ANTASENA mengembuskan napasnya dengan pelan saat melihat ada banyak tumpukan laporan-laporan yang harus ditandatanganinya.Sesekali dia melirik jam yang melingkar di tangannya, sebentar lagi seharusnya dia sudah tiba di rumah, kan? Antasena ingin makan malam bersama Pradnya malam ini. Setidaknya pukul enam nanti, dia sudah tiba di rumah.Namun sepertinya pekerjaan-pekerjaan ini tidak bisa membiarkannya lolos begitu saja. Pria itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di batang hidungnya, bersamaan dengan suara ketukan dari luar terdengar.Antasena mengangkat wajahnya, dan mendapati Julia berdiri di ambang pintu ruangannya."Permisi, Pak.""Ya, Julie. Ada apa?""Ada tamu buat Bapak. Beliau menunggu di lobi."Antasena mengerutkan keningnya. Dia yakin sore ini tidak memiliki janji temu dengan siapapun."Siapa?""Pak Satya. Adiknya Bapak."Antasena mengingat-ingat kembali. Terakhir pertemuan mereka adalah ketika Satya mengantar pulang istrinya, dan mereka sama sekali tidak memiliki u
ANTASENA membelokkan mobilnya menuju kediaman rumahnya begitu waktu sudah menunjuk angka sebelas malam.Lampu rumah terlihat sudah dipadamkan, hanya ada satu lampu di dapur yang kini masih menyala. Menjadi satu-satunya penerangan yang ada di sana.Pria itu berjalan menuju ke dapur. Setelah melepaskan jas yang sejak pagi tadi membalut tubuhnya, dia menaruhnya di kursi lalu berjalan membuka lemari pendingin di sana.Antasena lantas mengambil satu botol minuman dingin di sana, lalu meneguknya dengan perlahan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bahkan sejak tadi ponselnya menyala-nyala, tapi diabaikan olehnya begitu saja. Siapa lagi jika bukan panggilan dari Priya. Dia sudah tidak terlalu peduli lagi.Mulai dari Satya yang sudah mengetahui sandiwaranya sejak awal, dan dia tahu lebih banyak tentang Pradnya dibandingkan dirinya yang notabene adalah suaminya, sejenak membuatnya semakin kalut. Meskipun dia tidak tahu jelas apa yang membuatnya kalut sekarang."Mas?"Antasena membalikkan ba
"Boleh saya tidur sama kamu malam ini?"Pradnya sempat tertegun. Pertanyaan itu bahkan belum sempat dijawab olehnya saat tiba-tiba Antasena kembali mendekatkan wajahnya, kemudian mencium sudut bibirnya dengan lembut.Tidak adanya perlawanan dari Pradnya, membuat Antasena lagi-lagi mencoba peruntungannya. Kali ini pria itu menciumnya lebih lama dan intens.Bibirnya bergerak dengan lembut di atas bibir perempuan itu. Ada desiran asing mendadak mengalir di sekujur tubuh Pradnya. Jantungnya berdetak semakin lantang, bersamaan dengan Antasena yang semakin memperdalam ciumannya.Rasa hangat sekaligus sensasi yang terasa mendebarkan membuat Pradnya akhirnya pasrah. Membiarkan Antasena mencium bibirnya dengan satu tangannya yang melingkar di tengkuk lehernya.Ini kali ketiganya mereka berciuman. Pradnya tahu apa yang telah dilakukannya saat ini adalah sebuah kesalahan besar. Anehnya, perempuan itu menyukainya. Pradnya menyukai bagaimana bibir Antasena bergerak di atas bibirnya. Pradnya juga m
Pradnya menggeliat di atas tempat tidur sembari menaikkan selimut hingga menutupi setengah wajahnya.Diam-diam mencuri tatap ke arah Antasena yang kini tengah berbaring di sampingnya. Dengan kedua matanya yang memejam, tangannya melingkar di pinggangnya. Pradnya menahan dirinya untuk tidak tersenyum, meskipun usahanya gagal.Wajah Antasena yang terlihat lelah, rahangnya yang tegas, alisnya yang tebal, juga bulu-bulu halus yang semakin mempertegas garis wajah pria itu. Dalam jarak sedekat ini, Pradnya bisa melihatnya dengan jelas. Tapi tidak dengan apa yang baru saja dilakukan oleh mereka.Seolah masih tidak mempercayainya, perempuan itu menekan dada kuat-kuat. Ada gemuruh hebat yang tak kunjung mereda meskipun sudah berjam-jam yang lalu mereka telah melakukannya."Kenapa nggak tidur?"Suara teguran itu seketika membuat Pradnya membelalak. Kemudian tangan Antasena semakin mendekapnya dengan erat."Mas Sena belum tidur dari tadi?""Udah. Kamu yang belum, kan?" Antasena menjauhkan wajahn
ANTASENA baru saja menuruni anak tangga lantai dua saat melihat Pradnya dan Bi Ummi sibuk di dapur. Pria itu menyampirkan jasnya di kursi, saat bersamaan Bi Ummi yang menghampirinya."Wah, kelihatan bahagia banget sepagi ini, Mas. Habis menang lotre, ya?"Antasena tersenyum, sesekali melirik ke arah Pradnya yang kini tengah sibuk menyiapkan sarapan di sana."Lebih dari sekadar lotre, Bi." Antasena menyesap kopinya dengan perlahan. "Kopi ini nggak ditambah gula lagi, kan Bi?""Nggak, kok Mas. Kopinya dibikinin sama Neng Anya, seperti biasanya. Kemanisan, ya?""Oh." Antasena manggut-manggut. "Tapi rasanya kenapa agak manis-manis gitu, ya Bi? Atau karena yang bikin manis?"Pradnya membelalak, dan dari tempatnya dia bisa melihat Antasena terkekeh. Seolah sengaja mengatakan hal itu di hadapannya."Nya, kamu nggak mau nemenin aku sarapan?""Ya?" Pradnya mengerjap. "Bentar.""Udah, Neng. Duduk saja, biar saya yang bawa ke sana.""Iya, Bi. Nanggung. Ini biar saya yang bawa ke sana aja."Denga
"Anya…"Suara ketukan dari luar kamarnya, membuat perempuan itu lantas menolehkan wajah. Perempuan itu baru saja selesai berdandan dan kini baru saja mengganti pakaian. Antasena melongokkan wajah di sana, tersenyum lalu berjalan mendekatinya."Bentar, Mas." Pradnya kembali menoleh ke arah layar kaca. Berusaha menjangkau resleting dress yang sudah dikenakan sekarang ini, namun sepertinya dia kesulitan."Butuh bantuan?"Belum Pradnya menjawabnya, Antasena sudah lebih dulu melangkah mendekati Pradnya. Satu tangan pria itu menyentuh pinggang perempuan itu agar merapat. Sementara tangan lainnya menaikkan resleting dress yang kini tengah dikenakan Pradnya."Kapan kita akan sekamar, Anya?"Pradnya mengangkat wajahnya, dari posisinya dia bisa melihat Antasena yang juga menatapnya."Maksudnya?""Kapan kita bisa sekamar?" ulang Antasena sekali lagi. "Bukankah kalau kita sekamar, kita bakalan bisa saling membantu seperti ini? Lagipula kita suami istri, kan?"Pradnya membalikkan badan, lalu mende
"Halo, Ma. Ada apa pagi-pagi telepon?""Gimana kabar kamu?" tanya Shinta dari seberang sana, dan hal itu sejenak membuat langkah Antasena terhenti. Ada yang tidak beres dengan ibunya."Ada apa, Ma?"Shinta menghela napas di seberang sana. "Udah hampir dua bulan, kamu nggak kepikiran buat ngajak Anya ke dokter kandungan?"Benar, kan?"Iya, Ma. Nanti.""Nanti kapan? Kalau kamu nggak sempat nganterin Anya, biar Mama aja. Mama tahu kalau kamu sibuk. Setidaknya, kita tahu gimana kondisinya Anya, kan?""Ma, bahkan pernikahanku sama Anya belum genap dua bulan." Antasena mendesah pelan. "Kasih waktu aku buat bernapas, dong Ma. Aku—""Nggak ada salahnya kalau Mama bertanya, kan Sen? Mama begini karena peduli sama kamu. Entah bisa saja kamu sibuk, kan? Makanya Mama ingin menawarkan diri.""Nggak usah, Ma. Soal ini biar nanti aku bicara sama Anya, ya? Aku mau berangkat ke kantor dulu.""Oke."Usai panggilan itu berakhir, Antasena menghela napas panjang. Tidak habis pikir dengan keinginan ibunya
ANTASENA berdiri cukup lama tepat di depan kamar Pradnya. Mendadak pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa Pradnya berpikiran sepicik itu tentang dirinya? Bukankah dia sama sekali belum mengatakan apa-apa?Pria itu menghela napas panjang. Sebelum akhirnya memutuskan untuk turun dari lantai dua, menemui Priya yang masih menunggu di depan sana.Berusaha untuk tetap bersikap tenang, Antasena melangkah menuju teras. Priya duduk di salah satu kursi yang ada di teras tersebut, dengan senyum yang selalu ditunjukkan seperti biasanya. Kemudian bangkit berdiri begitu melihat pria itu menghampirinya.“Ada apa?” tembak Antasena dengan cepat.“Sen, aku ke sini mau minta maaf.”“Minta maaf soal apa?”Priya menghela napas gusar. “Aku tahu sikapku terhadap Anya sudah kelewatan. Aku tahu nggak seharusnya aku mempermalukan dia. Tapi…”“Kamu minta maaf sama orang yang salah, Ya.”“Sen, please… seharusnya kamu memakluminya, kan? Siapapun mereka, mereka nggak akan terima kalau melihat pacarnya sendiri berme
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe