Diva membanting tas yang dibawanya ke atas sofa. Ia kesal sekali hari ini. Janji temu dengan calon nasabahnya dibatalkan secara sepihak. Setelah itu, ia harus bertemu dengan Evanna yang tampaknya hidupnya sudah amat bahagia.”Kamu kenapa Diva? Kok marah-marah begitu,” Reni yang asyik menonton televisi merasa heran dengan tingkah anak perempuannya itu.”Mama tahu nggak aku habis ketemu siapa? Aku baru saja bertemu Evanna. Dan Mama tahu bagaimana dia sekarang?””Oh, ya, kamu ketemu di mana?” tanya Reni ingin tahu.”Imperium Royal. Dia tinggal di apartemen mewah itu sekarang. Dan Mama tahu kegiatannya sekarang? Dia hanya nongkrong di café dan bersantai. Hebat bukan?” jawab Diva sinis.Akhir-akhir ini Diva merasa ada yang kurang di rumah. Tak ada Evanna yang bisa menjadi pelampiasan emosinya. Sekalinya bertemu malah membuatnya merasa sakit hati. Kehidupan Evanna sudah sangat jauh berubah.Sangat sulit bagi Diva untuk menerima kenyataan itu. Selama ini dia selalu menjadi yang nomor satu di
”Kami memang tak punya pembantu di apartemen ini, Ma,” jawab Evanna.Mata Reni membeliak saat mendengar jawaban Evanna. Ia melirik vacuum cleaner yang disandarkan di ujung ruangan. Ia juga melirik pakaian Evanna yang tampak berpakaian ala kadarnya.”Masak tinggal di penthouse mewah seperti ini tak punya pembantu. Di rumah kita saja ada 3 pembantu yang selalu siaga,” balas Reni.”Aku punya banyak waktu luang. Lagipula kami tinggal di apartemen, bukan di rumah. Jadi, tidak perlu pembantu yang harus stand by untuk mengurusi dapur dan bersih-bersih. Makan pun kami bisa pesan atau pergi ke salah satu restoran yang ada di gedung ini,” jawab Evanna.Reni memang nyonya besar di rumah. Ia tak akan mau menginjakkan kakinya ke dapur. Diva apa lagi. Ia tahunya hanya memerintah.”Ya, tentu saja. Kau banyak waktu luang. Tapi juga tidak seperti ini, dong. Jadi, sebenarnya kau ini istri atau pembantu?” tanya Reni dengan suara sinisnya.Sudah Evanna tebak, ibu tirinya itu tak akan bermuka manis padany
Khandra berdiri dari tempat duduknya dan segera berlalu meninggalkan restoran. Amarah membuat nafsu makan siangnya hari itu lenyap begitu saja. Ia melangkah lebar dan kembali ke apartemennya.Saat membuka pintu apartemen dilihatnya Evanna tengah duduk di sofa dan mendekap kedua lututnya. Kepalanya ia sembunyikan dalam kedua tangannya yang terlipat.Khandra langsung mencengkeram lengan Evanna dan memaksanya berdiri.”Ganti baju sekarang juga dan ikut aku!” perintahnya pada Evanna yang menatapnya bingung.”Kita mau ke mana?” tanya Evanna serak.Khandra menatap istrinya itu dan melihat bekas lelehan air mata di sepanjang pipinya. Khandra sangat tidak menyukai Evanna yang lemah seperti ini.”Jangan banyak tanya, cepat ganti! Aku tunggu lima belas menit!” perintah Khandra yang membuat Evanna terburu memasuki kamarnya untuk berganti pakaian.”Pantas saja mereka menghinamu gembel dan seperti pembantu. Pakaianmu saja seperti itu,” komentar Khandra pedas saat Evanna keluar kamar.Evanna mereng
