"Aku sudah memutuskan, namanya Karin Nevada." Laksita mengelus kening bayi mungil yang tertidur pulas dalam dekapannya, sambil sesekali memandangi wajah pria yang sedang duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum kemudian bergantian mencium kening Laksita dan bayi kecil itu.
"Nama yang indah," ucapnya.Laksita tersenyum simpul. Setelah melewati persalinan melelahkan selama hampir 20 jam, bayi yang diberi nama Karin Nevada itu lahir melalui jalan lahirnya. Semua terbayar tuntas setelah melihat wajah Karin dengan mata hitam berbinar, tampak sangat ingin menjelajah dunia."Albert," tegur seorang pria berjas hitam yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar pasien yang sedang ditempati Laksita. Albert, suami Laksita seketika berdiri saat melihat pria itu. Dia menunduk patuh, bahkan seperti ketakutan.Pria berjas hitam itu sedikit maju dan muncullah sesosok laki-laki bertubuh tegap dan tinggi. Laki-laki itu tampak sangat muda, sekitar umur 20-an namun auranya mampu mendominasi siapapun yang ada di dekatnya."Tuan Katon! Sungguh suatu kehormatan Anda datang kesini," seru Albert, seketika bersimpuh.Katon Bagaskara, pewaris tunggal keluarga bangsawan Bagaskara yang paling berpengaruh di negeri Alfansa. Seluruh warga Alfansa tahu jika mendapati salah satu keluarga bangsawan datang mengunjungi warga biasa adalah suatu musibah. Dan firasat Albert pun juga berkata demikian, meskipun dia tidak memiliki kuasa untuk menolak. Katon memiliki tatapan mata yang dingin dengan semburat warna kehijauan yang dia dapatkan dari ibunya. Banyak desas desus yang sempat terdengar sampai ke telinga Albert bahwa Katon telah mengintai Laksita sejak hamil muda 9 bulan lalu. Maka ketika Katon tiba-tiba saja datang, semua orang tidak heran."Ada perlu apa Tuan Katon?" tanya Albert, tentu untuk menghibur dirinya sendiri dan sangat berharap Katon datang hanya untuk berkunjung.Tatapan mata Katon terpusat pada Laksita, lebih tepatnya pada bayi yang sedang didekap erat oleh Laksita. Warna matanya berubah hitam kelam, membuat pria berjas hitam asisten Katon mundur satu langkah sambil menunduk. Berkali-kali dia mencuri tatap dengan Albert, mengisyaratkannya untuk tetap tenang."Kalian punya waktu sampai 18 tahun untuk bersamanya," ucap Katon dengan nada berat. "Setelah itu dia milikku."Ucapan Katon sukses membuat dengkul Albert lemas dan tanpa sadar bersimpuh di samping ranjang istrinya. Sementara Laksita menjerit sejadinya hingga si kecil Karin menangis karena terbangun. Katon telah membalik badannya, dan yang bisa dilihat Albert hanyalah punggungnya yang dingin. Semua orang tahu hal ini akan terjadi, meskipun tak menyangka jika anak Albert dan Laksita yang akan menjadi pengantin Katon Bagaskara.* * *Alfansa, negeri dimana keturunan manusia dan iblis hidup berdampingan dengan tenang dan saling melengkapi. Warga biasa hidup dalam damai tanpa ancaman peperangan dan bahan pokok yang selalu terpenuhi, sedangkan sebagai gantinya iblis yang memiliki kemampuan di atas nalar menginginkan keturunan dari warga manusia untuk menjaga populasinya. Setiap iblis akan memilih pengantin mereka dan ketika mereka telah menentukan pilihan, tidak ada yang bisa menolaknya. Keluarga Bagaskara, sebagai keluarga bangsawan iblis yang menguasai seluruh negeri hanya memiliki Katon sebagai