Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi Mas Andra belum pulang. Ponselku pun sepi tanpa ada satu pesan atau panggilan telepon dari suamiku. Tumben sekali. Sepertinya Mas Andra benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin dia sibuk mencari siapa pengirim pizza? Ah, semoga saja jika Dika pengirimnya, tidak membuat masalah baru. Aku lelah dengan sikap suamiku yang terlalu pencemburu itu. Aku berbaring setelah sholat empat rakaat. Mataku tak bisa terpejam karena memikirkan suamiku. Jika Mas Andra pulang terlambat, biasanya dia pasti memberitahuku terlebih dahulu. Apa dia marah? Kumainkan ponsel mahalku yang sepi, tanpa aplikasi apa pun kecuali aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Bahkan aku sama sekali tidak berniat men-download aplikasi media sosial satu pun. Apalagi yang sekarang lagi viral, yang di sana kita bisa belanja dengan harga sangat murah. Itu semua aku tahu dari Rara, karena dia sekarang juga berjualan melalui aplikasi yang bernama Tok Tok itu.
“Kukira Mas sakit sampai-sampai berhubungan dengan seorang dokter.” “Alhamdulillah aku sehat, bahkan sangat sehat. Mau berapa ronde?” tanya Mas Andra sambil menaikturunkan alisnya yang hitam dan tebal itu. Wajahku menghangat mendengar ucapannya yang sepertinya sengaja menggodaku. Aku pun berdecak sebal, menutupi rasa malu. “Ish, Mas ini. Selalu itu yang dibahas. Ya sudah, aku tidur saja. Katanya Mas mau kerja.” “Iya, sayang sekali ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau nggak, aku akan memakanmu dengan lahap.” “Memangnya aku ayam kecap?” Mas Andra hanya tertawa. Lalu berjalan meninggalkan kamar setelah mengecup bibirku singkat. *** Aku mengerjapkan mata, melihat sekelilingku. Mas Andra masih belum masuk kamar. Kulihat jam di dinding sudah melewati angka satu. Apa pekerjaannya sebanyak itu sampai-sampai Mas Andra belum tidur selarut ini? Aku beringsut turun dari ranjang dengan perlahan. Meskipun masih mengantuk, aku paksakan untuk mengambil salah satu buku
"Sayang ... Sayang ... kamu di mana?"Suara Mas Andra—suamiku, bergema di seluruh sudut rumah. Jika pulang kerja, dia selalu seperti itu. Padahal dia tahu, aku selalu rebahan di kamar atau duduk di taman belakang. Itu karena dia melarangku pergi ke luar rumah sendirian. Sesuai dengan arti namanya, Andra Abryal, suamiku adalah pria yang tampan, kuat dan berani. Kuat dalam segala hal."Sayang, aku kira kamu pergi diam-diam. Ayo, kita makan. Aku membawakan nasi bebek kesukaanmu." Mas Andra sudah berada di ambang pintu kamar. Dia tersenyum sangat manis. Dengan malas aku beranjak dari tidurku. Tubuhku masih terasa sangat lelah. Tulang-tulang pun rasanya mau patah.Bagaimana aku tak lelah? Setiap malam bahkan sampai menjelang pagi aku selalu melayaninya. Itulah salah satu keistimewaan suamiku. Dia begitu kuat saat memberiku nafkah batin.Mungkin bagi sebagian wanita, mereka akan bahagia. Tapi tidak denganku. Bahkan akhir-akhir ini aku merasa menyesal menjadi istrinya. Astaghfirullah ....A
Pertanyaan bernada lembut tapi mengandung ancaman. Bahkan dia sekarang tersenyum manis dengan tangan kanannya mengusap lembut pipiku. Mas Andra memang selalu romantis. Namun entah kenapa, aku terkadang merasa takut padahal ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada gurat marah sedikit pun."Baiklah, Mas. Aku mau kamu antar. Aku hanya ingin memberikan sembako dan camilan untuk Rara dan anak-anaknya. Boleh 'kan, Mas?""Tentu saja boleh, Sayang. Beri juga uang untuk membayar kontrakan rumahnya." Jawaban Mas Andra tentu saja membuatku bahagia. Kupeluk erat tubuh tegapnya yang sudah terbungkus kemeja biru tua. Dia memang suami yang baik dan juga dermawan. Apalagi dia tahu keadaan Rara yang cenderung kekurangan. "Terima kasih ya, Mas," ucapku dan Mas Andra membalasnya dengan kecupan lembut di bibirku."Sama-sama, Sayang. Ayo, berangkat."Akhirnya aku berangkat ke rumah Rara diantar Mas Andra. Kami berdua duduk berdampingan. Pak Hadi yang mengemudikan mobil sedan mewah kesayangan Mas Andra.