”Kenapa begitu? Sayang kalau harus dibuang semua. Banyak pakaianku yang masih bagus dan aku bisa memakainya untuk bersantai di rumah,” tolak Evanna.Meskipun jauh di bawah standar Khandra, tapi baju-baju Evanna masih layak pakai. Beberapa bahkan baru dibelinya sebelum ia menikah.”Sudah ada yang baru, kan? Buat apa yang lama masih disimpan,” ujar Khandra tak menghiraukan penolakan Evanna.”Baju-bajuku masih banyak yang bagus, kok,” bantah Evanna lagi.”Bagus apanya? Kalau memang bagus, tak mungkin ibu dan kakak tirimu menyebutmu buluk seperti pembantu,” dengus Khandra sebal.Pada waktu hari pernikahannya dulu, Khandra memang merasa kecewa karena ternyata bukan putri sulung keluarga Rasena yang akan menjadi istrinya. Ia harus menelan kekecewannya dengan menikahi anak haram mereka.Namun, sekarang Khandra merasa cukup beruntung menikah dengan Evanna. Perempuan itu meskipun ceroboh, tapi penurut dan tak banyak tingkah. Evanna memang sedikit bodoh dan ceroboh, tapi ia perempuan yang tak b
Dalam hati Rakha tengah bersorak gembira. Ternyata ada perempuan bodoh satu lagi yang bisa ia gunakan untuk menghancurkan Khandra. Perempuan yang sedang dibakar cemburu dan kebencian sangat mudah untuk diperdaya. Perempuan seperti itu rela melakukan apa saja untuk melampiaskan rasa dengkinya.Akh, bukan hanya Khandra tapi juga Evanna. Rakha yakin ia bisa menjatuhkan kakak tirinya itu melalui Evanna.Akhir-akhir ini Khandra seperti di atas angin. Pernikahannya tampaknya baik-baik saja. Dan hal itu membuat reputasinya di perusahaan juga meningkat pesat. Rakha sangat benci melihat hal itu. Ia sangat mengharapkan Khandra jatuh terhempas dan hancur berkeping-keping.”Aku baru tahu kalau kalian bukan saudara kandung. Memang bisa begitu ya?” tanya Rakha yang seolah sangat tertarik dengan kisah keluarga Diva.”Memang benar. Itu kenyataan kelam keluarga kami. Ibu Evanna dulu menggoda papaku. Jadinya, lahirlah Evanna. Karena ibunya meninggal, papaku harus memeliharanya sampai dia dewasa. Cerit
”Semakin lama Rakha semakin kelihatan nggak becus kerja,” omel Khandra saat ia kembali ke ruangannya.Rendra yang mengikuti ke mana pun atasannya itu pergi hanya bisa terdiam dan mendengarkan segala unek-uneknya.”Apa kita approve otomatis permintaan dana dari klien kita? Aku akan menghubungi bagian keuangan sekarang juga,” jawab Rendra.”Jangan dulu. Biarkan anak itu menyelesaikan tanggung jawabnya. Dokumen-dokumennya juga belum dia lengkapi, makanya kepala bagian keuangan juga tidak bisa mengeluarkan dana sekarang. Benar-benar menyebalkan,” gerutu Khandra sebal.Rendra hanya bisa mengangguk pasrah mendengar celaan Khandra terhadap Rakha. Memang dalam beberapa bulan terakhir, kinerja Rakha sebagai salah satu manager di perusahaan mereka semakin menurun.Kerap kali ia terlambat menyelesaikan tugasnya dan laporannya pun seringkali tidak lengkap. Khandra bahkan seringkali memergoki Rakha tak berada di tempat pada saat jam kerja.Padahal, Rakha adalah salah satu pewaris Imperium Holding
Pagi ini Khandra merasa tubuhnya menggigil dan suhu badannya naik di atas suhu normal. Beberapa hari terakhir ia memaksakan tubuhnya lembur, bahkan semalam ia baru pulang pukul dua dini hari.Kalau menuruti badannya, Khandra pastinya akan memilih untuk beristirahat. Namun, ia ingat hari ini ia ada rapat penting dengan pihak Dreamland.Khandra memaksa tubuhnya untuk meninggalkan tempat tidur dan bersiap mandi. Setelah sarapan nanti, ia bisa minum obat. Khandra yakin tubuhnya akan baik-baik saja.”Kau kelihatan pucat,” komentar Evanna yang sarapan bersama Khandra pagi itu.Biasanya Khandra sudah mulai berisik kalau pagi tiba. Namun, pagi ini Khandra terlihat sangat pendiam.”Aku hanya sedikit lelah,” jawab Khandra sambil memaksa menelan setangkup roti dan telur rebusnya.”Kenapa tidak istirahat saja kalau begitu. Jangan sampai kau sakit,” ujar Evanna.Khandra mendelik pada Evanna, membuat istrinya itu langsung bungkam seketika. Evanna tahu kalau Khandra sangat sulit diatur.Evanna melih
