Raja segera turun dari motornya, setelah memberikan alasan yang bisa diterima, dia langsung menuju ke tempat kos Aji. Sengaja Raja menggunakan motor agar lebih cepat sampai, di jam sibuk pulang kerja seperti sekarang, kemacetan tidak bisa dihindarkan. Pintu tempat kos Aji tertutup rapat, tapi beberapa orang tengah berkumpul di sebelah kamar kosnya. Raja menderap langkah, berharap kali ini aji tidak sedang menghindari siapapun dengan kembali pergi. "Assalamua'aikum, Seta ada nggak, ya?!" tanya Raja. Roni dan indra yang kebetulan ikut bergabung melihat ke arah kamar kost Aji, dengan isyarat mereka saing bertanya. "Sepertinya ada deh, A. Tadi emang sempet keluar tapi udah balik lagi. Coba aja telepon," kata Roni yang sempat melihat Aji datang dengan penampilan berantakan. Bahkan saat dia tanya pun Aji mengacuhkannya. "Hp-nya nggak aktif. Tapi aku coba ketuk deh. Makasih, ya?!"Raja mendekat ke pintu kamar Aji, tampak sedikit gelap di dalam, hordeng yang tersingkap sedikit, membuat R
Sukma mengernyitkan keningnya, Raja tergesa menelepon dan memintanya untuk segera datang ke tempat Aji, apa yang dimaksud pergi ada kepentingan yang tadi Raja katakan, adalah pergi ke kosan Aji?"Kenapa, Bu? Siapa yang nelpon?" tanya Tirta melihat pada istrinya yang terlihat bingung. Mukta dan Denni juga ikut menatap Sukma."Raja. Katanya kita ditunggu di kosan Aji. Ibu jadi khawatir, ada apa dengan Aji? Apa yang terjadi padanya?"Cahaya ikut merasa cemas, dia ikut bersuara meminta Sukma segera pergi menyusul Raja."Ditengok dulu saja ke sana, Bi.""Memangnya Raja pergi ke kosan Aji, Ya?" tanya Tirta curiga."I-iya, Paman. Tadi--""Ada yang tidak aku ketahui, Ta?" tanya Denni menatap adiknya. Melihat dari raut wajah adik juga iparnya, Denni yakin ada yang tidak baik-baik saja. Aji terutama.Tirta menggeleng, bukan menyangkal, hanya dia sendiri tidak yakin dengan apa yang sekarang ini sebenarnya terjadi.Denni menghela napas, melihat gelagat adiknya ada hal yang cukup serius harus sege
"A Arya kenapa nggak ikut datang ke sini?" tanya Aji yang tiba-tiba ingin memeluk Arya. Meminta maaf atas semua tuduhan jahatnya pada kakaknya tercinta. Aji rindu. Saat dia pulang kemarin, tak sempat dia memeluk tubuh kakaknya itu. Aji sudah melihat ada jarak yang dibentangkan Arya, begitu melihat dia ada di rumah ibunya. Aji sudah merasa ada dinding yang dibuat Arya menghalangi mereka. Aji yakin itu karena Arya merasa sudah menyakiti hatinya, jadi Arya melakukan itu semua. "Arya pergi dengan Seruni dan Danu ke mall. Mau beli kado buat Dhaka katanya. Tadi pas datang belum sempat, karena bibi sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Dhaka.""Dhaka? Si kecil namanya Dhaka?" Raja mengangguk, dia tersenyum membayangkan sosok mungil yang baru sepuluh hari ini, menjadi anggota baru keluarganya. "Iya, Khamandaka Subrata," ujar Raja bangga. "Nama yang bagus." Aji turut tersenyum melihat kebahagiaan sepupunya. "Terima kasih." Keduanya kembali diam. Suara teman Aji yang tengah berkumpul di
Danu yang sudah terbiasa datang ke pusat perbelanjaan itu, menarik tangan Seruni menuju arena bermain tempatnya biasa main, menunjuk pada permainan helikopter ingin bermain itu. Seruni yang baru pertama kali ke tempat itu, tentu saja tidak tahu bagaimana cara bermain. Dia melihat sekeliling, memperhatikan para orang tua yang tengah mendampingi anaknya bermain di sana. Ternyata dengan menggesekkan kartu, maka permainan akan berjalan. Seruni bingung harus bagaimana mendapatkan kartu tersebut, sedangkan untuk bertanya dia malu juga, karena terlihat sekali kalau dia baru ke tempat seperti ini. Tak habis akal Seruni bertanya pada Danu yang sudah naik ke mainan helikopter incarannya, bocah itu tinggal menunggu helikoper itu bergerak. "Bibi ayo, gesek kaltunya," rengek Danu yang sudah tidak sabar. Dia melihat pada Seruni yang kebingungan. "Emm, Danu ... kartunya Bibi tidak punya. Tadi Bibi lupa tidak membawanya, Danu tahu tidak, di mana bisa mendapatkan kartu itu?" tanya Seruni dengan se
Menjelang isya, Keluarga Subrata itu baru meninggalkan tempat kost Aji. Meski sudah dibujuk untuk ikut ke rumah Raja agar bertemu dengan Arya dan Seruni, Aji tetap dengan keputusannya yang belum sanggup bertemu Seruni sekarang ini. Tapi dengan Arya, Aji setuju untuk bertemu dengan kakaknya itu, kapan saja Arya mau.Meski sudah merelakan semua yang telah menjadi suratan takdirnya, Aji butuh waktu melihat Seruni menemuinya bersama dengan Arya.Tak bisa memaksa, akhirnya Sukma menyerah dengan keinginan Aji. Tapi dia berharap, setelah Arya dan Seruni pulang nanti, Aji mau datang ke rumah Raja karena mereka bermalam di sana. Aji pun setuju, dan dia meminta Sukma mengabarinya saat Arya dan Seruni sudah pulang.Sepanjang perjalanan kembali ke rumah Raja lagi, para orang tua itu memilih bungkam tanpa membahas apa yang baru saja terjadi. Tak ingin pembicaraan yang mungkin akan diucapkan, membuat opini baru tentang hal yang baru saja tuntas dibahas.Raja memilih mengawal mobil yang dikendarai o
Arya menyerahkan Danu pada Raja, bocah itu tetap tertidur lelap meski sudah digendong Arya, lalu berpindah pada ayahnya. Terlalu senang bermain, Danu terlihat sangat kelelahan. Membawa baju bayi sebagai kado untuk Dhaka, Seruni memasuki rumah Raja. Di belakangnya, Arya membawa skuter yang tadi sempat diminta Danu, saat melewati toko mainan. "Skuter?" tanya Sukma menatap heran pada barang yang dibawa Arya. Denni dan Mukta sudah kembali ke rumah mereka, bahkan sempat mengajak adiknya itu untuk menginap di sana, tapi karena Sukma masih gemas dengan si kecil Dhaka, maka besok malam Tirta menjanjikan akan menginap di rumah kakaknya. "Permintaan Danu," jawab Seruni sambil duduk di dekat Sukma. "Uwa kemana, Bu?!" tanya Seruni yang tidak melihat Mukta ataupun Denni. "Sudah pulang," jawab Sukma sambil menatap Seruni. Karena gadis inilah hampir saja ikatan adik kakak di antara anaknya terkoyak. Karena pesona menantunya ini, seorang anaknya akan pergi jauh membawa luka hati. Tapi karena gad
Arya terus memikirkan apa yang menyebabkan perubahan pada Tirta dan Sukma tadi. Dia jelas tidak bisa dibohongi, melihat sikap kedua orang tuanya yang seakan menghalangi dia untuk datang ke tempat Aji. Bahkan tanpa Arya sadari, Seruni pun merasakan perubahan sikap mertuanya, begitu juga dengan sikap Raja dan Cahaya. Mereka semua kompak menghalangi niatnya untuk bertemu dengan Aji, yang menjadi tujuan utama mereka pergi ke Bandung hari ini. Namun hingga malam menjelang, orang yang menjadi tujuan tak berhasil mereka temui. "Apa Aa menyadari sikap ayah dan ibu tadi sedikit berbeda? Berubah gitu?!" tanya Seruni memecah kesunyian di antara mereka. Arya menoleh sekilas, lalu kembali fokus menatap lurus ke depan. Suasana kota Bandung malam hari tetap padat oleh kendaraan. "Aku nggak merasa begitu. Yang dikatakan ayah benar, sudah malam sekarang. Kita bisa sampai rumah larut malam kalau harus mampir ke kostan Aji dulu, Sayang." Arya berusaha bersikap biasa, meski apa yang dikatakan Seruni
Seruni melangkah ragu, namun tak urung dia ikut melangkah di samping Arya. Meski hotel yang mereka datangi tidak semewah hotel-hotel yang dilihatnya di TV, Seruni cukup kaget, melihat harga yang harus dibayar oleh Arya hanya untuk semalam menginap saja.Kalau tahu akan semahal itu, Seruni akan menolak usulan Arya menginap di sana. Apalagi tadi dia sempat merasa risih dengan tatapan pegawai hotel padanya dan Arya, entah apa yang ada dalam benak mereka, mungkin saja menganggap dia dan Arya paman dan keponakan seperti pelayan toko tadi petang. Apa perlu Seruni menulis di keningnya kalau mereka adalah suami istri? Begitu masuk, Seruni memindai ruangan yang akan menjadi tempat peraduan mereka malam ini, ranjang yang sama besarnya dengan tempat tidur milik mereka di rumah Arya, terbungkus rapi dengan sprey warna putih seakan memanggil Seruni untuk segera berbaring di sana.Melangkah lebih dulu, Seruni mendudukan diri di tepi ranjang, melihat pada Arya yang sedang mengunci pintu kamar.Pap
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"