Akhirnya aku diantar pulang oleh Mas Andra sebelum dia berangkat bekerja. Rara dan Mas Fahmi hanya diam karena mereka tahu bagaimana sifat suamiku itu. Percuma Mas Fahmi menjelaskan kalau dia sebentar lagi akan berangkat ke rumah tetangganya, kerena Mas Andra tetap pada pendiriannya. Aku hanya bisa pasrah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Protes pun percuma karena suamiku tidak akan goyah meskipun aku menangis darah. Terlihat kejam tapi itulah suamiku. Dia tidak mengijinkanku pergi ke mana pun tanpa dirinya di sampingku. Jika berkunjung ke rumah Rara, harus dipastikan Mas Fahmi sedang tidak berada di rumah. Rara memiliki ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan kirim pesan. Aku yang bodoh karena sebelumnya tidak menghubungi Rara terlebih dahulu. Mungkin karena rasa rinduku pada sahabatku itu, hingga membuatku lupa.Dan di sini aku sekarang, di dalam kamar, hanya bisa berbaring sambil menangisi nasibku. Hingga terdeng
Tadi malam tamu bulananku datang. Pagi harinya, Mas Andra ijin pergi ke luar kota. Dan di saat itulah, aku benar-benar bisa bebas.Eits, tunggu dulu!Yang kumaksud bebas di sini, bukanlah bebas keluar rumah sesuai yang kuinginkan. Bukan!Bebas yang kumaksud adalah bebas kewajiban di atas ranjang. Selain itu, aku juga bisa leluasa memasak, membuat kue, dan mengacak-acak dapur seperti sekarang. Biarlah aku hanya di dalam rumah, yang penting aku bisa melakukan kegiatan yang kusuka. Tak lupa aku juga meminta Rara dan ketiga anaknya datang ke rumah. Mas Andra tetaplah Mas Andra yang posesif. Jika dia ke luar kota, dua bodyguard menjagaku di depan rumah. Bahkan di seluruh sudut rumah kami terpasang CCTV. Sampai bulan lalu saat ke luar kota, Mas Andra masih belum mengijinkanku beraktifitas di dapur. Namun, aku selalu merengek dan merayunya sampai akhirnya dia mengijinkan."Mbak, nanti Bibi saja yang mencuci peralatan masaknya. Mbak Arini jangan terlalu capek. Kalau sakit, nanti bapak mara
Bi Lastri menggandeng tanganku lalu mengajakku duduk di ruang makan. Dia meninggalkanku sebentar lalu kembali dan duduk di sampingku."Itu tadi Bu Melisa yang teriak-teriak, Mbak." Ucapan Bi Lastri sangat mengejutkan."Masak sih, Bi? Memangnya dia mau ngapain lagi ke sini?" tanyaku penasaran. Mas Andra dan Melisa sudah bercerai lebih dari tiga tahun yang lalu. Kenapa mantan istri Mas Andra masih saja mengganggunya? Apa ada yang belum selesai di antara mereka?"Sepertinya dia ingin rujuk. Itu yang sempat saya dengar waktu Bu Melisa bicara berdua sama bapak." Aku hanya bisa mengelus dada berulang kali sambil beristghfar."Astaghfirullah ... sudah ditolak, masih saja nekat. Apa nggak ada laki-laki lain di dunia ini sampai-sampai merendahkan harga dirinya? Apa dia nggak tahu kalau Mas Andra sudah menikah lagi?" "Saya juga nggak tahu, Mbak. Sebaiknya sekarang Mbak istirahat saja di kamar. Kalau Mbak Rara datang, nanti saya panggil." Lagi-lagi itu yang Bi Lastri minta, menyuruhku istiraha