pewaris tunggal dan mewajibkannya untuk memilih pengantin. Dan pilihan Katon jatuh kepada anak Laksita yang telah dia amati semenjak dalam kandungan.Karin Nevada telah ditandai sejak lahir dan sebagai calon pengantin bangsawan iblis, auranya akan menarik banyak laki-laki baik warga biasa maupun bangsawan. Hidupnya tak pernah tenang, bahkan Albert harus mengorbankan nyawanya untuk melindungi Karin dari para lelaki hidung belang di luar sana. Karin berusia 16 tahun saat Albert meninggal dan hanya dia serta ibunya yang tersisa. Semenjak kematian Albert, Laksita lebih banyak diam dan tidak menghiraukan Karin, bahkan ketika Karin harus menghadapi ganasnya dunia luar yang seakan haus akan tubuhnya."Semua cewek di sini suka sama gue, Rin. Dan lo nggak?" Erik, sang pemain basket paling populer di sekolah juga tertarik akan aura Karin. Dia mendorong tubuh Karin pada dinding parkiran belakang, menghadangnya dengan kedua tangan. Karin terpojok."Gue udah bilang kan? Gue berbeda, Erik," jawab Karin. Bukan hal baru bagi Karin untuk mendapat paksaan semacam ini.Erik tertawa sinis, "Bokap lo cuman pemilik toko kecil dan sekarang dia udah meninggal. Sedangkan gue, gue punya segalanya. Bokap gue bakal ngasih semua buat lo."Karin menggeleng, mendorong tubuh Erik menjauhinya, "Maaf, Erik."Sorot mata Erik berubah kesal. Dia makin memojokkan tubuh Karin, tubuhnya semakin maju ke depan dan siap menyentuh bibir Karin kapan saja. Karin tak bisa menghindar, karena Erik meraih wajah kecil Karin dengan kedua telapak tangannya yang besar. Karin berusaha keras melepas tangan Erik dari wajahnya walaupun itu sia-sia."Karin!" seru Elsa, memecah ketegangan antara Erik dan Karin. Karin langsung berlari menghampiri Elsa dan Erik menyeringai kesal sambil melotot ke arah Elsa."Lo nggak bisa maksa orang yang nggak suka sama lo, Rik!" maki Elsa lalu menarik tubuh Karin untuk bergegas meninggalkan Erik sebelum cowok itu mengejar mereka.Elsa tertawa sambil sesekali mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Baginya baru kali ini dia melihat Erik sampai harus mencium paksa seseorang padahal selama ini banyak gadis yang pasrah menyerahkan bibirnya kepada Erik. Dia tahu Karin tak pernah tertarik kepada siapapun, padahal sudah kelewat banyak cowok yang menginginkannya."Kenapa nggak lo terima aja sih? Lumayan kan bisa nyicip Erik!""Hus!" Karin menutup bibir Elsa dengan jarinya. "Gimana kalau Farah denger?""Lo yakin Farah satu-satunya bagi Erik? Kalau gue sih nggak yakin. Buktinya dia hampir nyium lo tadi," Elsa cekikikan dan berkali-kali Karin menyuruhnya mengecilkan suara.Ketika mereka sedang asyik menertawakan Erik, tampak di seberang Erik sedang mengamati Karin dengan sorot mata marah. Senyum di wajah Karin perlahan memudar, menyisakan tatapan balasan pada Erik dengan perasaan tak menentu. Dia benci dirinya sendiri. Jika boleh memilih, dia ingin menjadi gadis biasa saja yang tak disukai siapapun. Setidaknya selain hidupnya lebih tenang, tidak akan ada yang tersakiti hatinya."El ... " Nada suara Karin melemah dan sebagai sahabat yang sudah sejak kecil bersama, Elsa paham dengan perubahan sikap Karin."Lo nggak salah, Rin. Lo berhak nolak dia," Dia memegang pundak Karin, berusaha membuatnya tak cemas."Gimana kalo Erik nyelakain gue?"Elsa menggeleng keras, "Kenapa? Dia bisa kok