“Lexa ... Alexa kamu dengar, Ibu? Lexa?”
Alexa merasa kepalanya berdenyut seakan mau pecah. Mual. Perutnya seperti diaduk dan seolah ingin memuntahkan isinya. Dengan hati-hati dan berusaha menahan rasa sakit yang mendera kepalanya, Alexa mengerjapkan matanya dengan lemah. Seluruhnya masih Nampak samar. Atap dan dinding yang putih menyergap matanya. Lantas, wajah seorang wanita tiba-tiba berada di atasnya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan mata memicing menahan sinar lampu yang menusuk matanya, berusaha agar wajahnya terlihat jelas. Lama kelamaan, ketika pandangannya mulai menajam, Alexa tahu, bahwa perempuan itu adalah ibunya. Perempuan itu tersenyum, menatapnya penuh haru. “Dokter!” serunya seraya tergopoh-keluar dari ruang tempat Alexa terbaring. Alexa mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling. Ia bukannya tak tahu saat ini sedang berada di rumah sakit. Tapi yang ia benar-benar tidak tahu adalah atas alasan apa yang sudah membuatnya tertidur di tempat ini dengan selang infuse tersemat di lengan kanannya dan sebuah oksigen yang membekap mulutnya. Tapi rasanya, ia masih terlalu lemah untuk bertanya.Tak berapa lama, pintu ruangan itu kembali terbuka. Ibunya kembali menerobos masuk ke dalam ruangan, kali ini beliau datang bersama seorang dokter dan dua orang perawat yang setengah berlari. Di belakang mereka semua, seorang laki-laki berkemeja putih lengan panjang juga turut datang dengan wajah tak kalah khawatir. Alexa tak tahu siapa dia. Mungkin dokter muda yang magang di rumah sakit ini? Kepalanya masih terlalu sakit untuk diajak berpikir.
Seorang dokter yang tadi datang bersama ibunya mendekatinya dan mulai melakukan pemeriksaan ini dan itu. Alexa di paksa membuka mata dan mengarahkan senter ke sana. Dua kancing bajunya di buka dan sebuah stetoskop di letakkan di dadanya. Dinginnya besi itu benar-benar terasa mencubit kulit Alexa. "Halo, Alexa, kamu bisa mendengar saya? Kalau terlalu sulit untuk menjawab, cukup kedipkan mata kamu sekali saja." Tanya Dokter tersebut sembari memberi intruksi. Alexa yang merasa masih sangat lemah pada seluruh tubuhnya, mengikuti instruksi yang diberikan. Mengedipkan matanya sekali. Dan ketika ia membukanya lagi, semua orang yang berada di sana nampak mengembuskan napas lega dan tersenyum penuh syukur. Bahkan Alexa sempat melihat air mata menitik di wajah ibunya. “Sukurlah kalau begitu,” ucap sang dokter. Beliau lantas mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat ke Alexa. Wajah tampannya tersenyum penuh ketulusan. “Alexa, selamat datang kembali. Kamu baru saja melewati masa kritis kamu setelah berjuang dari komamu selama dua tahun.”Sungguh, Alexa terkejut mendengarnya. Dua tahun? Bukankah itu waktu yang sangat lama? Kenapa rasanya, Alexa seperti baru tertidur kemarin? Dan bukankah itu artinya, saat ini ia sudah berusia 30 tahun? Rasanya Alexa masih belum bisa menerima kenyataan ia telah melewati dua kali ulang tahunnya begitu saja tanpa kenangan yang berarti. Ah, bicara soal kenangan, tiba-tiba saja ia teriangat pada seseorang.Alexa menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruangan yang bisa digapai matanya. Tapi, ia tak menemukan siapa yang dicarinya. Dimana dia? Alexa mencoba menggerakkan tangannya, meminta agar ibunya lebih mendekat. Tanpa diminta dua kali, ibunya segera mendekati kasur tempatny aterbaring dan memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan kalimat Alexa yang begitu lemah. “Ray?” hanya satu kata itu yang mampu keluar dari bibir Alexa. Ia terlalu lemah untuk bicara banyak. Tapi sayangnya, ibunya tak mendengar kalimatnya. “Apa sayang?” Tanya ibunya yang semakin mendekatkan telinganya ke mulut Alexa. Susah payah, Alexa mengumpulkan kekuatannya untuk kembali bicara. dibasahinya bibir yang terasa kering dan ditariknya napas dalam-dalam sebelum kembali bertanya. “Ray … nald? Mana?”Entah benar atau tidak dugaannya. Setelah mengatakan itu, ia merasa ibunya terlihat begitu terkejut dan menjauh darinya beberapa langkah. Alexa tak mengerti mengapa satu nama itu membuat ibunya begitu terkejut. BUkankah beliau mengenal siapa pemilik nama itu? Bukankah beliau sudah sangat akrab dengannya? Lalu kenapa beliau terlihat begitu tegang? Beberapa pasang mata di dalam ruangan itu seolah menunggu ibunya mengatakan sesuatu. Tapi wanita itu tak kunjung bicara. Ia mengalihkan pandangannya, menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari-cari seseorang di dalam ruangan itu, lalu tak lama, ia membawa laki-laki berkemeja putih itu mendekat dengannya.