Khandra terbangun dari tidurnya. Pagi ini tubuhnya sudah terasa lebih baik. Semalam ia juga bisa tidur nyenyak. Khandra merasa suhu tubuhnya sudah mulai normal kembali.Khandra menguap lebar-lebar. Ia meregangkan tangan dan kakinya. Namun, ia terkesiap saat tangannya menyentuh sesuatu.Diliriknya tepi ranjangnya. Dilihatnya Evanna tertelungkup di tepi ranjang. Ia duduk di atas karpet tebal, namun sebagian tubuhnya menelungkup di atas ranjang.Khandra memperhatikan wajah tirus yang terlihat tengah pulas itu. Ada raut lelah menghiasi wajahnya.Khandra menyentuh puncak kepala Evanna membuat istrinya itu tergeragap karena kaget.”Oh, kau sudah bangun? Bagaimana sudah merasa enakan?” tanya Evanna.Ia merapikan rambutnya yang berantakan dan beringsut mendekati Khandra. Diletakkannya telapak tangannya untuk mengecek suhu Khandra.”Syukurlah, demamnya mulai turun. Obat Dokter Martin manjur juga ternyata,” ujar Evanna merasa lega.”Jangan panggil dia lagi. Dia dokter yang menyebalkan,” gerutu
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha
Diva menyusut air mata yang menganak sungai di pipinya dengan kasar. Tak mudah bagi Diva untuk menerima kenyataan dirinya sekarang. Ego dan harga dirinya yang tinggi membuatnya enggan menerima apa pun perkataan Evanna.Diva yang selalu menjadi yang pertama dan utama tak bisa menerima begitu saja nasibnya yang malang. Ia tak mau terlihat tak berdaya di depan Evanna.Diva menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mengepal di atas pahanya. Ia menatap Evanna dengan mata yang penuh dengan bara kemarahan dan tekad yang menyla-nyala. Bibirnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang nyaris meluap tak terkendali."Aku tidak akan membiarkan Rakha lolos begitu saja," gumamnya, suaranya bergetar. "Dia pikir aku akan menerima begitu saja perlakuannya? Aku bukan perempuan bodoh yang bisa dipermainkan, Evanna!"Evanna menarik napas dalam. Ia sudah menduga reaksi ini, tapi melihat langsung betapa Diva diliputi oleh amarah dan kekecewaan membuatnya sadar bahwa kakak tirinya benar-ben
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p
Wajah Diva berubah sendu. Apalagi saat ditatapnya wajah Rakha yang terlihat masam. Laki-laki itu tak terlihat bahagia saat bertemu dengannya. Rakha malah terlihat muak.Diva mengembuskan napas berat, seolah setiap pijakan adalah hukuman yang tak terhindarkan. Diva merasa aliran udara di kafe itu terasa seperti racun. Napasnya terasa semakin pendek dan dadanya terasa sesak."Aku nggak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu," ucap Rakha dingin, suaranya datar, namun tajam.Senyum samar yang coba ditunjukkan Diva memudar sedikit, tapi ia tetap berusaha tenang meki batinyya bergemuruh."Kamu selalu buru-buru. Apa kita nggak bisa duduk santai sebentar? Aku mau bicara sesuatu yang penting.""Aku bilang cepat," potong Rakha tegas, membuat Diva tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali, tapi ia menelan semua protes yang hampir keluar dari mulutnya."Aku... aku butuh tempat yang lebih tenang. Ini penting banget, Rakha."Rakha mendesah panjang. Kesabarannya hampir habis. "Di sini cukup t
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu