Tirta membimbing Sukma memasuki kamar Raja, di mana kedua buah hatinya yang beberapa waktu lalu terlibat saling diam kini tengah saling berpelukan. Suara sedu sedan Aji yang terus menggumankan kata maaf pada Arya, memenuhi ruangan.Arya menepuk punggung Aji berulang, dia biarkan air matanya terus berjatuhan. Cengkraman tangan Aji pada bagian belakang bajunya, menggambar betapa hebat adiknya itu mencoba menahan gemuruh perasaan."Maafkan Aji, Aa. Maaf! Maafkan Aji yang sudah berpikiran buruk. Maaf!""Cukup, Ji! Kamu tidak salah. Aa yang sudah diam-diam menyembunyikan semua. Aa minta maaf, Ji! Aa yang salah!"Aji menggeleng dalam pelukan Arya. "Tidak! Aa tidak salah. Mungkin juga tidak ada yang salah di antara kita, hanya saja mungkin memang hanya salah waktu. Aa nggak salah!""Ji, sudah!" Sukma mengusap belakang kepala Aji yang masih memeluk Arya, dan sedetik kemudian, dia pun ikut memeluk kedua anaknya."Sudah. Kita duduk. Ayah senang semua kesalahpahaman di antara kita sudah selesai.
Mukta menoleh pada nama orang yang disebut Raja. Sedikit heran juga, mengapa Raja menanyakan keduanya begitu panggilan dari anaknya itu diterima."Eh, Aa, Ummi pikir Aya. Ada, memangnya kenapa, A? Eh, ini yang satu lagi siapa? Ummi tidak mengenal nomor hpnya?!" tanya Mukta saat menyadari kalau Raja menggunakan panggilan grup."Ini Runi, Bibi.""Oh, Runi ... gimana, Runi?"Sukma menoleh pada istri iparnya saat nama menantunya disebut."Kenapa, Teh?" tanya Sukma mendekat, di ruangan itu hanya ada dia berdua Mukta, para lelaki pergi ke mushola, beberapa saat lalu."Runi, nanyain kalian. Arya sama kamu tepatnya.""Coba dibesarkan suaranya, Teh. Kenapa nggak nelpon ke nomor aku, ya?!" guman Sukma seraya meraih ponselnya, lalu menunjukkan pada Mukta saat melihat ada panggilan tak terjawab dari Seruni.Mukta mengikuti permintaan Sukma, hingga keduanya busa mendengar Seruni dan Raja di ujung sambungan."Runi ... ini Ibu, tadi nggak keangkat teleponnya. Ada apa, Nak?" tanya Sukma mendekatkan w
Menghempaskan bokongnya di kursi rotan di belakang rumah Denni, Aji menatap pada kolam kecil yang di dalamnya terdapat ikan Koi berenang ke sana kemari. Dia lepaskan pikiran mengembara, mengingat apa saja yang sudah berlalu, dan merencanakan hal apa yang akan dia lakukan, di negeri orang yang tak lama lagi akan didatangi.Aji merebahkan diri, menatap langit-langit teras dengan terus mengsugesti diri, kalau di tempat jauh nanti dia akan bisa menghapus semua rasa cintanya pada Seruni. Melanjutkan hidup, tanpa harus terus memikirkan wanita yang sudah menjadi milik kakaknya sendiri. Juga menyiapkan hati agar kuat saat suatu saat nanti dia harus berhadapan dengan Seruni cepat atau lambat.Tidak seperti tadi dia harus berpura-pura tak peduli saat mendengar kakaknya dicari oleh wanita itu. Masih sakit saat mendengarnya."Ji!" Suara Arya terdengar, Aji bergerak duduk agar Arya bisa menyamankan diri di dekatnya."A?! Sudah nelpon si tetehnya?!" tanya Aji sambil tertawa pelan, namun matanya ta
Aji memang tidak mencintai Karin, belum tepatnya. Karena memang tak pernah mencoba mengerti. Tapi dia yakin, ada ruang hatinya yang ditempati gadis itu. Tidak salah kan kalau dia mencoba membuka hati untuk gadis di depannya sekarang? Memberi kesempatan hatinya untuk berpaling dari bayang-bayang Seruni, membuka lembar cerita dengan gadis lainnya meski hanya sekedar mencoba ikatan rasa. Mencoba.Aji meraih tangan Karin, hingga Karin tersentak kaget dengan apa yang dilakukan Aji. Rona merah menghiasi pipi Karin, saat matanya tertaut dengan manik pekat milik lelaki yang begitu menghiasi hati."Ta?!""Kamu mau kan menunggu aku, Rin?" tanya Aji dengan perasan tak mengerti kenapa dia melakukan hal itu."Ma-maksud kamu, Ta?!"Gedoran jantung dalam dada Karin begitu kuat hentakannya, dia sangat bahagia Aji bersikap tak seperti biasanya. Bunga harapan mulai berkembang dalam hati, benarkah Aji akan membuka diri untuknya?"Iya, mau kah kamu menunggu aku? Bila memang kita berjodoh, aku akan data
Ceklek! Arya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Seruni lalu mengambil handuk kecil untuk Arya mengeringkan rambutnya. Arya sedikit menjaga gerakannya, saat mengambil handuk di tangan Seruni, tak ingin wudhunya batal karena bersentuhan dengan kulit istrinya. Padahal biasanya, dia yang selalu ingin merasakan kelembutan kulit itu. Bibirnya tentu. "Minum dulu, Sayang!" Seruni menunjuk pada gelas berukuran besar yang ditutup. "Nanti, sholat dulu udah telat." Arya tergesa memakai baju yang sudah disediakan istrinya. Biasanya dia selalu mengambil baju sendiri, tapi sekarang ada yang menyediakan apa yang akan dia pakai. Meski tidak selalu, tapi Arya menikmati semua yang Seruni lakukan untuknya. Seruni pun hanya memperhatikan Arya yang langsung sholat, melihat pada baju kotor Arya yang disimpan asal di atas tempat tidur. Di sebelahnya ada ponsel yang baru dia lihat sekarang. Mungkin ini yang tadi Arya maksudkan sebagai ponsel baru miliknya. Seruni merapikan baju kotor itu, deng
"Runi! Cepetan atuh jalannya! Lama amat sih di mobilnya?!" protes Maya pada Seruni yang berjalan sedikit tergesa setelah dipanggilnya. Maya pikir Seruni tidak akan lama turun setelah mobil Arya yang mengantar istrinya itu berhenti, jadi Maya berinisatif untuk menunggu. Namun ternyata dugaannya itu salah, karena sahabatnya itu lebih dari lima menit tetap berada di dalam kabin mobil. Ingin meninggalkan, tapi entah kenapa dia merasa sungkan. Akhirnya dia hanya berdiri menunggu di dekat gerbang kampus. Sedang Seruni menggerutu dalam hati karena Arya tidak mau melepasnya tadi, secara tadi subuh tanpa sepengetahuan Arya, istrinya itu sudah kembali melaksanakan sholat. Akhirnya Arya gemas dan tak mau membiarkan Seruni turun, sebelum Seruni memberinya ciuman. Rasanya Arya ingin sekali membawa Seruni pergi ke rumah mereka untuk melepas kerinduannya. Seminggu menunggu, dan akhirnya waktu itu terlewati juga. "Siapa juga yang minta kamu nungguin aku?!" balas Seruni membuat mulut Maya terngan
Deringan ponsel Seruni menghentikan perdebatan mereka. Dengan cepat Seruni membuka tasnya yang disimpan di kursi sebelahnya yang kosong, tanpa harus melihat pun Seruni tahu siapa yang menghubunginya. Maya hanya memperhatikan, dan dari arah depan kedai, sosok yang sedang menghubungi Seruni datang, dengan membawa kantong plastik putih di tangannya. Seruni langsung memutuskan sambungan begitu melihat Arya datang, tersenyum manis menyambut kekasihnya, yang datang menggunakan kaos ketat di badan tegapnya. Topi warna hitam melengkapi penampilan Arya, yang membuat beberapa pasang mata menatap tanpa sungkan. Merasa jengah dengan tatapan yang mengikuti langkah Arya, Seruni berdiri dan menyongsong Arya mendekat. Dengan possesif dia memeluk lengan Arya dan membawanya duduk. Maya terkikik melihat cara Seruni melindungi miliknya. Tak berlebihan, karena Arya memang terlalu sempurna untuk dibiarkan, tanpa meninggalkan jejak pesona pada mata yang melihatnya. Benar-benar bodoh wanita yang sudah m
Lastri tersenyum menyambut kedatangan anak dan menantunya, si kembar Rara dan Robi nampak sedang beristirahat, sambil berselonjoran beralaskan karpet di depan TV."Baru pulang?""Iya, Bu." Seruni menyalami Lastri, lalu menoleh pada kedua adiknya yang seakan mengabaikan kedatangannya. "Ra, Bi, mau nggak?"Seruni mengangkat plastik yang dibawanya. Rara yang tadinya bersikap abai menoleh cepat, begitu juga dengan Robi. Arya tersenyum melihat tingkah kedua adik iparnya itu. "Aku ke kamar duluan ya, Sayang?!" pamit Arya tanpa menunggu persetujuan Seruni, beranjak menuju kamar mereka."Iya, A!""Apa itu, Teh?" tanya Rara mendekat."Mie ayam. Bawa mangkok sana. Itu yang buat bapak nggak pake saos," terang Seruni menjelaskan."Kok, cuman empat bungkus, Teh?" tanya Rara begitu melihat isi kantong plastik bening itu."Teteh sama aa sudah makan tadi. Itu buat orang rumah. Sudah ya, Teteh mau ke kamar dulu, belum sholat."Seruni mengusap kepala Rara yang tersenyum lebar. "Iya, makasih, Teh."Ser
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"