Maya pulang setengah jam kemudian, bertepatan dengan Rara dan Robi yang kembali dari sekolah. Seperti yang dikatakannya tadi, Maya pulang membawa satu kantong plastik manggis dan alpukat, meski diikuti gerutuan kesal pura-pura dari Seruni.Seruni menolak ajakan makan siang bareng Lastri dan yang lainnya, sedang Soleh belum pulang dari ladang milik Tirta karena ikut membantu panen di sana. Meski sudah berganti status menjadi mertua seorang Arya, juga besan dari juragan tanah di desanya, Soleh tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Lagi pula yang kaya itu Tirta, bukan dia. Walau tentu saja, baik Arya ataupun Tirta sudah melarang Soleh bekerja, seperti sebelum ada ikatan keluarga di antara mereka.Seruni memilih menunggu Arya, meski saat dihubungi suaminya itu tidak mengangkat telepon. Lastri yang baru selesai membereskan lagi bekas makan mereka dibantu Rara, mengetuk kamar Seruni saat teringat akan percakapan yang tadi dibicarakan oleh Maya dan anaknya.Lastri harus menanyakan kebe
"Masih ada kan manggisnya?" tanya Seruni menghempaskan bokongnya di kursi bekas Robi tadi, mengambil buah manggis yang ada di sana, lalu mengupasnya. "Nggak tahu, ini dikasih ibu. Katanya khusus buat Rara sama Robi, dan sekarang jatah Rara berkurang satu karena diambil Teteh," ujar Rara sedikit kesal. "Iya kah?! Ya udah nanti Teteh ganti. Ibu kemana? Bapak belum pulang?" tanya Seruni bersikap abai dengan protes yang dilayangkan Rara. Dengan santai dia kembali mengambil buah manggis jatah Rara. "Dua," kata Rara membuat Seruni mengernyit heran. "Kamu kenapa, Ra? Apanya yang dua?" "Ya itu, Teteh sudah ambil dua manggis Rara. Biar jelas nanti balikinnya berapa," kata acuh, padahal dia merasa cemas juga kalau ternyata buah manggis jatahnya habis tanpa diganti oleh Seruni. "Tenang, nanti Teteh ganti dua kali lipat.""Beneran, ya?! Awas aja kalau bohong!" "Heem, beres!" "Ini plastiknya, Teh," ujar Robi yang baru kembali dari mengambil plastik untuk sampah kulit manggis. "Masukin sam
Pagi kembali datang, kesibukan rumah kecil Soleh dimulai seperti biasa. Lastri yang bersikukuh dengan tetap menggunakan tungku kayu bakar untuk memulai harinya, meski hal itu dilakukan hanya untuk menjerang air dan menanak nasi saja, karena Soleh tidak menyukai nasi yang dimasak menggunakan alat masak modern seperti kebanyakan orang. Kurang sedap katanya. Meski sebagian besar ibu rumah tangga lebih memilih menggunakan alat tersebut, karena kepraktisan juga sangat mudah digunakan.Soleh tak membebankan Lastri untuk memasak nasi itu ditungku, asal prosesnya saja yang sama, namun lagi Lastri bilang hangat kalau pakai tungku di pagi buta seperti biasa. Aroma kayu bakar, asap yang mengepul dari ruangan paling belakang rumah itu, memenuhi ruangan sampai ke dekat kamar baru Seruni. Kamar yang memang sengaja dibangun di sisa tanah milik Soleh. Rara sudah bangun, dan sudah siap membantu ibunya menyediakan sarapan untuk mereka, sedang Seruni belum nampak keluar dari kamarnya. Begitu juga deng
Seruni merajuk manja saat Arya mengantarnya ke kampus, apalagi saat Arya mengatakan kalau dia tetap akan pergi sendirian untuk menjemput Sukma dan Tirta. "Kan mang Ade harus jemput kamu pulang sekolah nanti, Sayang." Arya mencoba memberi pengertian, melihat Seruni yang cemberut tak terima keputusannya. "Nggak. Pokoknya kalau Aa tetap pergi sendiri, Runi nggak izinkan. Biar nanti Runi telepon ibu kalau yang jemput orang lain saja." Seruni membuang muka, dia hanya tidak ingin Arya kelelahan harus berkendara lumayan jauh pulang pergi. Arya menghela napas panjang, istrinya tengah memperlihatkan kepemilikan atasnya sekarang, mengatur apa yang menurutnya baik untuk Arya, dan dia merasa senang tentu saja. "Baiklah, Sayang. Nanti aku pergi sama mang Engkos," kata Arya akhirnya, lagi pula benar juga yang dipikirkan Seruni. "Gitu kek, dari tadi. Susah amat! Udah, salim dulu. Jadi lama deh Runi turunnya," gerutu Seruni sambil mengambil tangan Arya, sudah lumayan lama mereka berdebat tak pen
Pemilik telinga yang tengah mencuri dengar itu mengusap sudut mata. BUKAN karena kembali menangisi kegagalan cinta pertama, tapi membayangkan bagaimana keluarganya, orang tuanya, sama gelisahnya dengan dirinya. Dia memang sudah bersikap pengecut dengan cara pergi begitu saja, tanpa berani bertanya kenapa dan mengapa waktu itu. Memilih berlari, padahal semua orang tengah berusaha menghindarkan dia dari perihnya luka hati. Terus menghindar, saat sumber semua kesedihan datang untuk berusaha menjelaskan, kenapa dengan sadar mengorbankan perasaan sayang, sebagai kakak yang lama dijadikan panutan. Padahal dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat Arya meradang dalam kubangan nelangsa yang amat dalam. Terjebak. Berusaha bangkit dan beranjak, hingga tangan Tuhan menunjukkan seorang Seruni yang mampu mengobati semua penderitaan. Seseorang yang sudah dia titipi juga hatinya. Seseorang yang sudah bersedia menunggu, untuk disunting saat waktu tepat telah tiba. Seseorang ... yang akhirnya
Aji membuka pesan Sukma yang mengatakan kalau Arya sudah ada di rumah Denni. Dengan konsentrasi yang sudah terpecah, Aji berusaha tetap fokus pada mata kuliah yang sedang diikutinya.Tangannya sesekali mencoret pada buku yang terbuka di depannya, namun tetap dia tidak bisa menerima pelajaran yang diberikan dosen di depan kelas.Hingga saat bel tanda berakhirnya pelajaran terdengar, Aji dengan cepat memasukkan buku kedalam tas. Dia seakan tidak ingin membuang waktu lagi untuk segera bertemu dengan Arya. Cukup sudah perang dingin di antara mereka. Perdamaian antara mereka harus segera dikibarkan, Aji ingin bisa dengan leluasa lagi bercerita segala hal pada Arya. Iya, Aji selalu bercerita tentang apapun pada Arya. Hanya tentang Seruni Aji tidak sempat mengatakannya, karena dia pikir belum jelas hubungan di antara mereka. Hingga menunggu sampai Seruni lulus sekolah dipikirnya adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Arya.Tapi kenyataan sungguh di luar perkiraannya, justru kini g
Tirta membimbing Sukma memasuki kamar Raja, di mana kedua buah hatinya yang beberapa waktu lalu terlibat saling diam kini tengah saling berpelukan. Suara sedu sedan Aji yang terus menggumankan kata maaf pada Arya, memenuhi ruangan.Arya menepuk punggung Aji berulang, dia biarkan air matanya terus berjatuhan. Cengkraman tangan Aji pada bagian belakang bajunya, menggambar betapa hebat adiknya itu mencoba menahan gemuruh perasaan."Maafkan Aji, Aa. Maaf! Maafkan Aji yang sudah berpikiran buruk. Maaf!""Cukup, Ji! Kamu tidak salah. Aa yang sudah diam-diam menyembunyikan semua. Aa minta maaf, Ji! Aa yang salah!"Aji menggeleng dalam pelukan Arya. "Tidak! Aa tidak salah. Mungkin juga tidak ada yang salah di antara kita, hanya saja mungkin memang hanya salah waktu. Aa nggak salah!""Ji, sudah!" Sukma mengusap belakang kepala Aji yang masih memeluk Arya, dan sedetik kemudian, dia pun ikut memeluk kedua anaknya."Sudah. Kita duduk. Ayah senang semua kesalahpahaman di antara kita sudah selesai.
Mukta menoleh pada nama orang yang disebut Raja. Sedikit heran juga, mengapa Raja menanyakan keduanya begitu panggilan dari anaknya itu diterima."Eh, Aa, Ummi pikir Aya. Ada, memangnya kenapa, A? Eh, ini yang satu lagi siapa? Ummi tidak mengenal nomor hpnya?!" tanya Mukta saat menyadari kalau Raja menggunakan panggilan grup."Ini Runi, Bibi.""Oh, Runi ... gimana, Runi?"Sukma menoleh pada istri iparnya saat nama menantunya disebut."Kenapa, Teh?" tanya Sukma mendekat, di ruangan itu hanya ada dia berdua Mukta, para lelaki pergi ke mushola, beberapa saat lalu."Runi, nanyain kalian. Arya sama kamu tepatnya.""Coba dibesarkan suaranya, Teh. Kenapa nggak nelpon ke nomor aku, ya?!" guman Sukma seraya meraih ponselnya, lalu menunjukkan pada Mukta saat melihat ada panggilan tak terjawab dari Seruni.Mukta mengikuti permintaan Sukma, hingga keduanya busa mendengar Seruni dan Raja di ujung sambungan."Runi ... ini Ibu, tadi nggak keangkat teleponnya. Ada apa, Nak?" tanya Sukma mendekatkan w
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"