Sepuluh hari berlalu. Mas Andra tadi malam sudah pulang dan langsung menuntut haknya.Setelah sholat subuh, aku kembali terlelap. Kalau sudah seperti itu, Mas Andra tidak akan membangunkanku saat dirinya berangkat kerja. Entah berapa lama aku tidur, hingga terdengar suara Bi Lastri membangunku."Mbak, bangun, Mbak ... makan dulu."Aku menggeliat, rasanya mataku masih ingin terpejam. Badanku pun terasa remuk redam. Namun, aku harus makan agar tidak sakit. Aku harus kuat. Apalagi suami perkasaku sudah di rumah."Jam berapa ini, Bi?" tanyaku sembari beringsut turun dari ranjang, berjalan perlahan lalu duduk di sofa yang ada di dalam kamar.Bi Lastri merapikan meja rias lalu melepaskan sprei yang berantakan, kemudian menggantinya dengan sprei baru yang sudah disiapkan. Aku bahkan seperti anak balita yang dibangunkan ibunya, tanpa harus merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Mungkin memang sudah menjadi jalan hidupku yang selalu dimanja, semenjak bayi sampai menikah. "Sudah jam sebe
“Kukira Mas sakit sampai-sampai berhubungan dengan seorang dokter.” “Alhamdulillah aku sehat, bahkan sangat sehat. Mau berapa ronde?” tanya Mas Andra sambil menaikturunkan alisnya yang hitam dan tebal itu. Wajahku menghangat mendengar ucapannya yang sepertinya sengaja menggodaku. Aku pun berdecak sebal, menutupi rasa malu. “Ish, Mas ini. Selalu itu yang dibahas. Ya sudah, aku tidur saja. Katanya Mas mau kerja.” “Iya, sayang sekali ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau nggak, aku akan memakanmu dengan lahap.” “Memangnya aku ayam kecap?” Mas Andra hanya tertawa. Lalu berjalan meninggalkan kamar setelah mengecup bibirku singkat. *** Aku mengerjapkan mata, melihat sekelilingku. Mas Andra masih belum masuk kamar. Kulihat jam di dinding sudah melewati angka satu. Apa pekerjaannya sebanyak itu sampai-sampai Mas Andra belum tidur selarut ini? Aku beringsut turun dari ranjang dengan perlahan. Meskipun masih mengantuk, aku paksakan untuk mengambil salah satu buku
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi Mas Andra belum pulang. Ponselku pun sepi tanpa ada satu pesan atau panggilan telepon dari suamiku. Tumben sekali. Sepertinya Mas Andra benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin dia sibuk mencari siapa pengirim pizza? Ah, semoga saja jika Dika pengirimnya, tidak membuat masalah baru. Aku lelah dengan sikap suamiku yang terlalu pencemburu itu. Aku berbaring setelah sholat empat rakaat. Mataku tak bisa terpejam karena memikirkan suamiku. Jika Mas Andra pulang terlambat, biasanya dia pasti memberitahuku terlebih dahulu. Apa dia marah? Kumainkan ponsel mahalku yang sepi, tanpa aplikasi apa pun kecuali aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Bahkan aku sama sekali tidak berniat men-download aplikasi media sosial satu pun. Apalagi yang sekarang lagi viral, yang di sana kita bisa belanja dengan harga sangat murah. Itu semua aku tahu dari Rara, karena dia sekarang juga berjualan melalui aplikasi yang bernama Tok Tok itu.
Bi Lastri tertawa terpingkal-pingkal, mungkin karena mendengar ucapanku. Memang terus terang saja kalau aku kurang healing, kurang refreshing. Bayangkan saja, dikurung di rumah tanpa boleh pergi ke mana pun, siapa yang akan betah? Bersyukur aku memang tipe orang yang tidak suka keluyuran. Namun meskipun begitu, kadangkala aku juga merasa bosan. Wajar, bukan? “Mbak Arini memang lucu. Pantas saja kalau bapak gemas dan cemburu. Kalau Mbak Arini dibiarkan keluar sendirian tanpa pengawasan, pasti digodain banyak laki-laki, mulai hidung polos sampai hidung belang.”“Sekarang Bibi yang lucu,” balas ku sembari tersenyum lebar. “Sudah, Bi, saya mau ke kamar. Semoga saja pizza itu benar-benar dari Mas Andra,” pamitku untuk yang kedua kalinya. “Semoga saja, Mbak.”Aku melanjutkan langkahku menuju kamar. Baru saja sampai di depan pintu, tampak Mas Andra keluar dari ruang kerjanya lalu berjalan ke arahku. Dia tersenyum manis sekali. “Habis makan ya, Sayang?” tanya Mas Andra setelah berdiri tep
Aku tersenyum melihat foto yang dikirim Mas Andra. Dia duduk berhadapan dengan Dika, di salah satu restoran Jepang ternama. Ternyata Mas Andra menyetujui permintaanku.Kukirim pesan ucapan terima kasih dengan emoticon love yang entah berapa jumlahnya, mungkin dua puluhan. Dan Mas Andra membalasnya dengan emoticon ketawa. Ish, menyebalkan! Untung cinta.Aku berjalan keluar kamar lalu menuju ruang makan. Perutku mulai meronta, protes minta diisi. Pantas saja, sekarang sudah pukul sebelas siang dan aku memang belum makan apa pun dari pagi, hanya segelas susu setelah sholat subuh. Hampir setiap hari aku tidur lagi setelah sholat subuh, karena lelah semalaman melayani Mas Andra. Ingin menolak tapi aku juga tidak ingin dia nanti selingkuh. Apalagi godaan wanita lain di luar sana selalu mengintai bagi pria tampan dan mapan seperti suamiku itu."Bi Lastri masak apa?" tanyaku pada Bi Lastri yang baru saja menyajikan masakannya di atas meja. Baunya sangat menggugah selera."Saya masak capcay sa
Mas Andra beranjak berdiri lalu duduk di sampingku. Dia lalu menepuk pahanya, sebagai isyarat agar aku duduk di pangkuannya. Karena penasaran, aku pun menuruti permintaannya."Bukan anakku, Sayang, tapi anak dia dengan suaminya. Setelah kami bercerai, dia menikah dengan selingkuhannya. Satu tahun kemudian, nggak sengaja aku bertemu dan perutnya sudah buncit."Aku merasa lega mendengar jawabannya. Setidaknya Mas Andra tidak ada urusan lagi dengan Melisa. "Lalu?" Aku penasaran dengan kelanjutan cerita tentang Melisa dan anaknya. Mas Andra pasti punya alasan yang kuat kenapa dia membantu mantan istrinya."Lalu apa?" Mas Andra bertanya sambil terkekeh. Aku tahu dia tak ingin lagi membahas tentang mantan istrinya. Namun, aku tak mau menyerah begitu saja."Lalu kenapa Mas memberikan sembako dan uang. Apa alasannya, Mas? Bukankah dia punya suami? Kalau orang yang nggak tahu, pasti dikira Mas masih cinta sama dia. Aku juga nggak menyalahkan Melisa jika dia sampai berpikiran seperti itu."Ma
"Anu, Pak ... tadi di pasar ponsel saya jatuh, terus tiba-tiba saja waktu saya cari, Bu Melisa datang mengembalikan ponsel saya. Sumpah demi Allah, Pak, saya tidak memberi nomornya Mbak Arini pada Bu Melisa. Bapak harus percaya sama saya."Akhirnya Bi Lastri menceritakan apa yang dialaminya sewaktu di pasar dengan terbata-bata. Aku yang sudah mendengarnya, berusaha membela Bi Lastri. Aku yakin Bi Lastri tidak bersalah."Mas, aku yakin Bi Lastri tidak berbohong. Ayolah, Mas sendiri tahu bagaimana pengabdian Bibi selama ini. Apalagi Mas juga sudah mengenal Bibi selama sepuluh tahun."Mas Andra menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dia lalu mengecup puncak kepalaku sebelum meninggalkan kami. Sepertinya Mas Andra masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia hanya mendengarkan tanpa membalas penjelasan Bi Lastri."Tenang ya, Bi, Insya Allah Mas Andra percaya sama Bibi. Sepertinya dia sudah nggak marah, nanti aku akan mencoba membujuknya lagi. Aku juga nggak mau kalau Bibi
Aku belum membalas pesannya tapi Melisa sudah meneleponku. Sepertinya dia tipe wanita yang tak sabar. Karena penasaran, aku pun segera menjawab panggilan teleponnya."Assalamu'alaikum."Sudah kebiasaanku mengucap salam terlebih dahulu saat menelepon atau menjawab panggilan. Kecuali kalau sedang marah dengan Mas Andra, aku akan diam saja sampai Mas Andra mengulang salamnya tiga kali. Meskipun sering membuat jengkel tapi Mas Andra begitu baik dan sabar."Wa'alaikumussalaam ... kamu Arini?"Seorang wanita menjawab salamku. Suaranya terdengar serak-serak basah. Aku membayangkan Melisa pasti cantik dengan body ramping dan seksi, sangat serasi jika berdampingan dengan Mas Andra yang berbadan tinggi tegap dan perkasa.Ah, membayangkan keperkasaannya, aku tiba-tiba membayangkan Mas Andra yang sedang bercinta dengan Melisa. Astaghfirullah ... kenapa pikiranku oleng begini?Segera kutepis bayangan itu. Apalagi terdengar suara Melisa yang mengulangi pertanyaannya."Hei, kamu Arini, bukan?""Iya,
Setelah pulang dari mall, aku mengurung diri di kamar. Seharian aku menangis, tanpa mau makan dan minum. Pertemuanku dengan Dika, ternyata menjadi masalah. Mas Andra juga langsung mengajakku pulang dan rencana jalan-jalan pun gagal."Sayang, ayo makan dulu. Dari tadi siang kamu belum makan."Mas Andra kembali merayuku tanpa rasa bersalah sedikit pun. Bahkan dia sama sekali tidak mengucapkan kata maaf. Aku sangat kesal dengan sikap posesifnya, yang semakin hari semakin membuatku tertekan."Sayang, kamu masih marah?" Mas Andra membelai lembut rambutku lalu mengecup puncak kepalaku berulang-ulang. Tangisku sudah berhenti tapi aku masih diam di kamar. Aku hanya beranjak untuk melakukan sholat setelah itu kembali merebahkan badan. Rasanya aku tidak ingin makan atau melakukan aktifitas apa pun. Dan dia dengan santai bertanya apa aku masih marah? Menyebalkan!"Sayang ...."Kutepis tangannya yang hendak memelukku dengan perlahan. Tenagaku mulai lemah karena lapar, apalagi sekarang sudah ma
Akhirnya aku hanya bisa percaya dengan ucapan Mas Andra. Selama ini, Mas Andra memang tak pernah bohong. Apa yang diucapkan dan juga yang diinginkannya selalu jujur. Itu yang aku tahu. Hanya saja, semua tentang masa lalunya, Mas Andra belum mau mengatakannya dengan terus terang, terlalu banyak rahasia yang dia sembunyikan."Sayang, kalau kamu mau, hari ini kamu bisa ikut denganku. Aku bertemu dengan klien bos di rumah makan cepat saji di dalam mall. Jadi setelah meeting, kita bisa jalan-jalan." Mendengar Mas Andra mengajakku keluar rumah, aku melonjak kegirangan. Aku seperti anak kecil yang diajak jalan-jalan ayahnya.Kepeluk dari belakang tubuh tegapnya yang sudah terbalut kemeja biru tua. Mas Andra sedang berdiri di depan cermin, menggulung rapi lengan bajunya sampai ke siku. Suamiku terlihat sangat macho dengan penampilannya seperti itu."Beneran, Mas?" Meskipun Mas Andra sudah mengajakku, aku masih saja tak percaya. "Iya, Sayang. Nanti akan kupilihkan tempat duduk yang tidak ja