"Sibuk, A?" tanya Tirta setelah mengetuk pintu ruang kerja Arya, yang merangkap sebagai kamar Arya di rumah itu. Melongokkan kepalanya, Tirta menatap pada Arya yang sedang menatap layar komputer di depannya. Terlihat seperti sedang bekerja, padahal otak Arya sedang mencari cara, agar semua kebenaran yang mungkin tidak lama lagi akan terungkap, tidak akan terlalu menyakiti hati Aji. Bisakah? Sepertinya tidak. Karena tetap Aji akan sakit hati saat tahu nanti. "Eh, Yah?! Masuk. Tidak terlalu sibuk, hanya memeriksa laporan yang dikirim Adam." Arya langsung berdiri, melangkah menyongsong Tirta yang mulai memasuki ruangan kerjanya. "Ada yang ingin Ayah tanyakan." Tirta duduk di sofa, melihat Arya yang segera duduk disebelahnya. "Soal apa, Yah?" tanya Arya sambil menoleh pada pintu yang terbuka. Ada rasa khawatir Aji akan datang tiba-tiba. "Soal, istrimu." terlihat sekali kalau Tirta sangat berhati-hati berbicara, dia lebih memilih menggunakan kata istrimu, dari pada menyebut nama Ser
Seruni terus menyalin semua materi yang tertinggal saat dia tidak masuk kemarin dari buku Maya. Ternyata tugas lumayan banyak hingga saat bel istirahat berbunyi, dia masih serius mengerjakan kalau ingin mendapatkan nilai yang bagus nanti, apalagi kini ada suaminya yang menuntut nilai bagus untuk bukti pada Soleh, kalau pernikahan mereka tidak membuat Seruni lalai dalam menuntut ilmu. Dia juga sudah bertekad akan membuat bangga Arya, sama seperti saat lelaki itu masih menjadi orang tua asuhnya. Lucu memang, satu minggu yang lalu Arya masih menjadi orang tua asuhnya. Tapi minggu ini, status mereka sudah menjadi suami istri. Ajakan Maya untuk ke kantin beberapa saat lalu pun terpaksa Seruni tolak, agar tugasnya bisa selesai tepat waktu. Tapi Seruni sempat menitip pada Maya, untuk membelikannya mie ayam dan es teh. Maya yang menerima sodoran uang seratus ribu dari Seruni, dibuat melongo untuk beberapa detik. Dia yang sudah sangat mengenal Seruni, tentunya tahu berapa jumlah uang jajan s
Arya melihat pada jam yang menempel di dinding, hingga jam sebelas siang Seruni tidak ada mengiriminya pesan, bahkan dia juga sengaja tidak mengirim pesan untuk istrinya, takut konsentrasi Seruni yang baru kembali kuliah terganggu. Merenggangkan tangannya, Arya mematikan komputer setelah menyimpan semua data yang tadi diperiksanya. Adam yang menjadi rekan bisnisnya, juga menanyakan mengenai batalnya acara bulan madu yang sudah direncanakan Arya, yang akan menggunakan villa milik keluarganya. Dan Adam juga salah satu teman yang mengetahui, alasan Arya memilih menikahi Seruni. "Nikung gebetan adik sendiri," kata Adam waktu itu. Namun Arya tidak mengambil hati ucapan Adam, karena dia tahu temannya itu hanya menggodanya saja, lelaki dua anak itu bahkan langsung menawarkan villa milik keluarganya, kalau Arya mau berbulan madu gratis, katanya. Dan sayangnya, Arya tidak jadi menghabiskan waktu tiga hari yang awalnya Arya rancang untuk bulan madu, juga untuk saling mengenal lebih baik diri
"Runi, nanti jangan langsung pulang, ya?!" kata Maya berucap pelan."Emang mau kemana?" tanya Seruni dengan mata tetap melihat ke depan, di mana dosen tengah menjelaskan. "Kita lihat Rizal beraksi main basket," jelas Maya dengan berbisik di telinga Seruni saat menyebut nama Rizal. Seruni menjauhkan kepalanya, dia menatap Maya yang terkekeh melihatnya bosan, karena kembali menyebut nama Rizal. "Ini sebenarnya yang suka ke Rizal siapa, sih? Kamu deh kayaknya, May?! Abisnya antusias banget! Jangan bilang kamu malah naksir Rizal lagi dan melupakan Didi?" tuduh Seruni membuat Maya melotot tidak terima. "Idiiiihh, Runi … mana ada yang seperti itu?! Aku tetep sama Didi lah, aku kan hanya tim sukses Rizal saja biar menangin hati kamu," ujar Maya judes. Seruni tertawa pelan melihat sahabatnya berang. "Abisnya kamu semangat banget promosikan Rizal sama aku, udah aku bilang aku nggak tertarik buat cinta-cintaan." Seruni melirik Maya yang nampak bersungut. "Ya, kali aja nanti kamu berubah p
Menggandeng tangan Seruni memasuki rumah makan dengan menu utama sate, Arya memilih lantai dua rumah makan tersebut yang langsung menghadap ke danau buatan di seberang jalan raya. Angin sepoi berhembus sejuk, beberapa orang terlihat mencoba keberuntungan dengan mencari ikan di danau tersebut. Nampak pula dua permainan bebek, sedang dikayuh penyewanya di tengah danau. Meski bukan hari libur, suasana tempat yang berada persis di pinggir jalan utama itu, dijadikan tempat istirahat sejenak untuk melepas penat, selama menuju tempat yang dituju. Tak heran kalau tempat itu selalu saja ramai oleh pedagang juga pengunjung. Pulau kecil yang ada di tengah-tengah danau. Menjadi tujuan lain para pengunjung untuk sekedar berphoto atau sekedar makan. Banyaknya pedagang sate maranggi yang menjadi makanan khas daerah setempat, membuat siapapun yang lewat merasa lapar, dengan aroma daging yang sedang dibakar tercium menggoda.Duduk lesehan, Seruni menatap lurus ke arah danau. Ini pertama kalinya dia m
Andra memandang kepergian Arya dan Seruni yang bergandengan tangan, setelah mengantarkan pesanan Arya, Andra langsung sibuk melayani pengunjung lain, hingga tidak sempat bertegur sapa lagi dengan kakak teman SMA-nya itu. Dia menyadari Arya sudah selesai makan, saat lelaki itu tengah membayar di kasir, dengan Seruni yang tak lepas tangannya di genggam Arya. Bahkan dengan iseng, dia mengambil gambar Arya dan Seruni, yang berjalan keluar dari rumah makan. Andra jelas bisa membaca, kalau Arya dan Seruni memiliki hubungan istimewa. Bahkan saat sudah naik diboncengan motor Arya, tanpa ragu Seruni melingkarkan tangannya memeluk Arya. Apa Aji tahu tentang itu? Karena setahunya, temannya itu kuliah di bandung, dan hanya sesekali bertegur sapa di grup alumni sekolah mereka. Tapi, memang Aji dan Seruni tidak pernah terikat hubungan apapun selama sekolah, jadi bisa saja justru kakaknya yang berhasil menjerat hati gadis muda itu akhirnya, bukan adiknya. 'Tapi jelas mereka terpaut umur yang sang
Aji tersenyum menatap layar ponselnya, kenapa dia bisa lupa untuk menghubungi Andra dan meminta sahabatnya itu datang? Tentunya dia tidak akan terlalu bosan di rumah sendirian. Sukma jelas tidak akan memberikannya izin keluar, selama dirasa ibunya itu, dia masih sakit. Padahal badannya sama sekali tidak merasakan, apa yang menjadi kekhawatiran wanita yang sangat disayanginya itu. Hingga Aji hanya bisa pasrah, diperlakukan layaknya pasien yang sangat parah penyakitnya. Sungguh Aji tidak bisa menolak semua perlakuan Sukma, yang terus saja menganggapnya seperti anak kecil. "Aji sudah mahasiswa loh, Bu. Sudah besar, udah dewasa. Tapi Ibu selalu saja, menganggap Aji seperti anak TK," protes Aji, saat Sukma kembali memaksanya untuk segera tidur, setelah minum obat. Dan lagi-lagi jawaban yang sama diberikan Sukma, yang membuat Aji hanya bisa menahan senyuman. "Mau segede dan setua apapun. Bagi Ibu, kalian anak-anak Ibu. Entah kamu atau si aa, adalah anak kecil yang harus Ibu jaga dan raw
Seruni merengut sedih saat Arya berpamitan, rasa tak terima harus berjauhan dengan Arya walau untuk lima hari ke depan, membuatnya merasa tidak diharapkan oleh suaminya. Dia jelas tak bisa jauh dari Arya sekarang, namun justru suaminya pamit untuk mereka harus berpisah, untuk beberapa malam lamanya. Sedangkan mereka tinggal di desa yang sama, tapi alasan yang Arya katakan dan atas saran Tirta, sangat tidak adil untuknya. Sangat tidak adil. Arya yang tahu istrinya sedang merajuk, segera menarik Seruni dalam pelukan. Andai saja gadis yang saat ini ada dalam dekapannya itu tahu, kalau dia pun sama beratnya harus berjauhan untuk sementara waktu dengannya. Namun demi menjaga pernikahan yang harus dirahasiakan untuk sementara waktu, dia rela melakukan itu, berjauhan dengan hati yang jelas tidak sanggup melakukannya. "Jangan cemberut gitu, kan sudah kita bahas tentang ini waktu itu. Hanya lima hari, itu pun hanya tidur saja kita terpisah. Pagi, siang sepulang kamu kuliah, kita masih bisa
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"