cari cewek lain yang lebih cantik dari lo. Mungkin karena nggak pernah ditolak dia jadi marah banget."Terlihat Farah menghampiri Erik dan mereka berciuman mesra. Sambil berciuman sesekali Erik menatap Karin untuk melihat reaksinya, walaupun tentu saja Karin tak merasakan apapun. Elsa yang gerah melihat pemandangan itu beranjak berdiri dan mengajak Karin meninggalkan kantin."Ngomong-ngomong Rin, tanda lahir lo unik ya," ujar Elsa saat Karin berjalan di depannya. "Tapi... kok gue baru tahu sekarang ya? Sejak kapan ada tanda lahir di sini?" Elsa menyentuh leher belakang Karin."Tanda lahir apa?" Karin meraba lehernya, tak mengerti dengan maksud pertanyaan Elsa. "Gue nggak punya tanda lahir disini.""Tapi ini ada Rin. Lihat deh!" Elsa berinisiatif memotret leher belakang Karin lalu menunjukkannya. Terlihat sebuah tanda lahir berbentuk huruf K samar dan berwarna hitam mirip tato."Ini apa?" tanya Karin pada dirinya sendiri dan secara spontan Elsa mengangkat bahu.Beberapa menit termenung, Elsa tiba-tiba tersenyum nakal penuh arti. Dia melirik Karin sambil menautkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah."Lo bikin tato di leher biar nggak ketahuan guru kan?" tanya Elsa dengan nada berbisik.Karin seperti terbawa lamunannya sendiri karena dia tidak menyahut pertanyaan Elsa. Dia teringat akan perkataan ayahnya sebelum meninggal, tentang seseorang yang akan datang menjemputnya. Sang ayah, Albert tidak mengungkapkannya secara jelas, namun Albert hanya meminta Karin untuk selalu melindungi dirinya karena seseorang itu bisa datang kapan pun. Mungkinkah tato ini ada kaitannya?"Rin! Karin!" Elsa mengguncang bahu Karin sekerasnya karena dia tahu temannya itu sedang tidak bersamanya sekarang.Karin gelagapan dan mengerjapkan mata kaget. "Ada apa El?"Elsa menunjuk ke arah seorang gadis yang tertunduk lesu berjalan mengikuti dua orang pria berjas hitam. Semua orang tidak ada yang berani mendekat atau memandangi mereka, sebaliknya hanya berani menunduk takut. Elsa mendekatkan mulutnya ke telinga Karin."Dia Erna anak IPA 4, dia dibawa ke wilayah para bangsawan iblis.""Kenapa?" tanya Karin polos.Elsa membelalak lebar, "Seriously Karin?!""Kenapa? Bukannya kita nggak bisa mendekat ke wilayah para bangsawan?"Elsa semakin mengguncang bahu Karin, "Lo nggak pernah denger tentang pernikahan kaum kita dan bangsawan iblis?""Rin, para bangsawan itu selalu nyari pasangan dari kaum kita. Karena kalau mereka nikah sama kaum mereka sendiri, ga bisa ada keturunan," terang Elsa."Lo beneran nggak pernah tahu soal ini?"Karin menggeleng lagi. Pandangannya tak lepas pada Erna hingga gadis itu menghilang pergi menaiki sebuah mobil hitam mewah."Untung kita nggak dipilih sama mereka. Bayangin aja kita harus nikah sama mereka dan nggak bakal balik ke sini lagi. Ngeri banget!" cerocos Elsa sambil begidik ngeri.Namun Karin tak bereaksi apapun, karena dalam hati dia memiliki firasat yang kurang enak setelah mengetahui ada tato kecil di belakang lehernya. Meskipun bisa saja itu inisial namanya sendiri, namun melihat ucapan sang ayah sebelum meninggal membuat Karin bertanya-tanya.Hujan deras mengguyur tubuh Albert dan Karin yang duduk bersimpuh tak berdaya di aspal yang hitam. Lima orang preman dengan tubuh tegap berjalan maju, satu orang di antaranya memakai payung berwarna merah marun. Pria berpayung itu tersenyum licik dan puas melihat tubuh ayah Karin tumbang."Tidak ada yang bisa melawanku, Karin. Harusnya ayahmu tahu itu," ucapnya setengah berteriak untuk melawan suara derasnya hujan. "Jika sejak awal ayahmu setuju menyerahkanmu padaku, dia tidak akan mati sia-sia."Karin tetap menangis keras, pasrah melihat tubuh ayahnya semakin lama semakin kehabisan darah."Sekarang kau milikku," Pria berpayung itu menyuruh empat orang lainnya untuk maju membawa Karin.Ketika Karin berteriak melawan, tiba-tiba seekor anjing hitam besar menghampiri mereka. Anjing itu menggeram, menunjukkan deretan gigi tajamnya yang berselimut air liur yang banyak. Matanya yang hitam legam, perlahan-lahan mendekati kawanan preman itu. Para preman itu mengambil sikap siaga, beberapa meno
Elsa berkali-kali menganga saat dia teringat ucapan Bondan tadi. Dia dan Karin tidak berhasil bertemu si anjing, namun pertemuan tak terduga dengan Bondan membuat Elsa mempunyai fakta baru bahwa Karin akan segera menikah. Entah menikah dengan siapa, namun mendengarnya saja sudah membuat Elsa menduga yang tidak-tidak."Rin, jangan bilang lo calon pengantin bangsawan iblis?!" Elsa segera menutup mulutnya saat dia tersadar jika suaranya kelewat keras.Karin yang semula diam saja dengan segala kehebohan yang ditimbulkan Elsa, akhirnya jengkel juga. Dia melirik Elsa dengan tatapan kesal. Tidak seharusnya Elsa mempercayai ucapan pria brengsek seperti Bondan. Bisa saja dia hanya berniat menakut-nakuti Karin. Namun Elsa sepertinya lebih senang dengan dugaannya tentang Karin adalah calon pengantin bangsawan iblis."Kalo dipikir-pikir lagi, kenapa dia harus ngomong gitu? Lo kenapa nggak nanya siapa yang dia maksud dengan Tuan?" kelakar Elsa masih berusaha merangkai segala kemungkinan."Nggak pen
Karin diam termangu dengan kepala mendongak, ingin tahu seberapa tinggi gerbang besar yang ada di depannya saat ini. Gerbang merah pembatas kehidupan antara kaum bangsawan iblis yang hidup abadi dengan warga Alfansa yang menggantungkan perekonomian pada bangsawan iblis. Tak ada satu pun warga Alfansa biasa yang bisa memasuki gerbang ini, selain hanya mereka yang terpilih seperti Karin. Ayahnya dulu pernah bercerita mengenai siapa saja yang ada di balik gerbang merah ini. Para warga biasa yang bekerja disana karena memiliki kemampuan yang mumpuni ataupun para gadis calon pengantin bangsawan iblis. Para bangsawan itu memiliki kekuatan luar biasa dan hidup abadi, namun hanya satu kelemahan mereka. Tidak bisa bereproduksi dengan sesama. Jadi mau tak mau para bangsawan itu harus mencari calon pengantin dari warga Alfansa.Gerbang merah itu perlahan terbuka, dan di depannya Karin bisa melihat ribuan gedung tinggi dan juga pemandangan kota yang tak kalah indah dengan kota Alfansa."Bangsawan
Seumur-umur Karin tidak pernah tertarik untuk bersaing dengan gadis manapun, karena tanpa bersaing pun hidupnya sudah diperebutkan oleh banyak lelaki hingga membuatnya muak. Namun sepertinya Karin mulai memiliki firasat jika Tanya bisa saja menjadi saingan atau musuhnya. Hal ini dikarenakan entah Katon yang memang memiliki dua calon pengantin, atau Tanya yang sangat mendambakan Katon hingga berbohong menjadi calon pengantinnya. "Karin!" tegur Dewi, karena Karin dari tadi hanya diam sambil menatap Tanya dengan tatapan kosong."Oh iya, kamu kenal Erna? Dia harusnya sih satu angkatan dengan kita karena dibawa kesini dua minggu sebelum aku," Karin mengalihkan topik pembicaraan.Dewi terdiam sambil mengingat-ingat."Erna? Maksudmu Erna yang ditolak calon suaminya?""Apa? Dimana dia sekarang?""Dia kayaknya di kelas sebelah deh," Tak butuh waktu lama bagi Karin untuk segera berlari menuju kelas sebelah yang dimaksud Dewi."Karin!" panggil Dewi, lari tergopoh-gopoh menyusul Karin yang lebih
Karin mendorong tubuh Katon menjauh darinya. Nafasnya tersengal menahan amarah yang serasa sudah menumpuk di tenggorokan dan jika tidak segera dikeluarkan, bisa saja dia berteriak histeris dan menampar Katon. "Ayahku meninggal karenamu," ucap Karin penuh kebencian. Katon hanya tersenyum tipis, "Untuk apa aku mengirim cerberus jika ingin ayahmu mati?" "Cerberus?" "Ya, anjingku," Katon berdiri tegap, kembali mendorong tubuh Karin ke dinding. Kali ini dia mencengkeram bahu Karin dengan erat hingga tak ada sela bagi Karin untuk berontak. "Ini semua sudah takdirmu, Karin Nevada. Kau harus menerima atau mati. Semua ada di tanganmu," Mata hitam legam Katon kembali muncul kapanpun dia berada dekat dengan Karin. Sementara Karin hanya terdiam karena tidak bisa melakukan apapun. Semarah apapun dia, saat ini dia sudah terjebak di dalam dunia Katon. Hal yang terbaik baginya adalah terus memerankan perannya sebagai calon pengantin Katon agar tak ada yang bisa mencelakainya. "Aku harus pergi,"
Karin berusaha keras untuk menjauh dari Katon, namun cengkeraman lelaki itu lebih kuat dari apapun. Bahkan tubuh Karin tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah Katon sendiri sepertinya enggan untuk melepaskan Karin dan ingin Karin tetap duduk dipangkuannya. Dia memandangi gadis itu lamat-lamat hingga membuat Karin jengah. "Bisa nggak kau lepaskan aku?" suruh Karin. "Nggak." "Apa maumu?" "Aku sedang meneliti calon istriku." Diam-diam Karin mencuri pandang pada mata hijau zamrud milik Katon yang indah. Dia amati struktur wajah Katon, begitu tegas dan dingin. Tidak ada yang membedakannya dengan warga Alfansa biasa, kecuali warna matanya yang bisa berubah. "Kenapa kau memilihku?" "Kenapa kau tanya itu lagi?" "Karena aku ingin tahu. Kau tak mungkin memilihku begitu saja, pasti ada alasan dibalik semuanya." Katon tersenyum, "Terkadang kami memang memilih calon pengantin kami secara acak. Makanya ada beberapa calon pengantin yang berakhir mati karena ditolak oleh kami." "Kau memil
"Aku harus pergi." pamit Katon ketika dia dan James sudah ada di depan pintu gerbang masuk negeri bangsawan iblis. "Apakah wajib bagi Tuan Katon untuk mencari Deswita?" "Nona ... " ralat Katon. James hanya menunduk cepat, namun tak berniat meralat ucapannya. "Sebentar lagi aku akan menikah, dan aku ingin dia datang," jelas Katon. "Aku juga ada urusan lain." James bisa membaca pikiran siapapun, kecuali para bangsawan iblis yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Maka ketika Katon sengaja membuka pikirannya untuk dibaca James, lelaki paruh baya itu terperanjat kaget, "Tuan yakin?" "Ya," "Tapi Tuan tidak wajib menghukum Bondan. Biar cerberus yang menanganinya," "Dia telah mengusik wanita yang salah ... " Katon benar-benar pergi meninggalkan James yang masih tampak ragu dan tak rela meninggalkan Katon sendirian, keluar dari gerbang utama menuju dunia warga Alfansa. Namun sebagai asisten yang setia yang telah menemani Katon hampir 150 tahun lamanya, James hanya bisa berharap keputus
Stefani Maura, salah satu keturunan bangsawan iblis Maura yang memiliki kedudukan tertinggi ketiga setelah bangsawan Bagaskara dan Damon. Ketiga keluarga bangsawan iblis yang paling berkuasa di seluruh negeri, termasuk Alfansa. Stefani tentu tak pernah merasakan kekurangan apapun dalam hidupnya. Terlahir abadi dan punya kemampuan luar biasa, serta paras yang menawan. Namun dibalik segala hal baik yang didapatnya, ada satu yang membuat Stefani iri dari manusia biasa. Rahim. Ya, semua bangsawa iblis perempuan tak akan pernah bisa memiliki keturunan dan itulah mengapa dia tidak bisa memilih siapa yang bisa dia cintai. Termasuk ketika dia berhubungan puluhan tahun dengan Katon, dia harus merelakan lelakinya itu dengan penduduk Alfansa karena Bagaskara membutuhkan keturunan untuk terus bertahan. Aldo menceritakan semua tentang Stefani pada Karin, lebih karena dia ingin Karin mengetahui banyak hal mengenai Katon sebelum mereka menikah nanti. "Dan sekarang dia pengen ketemu kamu," ucap Ald
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan
Tanya mendorong tubuh Erna sekerasnya, melampiaskan kemarahan dan rasa iri yang menyelimuti seluruh isi kepalanya. Teman-temannya yang lain bahkan ikut membantu Tanya memegangi kedua tangan Erna, supaya gadis itu tak bisa banyak bergerak. Meskipun Erna meronta dan berteriak brutal, dia tak cukup kuat untuk melawan dua perempuan sekaligus.“Kamu … benar-benar tak bisa dipercaya,” Tanya mencengkeram kedua pipi Erna, murka.“Katamu, kamu tak punya hubungan apapun dengan Hendery?” tanya Tanya.Erna menepis tangan Tanya sekuatnya. “Kamu gila, ya?! Kamu ini sudah punya suami, tapi kenapa kamu masih saja iri ke semua orang?!” bentak Erna.Plak! Tanya menampar pipi kanan Erna keras, hingga bekas tangannya timbul kemerahan.“Selama ini aku selalu menahan, tapi kamu selalu kelewat batas. Kamu ini cuman buangan, tapi kenapa Kamu berani mendekati Hendery?!!”“Apa hubungannya denganmu, hah? Aku tak merebut siapapun, dan aku bukan istri siapapun! Aku berhak dekat dengan siapapun juga!!” Erna balas
Hari ini adalah hari dimana Hendery bisa keluar dari rumah sakit, setelah mendapatkan perawatan selama hampir satu bulan lamanya. Di hari kepulangannya ini, tak ada seorang pun dari keluarganya yang menjemput. Namun Hendery tetaplah Hendery, lelaki yang tak pernah memusingkan apapun selain ambisinya menghabisi Katon. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, maka tak ada halangan bagi Hendery untuk mengemasi barang-barang sendiri, tanpa perlu dibantu siapapun. Tak seperti Katon yang diliputi kemewahan, meski mereka berdua sama-sama dari keluarga bangsawan tertinggi, namun hidup Hendery selalu sendirian.Ketika Hendery mulai memasukkan sedikit barangnya, pintu kamar miliknya dibuka. Melalui ekor matanya, Hendery bisa melihat Erna masuk membawa koper kecil. Gadis itu tak bilang apapun, dan wajahnya juga muram. Namun dia segera membuka koper yang ternyata kosong itu, dan menyambar baju-baju berantakan Hendery dari tangan Hendery, untuk dimasukkan ke dalam koper itu.Hendery tak juga mengatakan ap
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti