”Me…meracuni? Maksudnya apa, Ma?”Evanna bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati ayah mertuanya. Dilihatnya kulit tangan dan wajahnya mulai kemerahan. Napasnya juga terlihat pendek dan tersengal.”Rakha, telepon dokter, sekarang!” seru Nisya sambil memeluk tubuh suaminya.”Minggir kau, perempuan jahanam. Berani-beraninya kau membuat suamiku seperti ini!”Nisya mendorong tubuh Evanna hingga punggungnya menghantam tepian meja. Sebentar kemudian Nisya memanggil pelayan untuk membantunya membawa Benny ke kamar.”Awasi perempuan itu. Jangan sampai ia kabur. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” teriak Nisya geram pada salah satu pelayan yang ada di ruangan itu.Evanna hanya bisa terduduk kaku mendengar teriakan dan tuduhan Nisya padanya. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi dengan ayah mertuanya.Evanna terduduk lemas di kursi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut mencoba mencerna tuduhan mengerikan dari ibu mertuanya.Meracuni ayah mertuanya sendiri? Hal paling
”Saya… saya tidak tahu, Pak Dokter. Saya benar-benar minta maaf, ini di luar pengetahuan saya,” ujar Evanna di sela isak tangisnya.Evanna tergugu saat mendengar penjelasan dr. Rahmat itu. Jadi, memang benar semua ini karena kesalahannya. Ia teledor saat menyiapkan makanan untuk keluarga mereka.Seharusnya Evanna bertanya terlebih dahulu. Apalagi kondisi kesehatan Benny yang tak bisa dikatakan baik. Membuat tubuhnya rentan terkena alergi.”Pak Benny menderita alergi yang langka. Bahan makanan dari tanaman yang tergolong nightshade harus dihindari Pak Benny. Apa Pak Benny tadi makan terung, kentang, atau tomat?” tanya dr. Rahmat.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia tak memasukkan bahan-bahan itu dalam masakannya malam ini.”Atau mungkin cabai, paprika?” tanya dr. Rahmat lagi.Evanna tertegun. Ia tadi menambahkan bubuk paprika ke dalam adonan ayam goreng yang dibuatnya. Jadi, benar tragedi yang terjadi malam ini murni karena kesalahannya.Evanna merasa bersalah dan menyesal setelah menya
Khandra memilih turun ke ruang makan untuk sarapan pagi itu. Peristiwa semalam sangat mengganggu pikirannya.Pikirannya masih berkecamuk mengingat peristiwa semalam yang membuatnya naik pitam. Evanna, istrinya, hampir saja menjadi kambing hitan karena tuduhan kejam dari Nisya, ibu tirinya.Aroma masakan menguar memenuhi ruangan ketika Khandra memasuki ruang makan. Nisya sudah duduk di sana. Wajahnya tampak angkuh seperti biasa. Begitu melihat Khandra, seringai sinis terukir di wajahnya.”Huh, kau turun juga akhirnya. Biasanya kau lebih suka makanan diantar ke kamarmu kan?” sambut Nisya ketus saat melihat Khandra masuk ke ruang makan.”Suka-suka aku mau makan di mana. Apa urusannya denganmu?” tukas Khandra pada ibu tirinya yang membuat suasana ruang makan pagi itu berubah seperti di medan perang.Khandra menatap Nisya dengan sorot mata menantang. Ia sudah muak dengan sikap ibu tirinya yang selalu memperlakukannya dan Evanna seperti sampah.Nisya memicingkan matanya, ”Tentu saja itu uru
”Papa sudah merasa baikan?” Evanna melirik takut pada ayah mertuanya. Wajahnya masih tampak pucat. Beberapa bagian kulitnya masih terlihat ruam kemerahan.”Aku sudah sehat, Nak. Jangan terlalu khawatir begitu,” jawab Benny sambil tersenyum lembut.Evanna mengembuskan napas lega melihat ayah mertuanya yang tampaknya tak marah atau menaruh dendam padanya. Evanna melirik ibu mertuanya yang wajahnya masih tampak menyeramkan. Sorot matanya seakan ingin menguliti Evanna hidup-hidup.”Ayo, kita sarapan saja! Sudah cukup basa-basinya.”Nisya memgambil piring Benny dan mengisinya dengan nasi goreng yang ada di meja makan. Diletakkannya juga sepotong telur dadar di atas nasi goreng itu.”Kalau makanan ini pasti aman buat Papi.”Perkataan Nisya membuat Evanna kembali menundukkan kepalanya. Nampaknya Nisya masih sulit memafkan kesalahn Evanna.Suasana hening menyelimuti ruang makan itu. Hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu. Evanna hanya berani melirik ayah dan ibu mertuanya se
”Mami mau aku melakukan apa?” tanya Rakha.”Carilah cara! Cari cara apa saja untuk merusak hubungan Khandra dan Evanna! Mereka tak boleh dibiarkan terlalu lama bersama.”Rakha menyandarkan punggungnya. Keningnya berkerut memikirkan cara apa lagi yag bisa ia gunakan.Rakha memiliki cara paling licik dan kotor dalam otaknya. Tapi, entah ibunya itu akan setuju atau tidak.”Mami tahu kalau Evanna punya saudara tiri?” tanya Rakha.Nisya menggelengkan kepalanya. Ia tak sampai sedetail itu mengorek keluarga Evanna.”Diva nama kakak tiri Evanna. Ia dan ibunya sangat membenci Evanna. Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka untuk merecoki rumah tangga Evanna?””Merecoki bagaimana maksudmu?” tanya Nisya tak mengerti.”Aku belum bisa bilang ke Mami rencana detailnya. Aku harus menemui Diva terlebih dahulu,” Rakha menyeringai licik.”Kita bisa mendekati Diva dan ibunya, mengatakan bahwa kita juga tidak menyukai Evanna dan ingin membalaskan dendam atas perlakuannya pada kita. Dengan memancing kebenc
”Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Diva sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Rakha. ”Memang itu yang sebenarnya aku minta darimu, bantuan. Terus terang aku belum begitu mengenal Evanna. Selain ia licik dan serakah, aku tak tahu bagaimana sifat aslinya.” Rakha melipat kedua tangannya di atas meja lalu menopangkan kepalanya. Ia butuh bantuan dari Diva supaya rencananya berhasil. ”Aku pernah ingin menjebaknya dengan laki-laki iseng kenalanku, tapi gagal. Bahkan Khandra dengan cepat tahu dan menghajar laki-laki itu tanpa ampun,” keluh Rakha. Diva tersenyum simpul mendengar ucapan Rakha barusan. Memang Evanna itu sulit ditebak orangnya. ”Kau menyuruh laki-laki random menggoda Evanna? Tentu saja gagal total. Laki-laki, apalagi kalau ia bukan orang berada, tak akan pernah dilirik Evanna. Aku sudah bilang kalau ia licik dan materialistis. Evanna pasti tahu untung dan ruginya kalau ia termakan rayuan gombal laki-laki seperti itu,” jawab Diva. Diva menyesap juice-nya dan mengusa
”Itu tadi siapa?” tanya Rakha yang tampak penasaran.Rakha juga semakin merasa penasaran setelah ia merasa ekspresi wajah Evanna berubah setelah bertemu Dandi.”Hanya kenalan lama,” jawab Evanna singkat.Rakha menaikkan sebelah alisnya. Namun, kemudian kepalanya manggut-manggut meski dalam hatinya masih penuh tanda tanya. Ada sesuatu yang Evanna sembunyikan darinya.”Apa masih ada yang ingin kau bicarakan denganku? Aku lelah. Aku ingin pulang,” ujar Evanna.”Bukan hal yang penting sih. Aku cuma ingin mengobrol biasa. Aku merasa hubungan presaudaraan kita akhir-akhir ini mulai renggang. Aku antar kau pulang kalau begitu,” jawab Rakha.Evanna mengambil tas yang ada di sandarang kursinya. Ia melangkah keluar kafe menuju mobil Rakha yang diparkir di depan kafe.Sepanjang perjalanan ia hanya berdiam diri dan menatap keluar kaca mobil. Evanna memandang kosong ke arah jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan.Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Matanya menerawang jauh, seolah hanyut
Pagi itu Evanna menerima sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. Isinya membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.Jadi kau mencampakkan aku demi laki-laki kaya. Tapi, percayalah, kau tak akan pernah bahagia bersamanya.Meskipun tanpa nama, Evanna tahu betul siapa pengirim pesan itu. Dandi, mantan kekasihnya yang dulu begitu dicintainya. Orang yang beberapa hari yang lalu ditemuinya tanpa sengaja di kafe.Mereka berpisah karena Evanna harus menikahi Khandra, pria kaya yang bisa melepaskan keluarganya dari utang. Dandi tak pernah memaafkan Evanna atas keputusannya itu.Evanna gemetar, berusaha menepis ketakutan yang mulai menjalari hatinya. Bagaimana mungkin Dandi bisa mendapatkan nomor barunya? Evanna tak pernah memberi tahu Dandi nomor ponsel barunya.Pesan-pesan lain terus berdatangan, semakin mengancam dan menakutkan. Evanna mencoba mengabaikannya, tapi bayangan Dandi yang marah dan terluka terus menghantuinya.Kau akan menyesal, Evanna. Aku tak akan membiarkanmu baha
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang