ingin mengungkapkan kehamilannya, tapi sepertinya bukan itu yang Stevan ingin dengar darinya.“Apa yang dia bicarakan? Menghasutmu untuk memengaruhiku?”Tunggu!Elisa menghubungkan setiap ucapan Stevan dengan kejadian saat di jamuan makan. Lagi pula, tidak ada orang lain yang dipanggil dengan sebutan “wanita itu” o
Namun, ketika Elisa hendak mendekat, pria itu pergi dari sana dengan tergesa. Tangannya menyambar kunci mobil sambil bertelepon, tidak menyadari kehadiran wanita yang ingin menyampaikan kabar bahagia padanya.“Jangan gila. Untuk apa dia meminta data proyek?!”Tubuh Elisa menegang seketika, salah dengar dan mengira Stevan sedang bicara dengan Alex. Dia mengingat pesan dari Alex di ponsel Stevan tadi pagi.[Temui aku di Ocean saat jam makan siang. Ada yang ingin aku bicarakan tentang Elisa!]“Mungkinkah Stevan akan bertemu Alex?” gumam Elisa hampir tanpa suara. “Apa yang akan mereka bicarakan?”Seketika ketakutan tampak jelas di wajah Elisa. Dengan emosi Stevan yang tidak stabil, dia takut pria itu akan membencinya. Dia memang menikah untuk mendapatkan uang, tapi tidak terpikir di benaknya untuk menguasai seluruh harta pria itu dan mengkhianatinya.“Stevan, tunggu!”Elisa berlari cepat menyusul Stevan ke beranda, tapi pria itu sudah berlalu pergi melewati gerbang utama.“Bagaimana jika
“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa seorang pelayan yang kebetulan berpapasan dengan Stevan di beranda.“Di mana Elisa?”“Nona?” Wanita empat puluhan itu tampak terkejut, “Bu … bukankah dia pergi bersama Anda?”Kening Stevan berkerut seketika, merasa tidak puas dengan jawaban wanita itu. Jika Elisa ada bersamanya, dia tidak akan mencarinya!Dengan langkah cepat, Stevan naik ke lantai dua dan membuka kamar Elisa tanpa mengetuk pintunya. Sedari tadi dia menatap ke sana kemari, tapi sosok istrinya tidak terlihat di mana pun.Tangan Stevan tak berhenti menghubungi Elisa, tetapi hanya kekecewaan yang didapat karena ponsel milik gadis itu tergeletak di meja. Tak bersuara, hanya bergetar dan layar menyala menunjukkan nama pemanggilnya.“Ke mana dia pergi?”Belum sempat Stevan menuruni anak tangga setelah keluar dari kamar Elisa, Maria sudah menghadapnya.“Di mana dia?” kejar Stevan sambil menggoyangkan ponsel Elisa yang ada di tangan kirinya. Entah kenapa, setelah mendapat petuah dari Renat
“Kenapa terburu-buru sekali? Dia baik-baik saja selama kamu bersikap baik padaku, Steve.” Stevan langsung menepis tangan Clara yang lagi-lagi menyentuh wajahnya. Dia benar-benar muak dengan tabiat buruk gadis itu yang tersembunyi di balik wajah malaikat miliknya. “Apa yang ingin kau lakukan padanya? Jangan main-main denganku. Aku bahkan belum membuat perhitungan dengan kekacauan yang kau buat semalam.” Bukannya terintimidasi, Clara justru tertawa. “Sejak kapan kamu jadi bisa menahan diri seperti itu, Sayang?” Clara berusaha menempel ke tubuh Stevan, tapi pria itu segera menarik diri. Menjaga jarak aman dari gadis yang bisa saja melakukan hal-hal gila di luar akal waras manusia. “Katakan padaku di mana Elisa!” “Ada,” jawab Clara dengan senyum palsunya, “Tidak akan terjadi apa pun selama kamu mau menemaniku menyelesaikan wawancara tadi. Kamu tidak perlu mengatakan apa pun, cukup duduk diam di sampingku dan dengarkan apa yang aku katakan.” Stevan menggeram. Dia benar-benar tidak t
“Dia makan selahap itu?” batin Alex saat menyadari makanan di depan Elisa hampir habis seluruhnya. Padahal tidak sedikit yang tersaji di sana. Teishoku, satu paket lengkap makanan yang banyak disajikan di restoran Jepang.Ada semangkuk nasi yang disandingkan dengan sup miso dan tsukemono atau acar Jepang. Selain itu, masih ada karaage, tempura, juga yakizakana. Jangan lupakan tamagoyaki atau telur dadar yang juga sudah berpindah ke perut Elisa.“Kamu kelaparan atau Stevan tidak memberimu makan?”Pertanyaan Alex membuat Elisa menghentikan santap siangnya detik itu juga dan mengangkat wajahnya.“Lupakan saja. Anggap aku tidak pernah mengatakan apa pun,” ujarnya kemudian. “Aku senang kamu makan dengan lahap. Itu artinya aku tidak membuatmu ketakutan seperti semalam.”Elisa tak menjawab, tapi perlahan meletakkan sumpit di tangannya. Segelas teh hijau menjadi penutup setelah makan besar yang sungguh mengenyangkan. Dia sendiri tidak menyadari nafsu makannya bisa jadi seperti itu.“Aku sudah
“Stevan?!” Alex dan Elisa saling pandang, tidak menyangka akan mendapati Stevan di sana. “Sejak kapan kamu—” CUP! Kalimat Elisa tak pernah terselesaikan karena Stevan lebih dulu membungkam bibirnya dengan mulut. Pria itu bahkan tidak segan menarik tubuh Elisa dan menahan tengkuknya. ‘Apa yang terjadi? Kenapa Stevan seperti ini?’ batin Elisa yang kini terbelalak matanya. Stevan tidak sedang menciumnya dengan lembut, melainkan seolah ingin memakannya bulat-bulat. Pria itu menggigit ujung bibir Elisa, meminta akses masuk. Dan sialnya, mulutnya benar-benar terbuka dan membiarkan lidah Stevan mulai membelit lidahnya. Seluruh tubuhnya meremang seketika, terasa panas seperti terbakar. ‘Apa dia sedang marah?’ Lagi-lagi Elisa hanya bisa menggumamkan pertanyaan itu dalam hati. Tangannya mencengkeram jas Stevan erat-erat seiring tubuhnya yang mulai terasa lemas. Lututnya bergetar karena perlakuan tiba-tiba yang Stevan lakukan padanya. Stok oksigen di dalam paru-parunya pun terasa mulai
“Ha … hamil?” beo Stevan dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.Elisa mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya, takut-takut menatap pria yang seolah kehilangan akal sehatnya, terbengong memastikan telinganya tidak salah dengar.“Ka–kau hamil?” ulang Stevan setelah beberapa saat berlalu tanpa suara. “Bagaimana bisa?”“Stevan ….”“Bukankah hari itu jelas-jelas kau bilang tidak hamil? Inseminasi buatannya gagal?”Satu bulir air mata luruh membasahi wajah pucat Elisa. Berkali-kali gadis itu meremas ujung gaunnya, memastikan kakinya masih tegap berdiri menghadapi situasi kali ini.“Maaf,” jawab Elisa dengan suara serak, “aku juga tidak tahu. Ini benar-benar di luar dugaan. Aku—”Kalimat Elisa tak pernah terselesaikan karena Stevan mengangkat tangannya di depan badan, meminta gadis di depannya tak lagi bicara.“Sejak kapan dia ada di sana? Kau sengaja menyembunyikannya dariku?”Stevan mengambil dua langkah ke belakang sambil menggelengkan kepala menatap perut Elisa. Logikanya sumbat,
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli