Seruni melepaskan pelukannya pada tangan Arya begitu mereka sampai di tempat parkir, dia sedikit bingung begitu menyadari kalau harus memakai motor untuk pulang ke desanya. Tadi dia menjawab asal saja atas semua yang dikatakan Arya, karena masih ketakutan atas tindakan suaminya, sekarang dia bingung kalau harus pulang, dengan menggunakan kendaraan roda dua tersebut. "Kenapa? Kok bengong?" tanya Arya yang menyadari kecemasan istrinya. "Pa-pakai motor?" "Iya, kan tadi sudah aku bilang kita pulangnya pakai motor, nggak jadi pulang? Nanti bareng sama ibu dan yang lain saja?" tanya Arya sedikit memberi saran, karena melihat keraguan Seruni, dia merasa istrinya itu tidak siap naik motor. "Runi belum pernah pergi jauh pakai motor, takut jadinya," aku Seruni jujur, dia memang jarang bepergian jauh, apalagi menggunakan motor. "Berarti ini akan jadi pengalaman pertama yang menyenangkan, naik motor jarak jauh dengan suami kamu. Kamu akan tahu asyiknya nanti." Arya mencoba membujuk, tapi dia
"Gelap sekali, Sayang, sepertinya mau hujan." Arya sedikit menoleh ke belakang, suaranya sedikit keras mengimbangi suara keramaian lalu lintas. Nampak langit yang terlihat mendung di atas sana, bahkan kendaraan yang berlawanan arah dengannya sudah terlihat basah oleh sisa air hujan, menandakan kalau hujan sudah turun entah di daerah mana. Sedang perjalanan menuju desa mereka, masih terhalang dua desa lagi. "Sepertinya begitu, A. Tapi mudah-mudahan kita sampai rumah sebelum hujan turun," ujar Seruni, dia juga menatap langit di kejauhan sana yang menghitam. "Iya, pegangan yang kencang! Aku mau sedikit ngebut biar kita nggak sampai kehujanan di jalan." Seruni mengangguk, tangannya mengerat pada perut Arya, saat suaminya menjalankan motor dengan laju yang perlahan mulai kencang. Seruni menikmati semua momen kebersamaannya dengan Arya, lelaki yang tidak pernah terbersit sama sekali dalam pikiran akan menjadi teman hidupnya, memperlakukan dia dengan begitu manis dan penuh kasih sayang
Seruni mengeringkan rambutnya dengan handuk, setelah tadi memilih untuk sekalian mandi. Kamar utama yang terdapat kamar mandi di dalamnya, membuat dia terlepas dari tatapan penuh tanda tanya Asih, yang masih saja tak percaya dengan pengakuan Arya saat mereka bertemu tadi. Hujan sudah berhenti tadi, dan setelah membuat teh manis hangat untuk Arya dan Seruni, Asih langsung pulang dengan pernyataan dan peringatan dari Arya tentunya, untuk tidak membocorkan tentang pernikahannya degan Seruni terlebih dulu. Dan sebagai pekerja yang membutuhkan pekerjaan dari majikannya, Asih tentu saja setuju dengan apa yang dikatakan oleh Arya. Menutup mulut, untuk waktu yang hanya Arya dan keluarga besarnya yang tahu kapan akan terbuka. Memasuki kamar dengan membawa teh hangat, Arya menatap Seruni yang tengah menggosok rambutnya yang basah. "Minum dulu, Sayang, supaya tidak masuk angin." Arya menyimpan gelas yang mengepulkan asap tipis, dari cairan kecoklatan di dalamnya di meja rias, di mana Seruni t
"Mau lihat-lihat rumah?" tawar Arya begitu mereka berjalan ke ruang tengah.Seruni melepaskan tangannya dari genggaman Arya, berjalan mendahului begitu sampai di ruang TV. Matanya melihat semua bagian ruangan itu. Tak ada banyak barang di sana, hanya ada TV 32" menempel di dinding, satu set sofa, dua kamar lain yang pintunya tertutup rapat, juga sebuah bufet yang jadi pembatas ruang TV dengan ruang makan yang tadi mereka singgahi.Seruni merasa puas dengan apa yang Arya siapkan untuk mereka. Menoleh pada Arya yang sudah semakin dekat dengannya, Seruni dengan manja memeluk lengan Arya. "Suka?" "Iya." "Kalau masih ada yang ingin kamu tambahkan untuk mengisi ruangan ini, nanti kita beli bareng. Tadinya aku mau beli semuanya bareng kamu, Sayang. Tapi aku pikir, kalau sekedar sofa tidak masalah.""Iya, nggak papa. Runi suka kok. Lagi pula, Runi juga nggak ngerti dengan yang seperti itu. Jadi Runi pecayakan semua sama Aa. Ini juga baju yang Runi pakai bisa pas banget, emangnya Aa tahu u
Hari yang ingin Seruni hindari tiba juga, saat dia harus berjauhan dengan Arya atas pemikiran Tirta yang disetujui oleh suaminya. Menghabiskan waktu berdua dengan Arya di rumah mereka waktu itu, Seruni isi dengan berusaha menjadi istri yang baik untuk Arya, hanya satu yang ternyata tidak bisa dia lakukan, menjadi milik Arya seutuhnya. Karena Arya memang memegang teguh kesepakatan mereka di malam pernikahan mereka. Seruni bahkan sudah mencoba mengambil kendali dan berniat menyerahkan dirinya, namun Arya membalikkan badannya dengan sedikit marah saat tahu niatnya, memilih pergi ke kamar mandi meninggalkannya sendiri, dan selang sepuluh menit baru suaminya itu keluar dari sana dengan wajah basah. Sejak saat tu Seruni tidak memiliki lagi keberanian memancing Arya yang selalu memuaskan dirinya, tanpa meminta apa yang sudah pantas dinikmatinya. Seruni pikir, saat Arya menyerah, dia juga akan mengambil haknya itu. Seruni sudah siap pergi kuliah, sedang Arya sedang berbincang dengan Soleh d
"Jangan terlalu dekat gerbang berhentinya, A. Di sini saja." Seruni menoleh pada Arya, saat mobil mereka akan sampai. Setelah mengantarkan kedua adiknya terlebih dulu, Arya langsung mengarahkan mobil ke kampus Seruni. Kedua adik iparnya itu memekik girang, saat Arya menambah uang jajan mereka walau dibawah tatapan tajam Seruni, yang tidak setuju Arya memberikan uang terlalu banyak untuk mereka. Namun tentu saja Seruni tidak bisa melarang Arya untuk melakukan itu, hanya saja dia takut kedua adiknya jadi kebiasaan. "Di depan sedikit, Sayang. Di dekat pohon." Seruni mengangguk setuju. "Turunlah. Nanti pulangnya aku jemput. Jam berapa?" ujar Arya setelah mobil berhenti. "Seperti biasa. Tapi aku kan sudah tiga hari izin, jadi tidak tahu ada tugas atau tidak.""Nanti kirim pesan saja saat sudah ada kepastian."Seruni menoleh pada Arya dengan sedikit gugup, saat dilihatnya Maya baru turun dari motor bapaknya. Dia merasa was-was kalau sampai sahabatnya itu melihat. "Ada Maya."Arya me
Arya memasuki rumah orang tuanya dengan perasaan heran, tak seperti biasanya pagi di rumah Tirta terasa sepi. Biasanya Tirta akan ada di teras rumah, untuk mendengarkan suara burung peliharaannya sampai matahari naik sepenggalah. Namun pagi ini, dia tidak menemukan Tirta ada di depan, begitu mobilnya masuk kepekarangan. Arya terus melangkah masuk ke ruang tengah, langkahnya memelan saat dia hampir sampai di depan kamar Aji, pintu kamar Adiknya itu terbuka, dan suara Sukma juga Tirta terdengar dari dalam sana. Tak membuang waktu, Arya pun mendekat ke kamar yang sudah lama tidak ditempati oleh pemiliknya. "Assalamualaikum," salam Arya membuat Sukma dan Tirta menoleh ke ambang pintu. "Loh, Aji? kamu kenapa?" Arya terlihat panik begitu melihat Aji yang duduk bersandar pada ranjang, dengan kepala yang diperban. Sukma yang duduk di sisi ranjang sedang menyuapi, sedang Tirta langsung memberikan ruang untuk Arya mendekat. "Wa'alaikumussalam.""Datang juga, nih, pengantin barunya," kekeh
"Sibuk, A?" tanya Tirta setelah mengetuk pintu ruang kerja Arya, yang merangkap sebagai kamar Arya di rumah itu. Melongokkan kepalanya, Tirta menatap pada Arya yang sedang menatap layar komputer di depannya. Terlihat seperti sedang bekerja, padahal otak Arya sedang mencari cara, agar semua kebenaran yang mungkin tidak lama lagi akan terungkap, tidak akan terlalu menyakiti hati Aji. Bisakah? Sepertinya tidak. Karena tetap Aji akan sakit hati saat tahu nanti. "Eh, Yah?! Masuk. Tidak terlalu sibuk, hanya memeriksa laporan yang dikirim Adam." Arya langsung berdiri, melangkah menyongsong Tirta yang mulai memasuki ruangan kerjanya. "Ada yang ingin Ayah tanyakan." Tirta duduk di sofa, melihat Arya yang segera duduk disebelahnya. "Soal apa, Yah?" tanya Arya sambil menoleh pada pintu yang terbuka. Ada rasa khawatir Aji akan datang tiba-tiba. "Soal, istrimu." terlihat sekali kalau Tirta sangat berhati-hati berbicara, dia lebih memilih menggunakan kata istrimu, dari pada menyebut nama Ser
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"