“Alexa … kasih tahu ibu. Ini, siapa?” Pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama yang sejak tadi ingin ditanyakan Alexa pada ibunya. Perlahan, mata Alexa beralih menatap laki-laki itu. Menatapnya begitu lekat. Begitu dalam. Mencoba mencari-cari di dalam memorinya tentang laki-laki di hadapannya itu. laki-laki berkulit putih dan berbadan tegap menjulang. Namun, ia benar-benar tak tahu. Sepertinya ini adalah pertemuan pertama mereka karena Alexa benar-benar tak mengenali sosok di depannya. Mendadak, kepalanya terasa sangat sakit seolah dihantam benda keras. Alexa spontan menutup matanya, bahkan sinar lampu di ruangannya pun seolah menusuk matanya, menambah rasa sakit yang mendera kepalanya. Alexa mengeluh dalam hati. Kenapa hanya sekadar mengingat saja membuat kepalanya terasa seperti dipukul benda tumpul? Apakah ada yang salah dengannya? Saat itu, dokter Alexa kembali mendekat dan mencegahnya melanjutkan mengingat. “Oke, Lexa, kalau kamu tidak sanggup, kamu tidak perlu memaksa dulu,” ucapnya menenangkan. Perlahan, Alexa membuka matanya dan menatap dokter itu sekilas, lalu kembali beralih pada laki-laki berkemeja putih di depannya. Laki-laki yang nampak tak kalah kusut dengan ibunya. Laki-laki yang terlihat lelah dengan kantung mata yang mulai menghitam melingkar di sekitar matanya. Laki-laki yang menaruh harapan penuh padanya agar ia bisa mengingat sedikit saja tentangnya. Namun, Alexa menyerah. Ia tak mampu mengingat siapa pria itu. Ia beralih menatap sang ibu dan menggeleng lemah. Membuat laki-laki berkemeja putih itu menunduk dalam dengan penuh kecewa. Tapi, dengan tiba-tiba ia menegakkan kembali tubuhnya dan menghampiri dokter yang berada di sisi ibu Alexa. Dicengkramnya kerah jas dokter itu dengan kasar dan ditarik mendekat ke arahnya. Seolah hilang kendali, ia mulai membentak pada sang dokter.“Apa yang terjadi sama Alexa? Kenapa dia tidak bisa mengingat saya, tapi bisa mengingat ibunya? Jelaskan pada saya!”Alexa sedikit terkejut melihat reaksi laki-laki itu. Ia dapat melihat bagaimana cengkraman itu begitu kuat hingga buku-buku tangannya memerah. Sorot matanya bahkan penuh kemarahan dan napasnya memburu. Alexa jadi semakin bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya laki-laki ini? Bukankah seharusnya yang bertindak seperti itu adalah Raynald? Kekasihnya yang bahkan tak menampakan diri hari ini. Apakah seseorang sudah mengabari laki-laki itu kalau dirinya sudah tersadar hari ini?“Tenang dulu, Dylan. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, kita baru bisa tahu kondisi pasti Alexa setelah dia tersadar dari komanya. Kami akan melakukan pemeriksaan kembali untuk tahu pasti apa yang terjadi pada Alexa.”Alexa mencoba mengingat-ingat apa kata dokter itu beberapa detik lalu. Siapa katanya nama laki-laki itu? Dy … lan? Dylan. Apakah ia telah melupakan sesuatu tentang nama itu?***
Raynald menatap kotak cincin berwarna merah di tangannya dengan gelisah. Entah kemana keberaniannya menguap. Bukankah ia begitu yakin kejutan ini akan berhasil? Bukankah kemarin ia begitu percaya diri dan penuh semangat? Lalu mengapa saat ini keberanian dan semangatnya justru menghilang begitu saja? terlahap rakus oleh momok keraguannya. Hilang tak berjejak. Ia menutup kotak cincin itu dengan kesal. Mencengkramnya erat seraya bangkit dari duduknya. Dikantungi kembali kotak cincin itu di saku celananya. Lalu saat itu, pandangannya menatap seisi ruang rumahnya. Jujur saja, ia memang bukan tipe pria romantis seperti dalam film atau novel yang pernah dibacanya. Ia hanya seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita, dan kini ia merasa terlalu bodoh karena tak tahu harus melakukan apa untuk menawan hati wanitanya. Yang ia tahu, wanitanya itu begitu menyukai bunga. Dan ia hanya bisa menghias ruangan ini dengan ratusan bunga beraneka warna. Hanya disisakan sedikit saja celah dirua
Raynald menutup pintu mobilnya dengan kencang dan segera melesat memasuki rumah sakit. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling rumah sakit yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Bangsal VIP 2. Ia harus menayakan tempat itu berada di mana untuk dapat menemukan seseorang yang ia cari. Dan ketika itu, tatapannya tertuju pada seorang dokter yang dilehernya tegantung stetoskop. Dokter itu tengah berbicara dengan seorang perawat yang tak dapat Raynald dengar. Dan seolah tak peduli, Raynald berlari menghampiri mereka.“VIP 2?” tanya Raynald begitu tiba-tiba. Menimbulkan keterkejutan dari kedua orang yang dihampirinya.“VIP 2?” tanya Raynald sekali lagi saat kedua orang di depannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menjawab pertanyaannya. Dan seolah tersadarkan, dokter dan perawat tersebut menunjukkan Raynald jalan menuju bangsal ruang VIP 2. Segera Raynald kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan kedua orang tadi. Ia b
Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana.“kamu sudah t
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sa
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini. Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny
Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Satu Tahun Kemudian Sebuah pesta pernikahan di salah satu gedung mewah sedang berlangsung hari ini. Nuansa putih terlihat ketika memasuki area gedung. Dekorasi kuade yang terlihat anggun dengan beberapa bunga kertas berwarna putih, biru muda dan peach menjadi background dua sejoli yang sedang menyambut para tamu undangan untuk bersalaman pada mereka. Dua orang yang pernah menghadapi berbagai rintangan demi sampai pada hari ini. Gaun putih yang dikenakan mempelai wanita serta polesan make up tak menor membuatnya semakin terlihat cantik, tapi tak membuatnya nampak berbeda. Dan laki-laki yang menjulang di sampingnya, memamerkan senyum bahagia pada seluruh tamu yang hadir, membuat siapa saja yang melihatnya akan iri. Dari kejauhan Angel mengamati dua orang yang pernah dekat dengannya begitu nampak bahagia. Ia bahkan tak kuasa untuk tak ikut tersenyum atas apa yang disaksikannya hari ini. Sama sekali tak pernah disangka ia akan menghadiri acara pernikahan sakral ini. Ia pikir semua sudah
Sesuai harapan mereka, lalu lintas hari ini aman terkendali. Tak ada macet yang mengular. Meski bukan berarti jalanan lancar tanpa hambatan. Mereka sempat menemui macet di beberapa ruas jalan, hanya saja tak butuh waktu lama untuk keluar dari jebakan mobil-mobil yang berbaris. Raynald masih terus melajukan mobilnya memasuki sebuah kawasan berpenduduk. Sudah setengah jam yang lalu mereka keluar dari tol. Laura menikmati pemandangan yang dihadirkan di jalanan, meski pikirannya saat ini sedang kacau. Laura hanya berusaha fokus atas apa yang akan dilakukannya nanti ketika bertemu Dylan. Apa yang akan dikatakannya pada laki-laki itu. Beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam. Berharap hal itu dapat membantunya menenangkan diri.Mobil Raynald akhirnya mulai melambat ketika berbelok di sebuah tikungan. Beberapa orang terlihat berjualan di samping kiri dan kanan jalan. Laura bahkan melihat sebuah taman bermain anak yang ramai pengunjung. Ia tak tahu, Dylan akan memilih tempat ramai
Raynald duduk dengan gelisah di balik kemudi. Sejak kepergian Alexa dari rumahnya kemarin, Raynald memikirkan semua. Apakah ia harus memberitahu Laura tentang keberadaan laki-laki itu? Siapkah ia? Inikah akhir dari semuanya? Bisakah ia egois sekali saja dengan menutupi kebenaran? Sayang, hatinya tak kuasa melakukan itu dan kini di sinilah ia. Memarkir mobilnya di depan pintu rumah Laura. Menunggu perempuan itu keluar dari dalam rumah.Masih jelas di telinga Raynald bagaimana suara penuh antusias Laura ketika dirinya mengabarkan keberadaan Dylan. Dan masih jelas pula rasa sakit di hatinya ketika mendengar suara itu. Tak bisakah Laura berpura-pura biasa saja di hadapan Raynald? Setidaknya untuk menjaga perasaannya yang masih belum berhasil ditatanya kembali setelah apa yang terjadi pada hubungan mereka. Kalau saja boleh, Raynald ingin sekali memacu mobilnya meninggalkan rumah Laura dan tak pernah menampakan diri lagi. Sudah sewajarnya ia melakukan itu. Sudah sewajarnya ia
Raynald dirundung kegelisahan. Sejak beberapa jam yang lalu, matanya tak kunjung lepas dari telepon genggam miliknya yang bertanggar di atas meja. Ia menunggu telepon dari seseorang yang sudah berjanji akan menghubunginya hari ini. Rama. Rekan yang di mintai tolong oleh Raynald untuk mencari tahu keberadaan Dylan lewat adiknya. Namun, setelah hampir 3 jam menunggu, Rama tak juga menelpon. Raynald tak mengerti mengapa semua ini begitu penting bagi dirinya. Bisa saja ia mengabaikan Laura dan membiarkan perempuan itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Lagi pula, masalahnya dengan Laura sudah selesai. Ia tak mengerti mengapa ia bersikap bak pahlawan kesiangan dengan membantu Laura menemukan cintanya. Padahal semua itu menyakitkan untuk Raynald. Beberapa kali ia mengembuskan napas dengan gusar. Kesabarannya mulai menipis. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan rumah, memacu mobilnya ke rumah Rama dan menodong laki-laki itu secara langsung. Kalau perlu, ia bisa langsung menemui adik Rama ta
Dari jauh, Angel mengamati apa yang terjadi pada dua orang di depannya. DItutupnya pintu mobil dan mulai menghidupkan mesin untuk segera pergi dari tempat itu. Bagaimana pun, rasa kesalnya terhadap Alexa belum benar-benar pergi. Semua dilakukannya hanya untuk memenuhi keinginan Raynald. Meski mengembalikan kepercayaan laki-laki itu 100% terhadapnya lagi, rasa-rasanya mustahil. Sejak ia memutuskan untuk terus terang atas apa yang sudah dilakukannya pada Alexa, ia tahu Raynald tak kan lagi sama seperti sebelumnya. Tapi setidaknya, ia lega untuk Raynald.Sebelumnya, ia tak mengerti bagaimana caranya untuk menebus kesalahan. Raynald tak mau membantunya memberi jawaban. Dan ibu Alexa, begitu membencinya hingga ke tulang. Alexa harus memutar otak untuk mencari cara memperbaiki apa yang sudah dirusaknya dari Alexa dan Dylan. Maka cara satu-satunya adalah dengan mencari tahu tentang Dylan. Profesi laki-laki itu memudahkan Angel untuk melacaknya. Nama Dylan sang pengacara berada
Alexa terlonjak dari kursi yang didudukinya manakala suara Angel di ujung sana mengabarkan satu informasi yang selama ini dicari-carinya.“Aku tahu di mana Dylan. Aku kirim lokasinya sekarang.”Entah bagaimana perempuan itu tahu keberadaan Dylan. Alexa bahkan tak sempat mengatakan halo, Angel sudah lebih dulu berbicara dan begitu saja mematikan panggilan mereka. Tak lama sebuah pesan masuk melalui aplikasi chat. Alexa membuka pesan itu yang menampilkan sebuah map menuju satu lokasi. Seketika Alexa merutuki diri yang sudah berani-beraninya melupakan apartemen itu. Calon tempat tinggal mereka yang sudah Dylan persiapkan untuknya. Gegas Alexa menarik tas, kunci dan jaketnya yang tersampir di atas kursi kerjanya. Secepatnya ia berlari keluar dari kamar, memacu mobilnya menuju tempat yang dikenalnya. Semua masih tergambar di kepala Alexa. Bagaikan sebuah peta yang sangat jelas rute perjalanannya. Ia tak perlu membuka aplikasi chat dan melihat bagaimana ia harus
“Saya sudah pernah bilang, kan, kalau hubungan kamu dan Laura itu gak sehat. Kamu gak mau dengar. Liatkan, semuanya jadi berantakan seperti ini.” cecar Antonio. Ia meletakkan segelas minuman soda di hadapan Dylan yang nampak frustasi. Diliriknya laki-laki itu sekilas sebelum ia meraih gelas yang letakkan Antonio di hadapannya dan menenggaknya.“Saya tahu.” Dylan meletakkan kembali gelasnya di atas meja bar. “Tapi, apa kamu bisa mengontrol perasaan kamu sendiri ketika sedang jatuh cinta?” Tanya Dylan. Pertanyaan yang sebenarnya sulit untuk dijawab oleh Antonio.“Saya tahu itu gak mudah. Tapi seharusnya kamu mencoba melawan. Kamu sudah punya Alexa. Bahkan Alexa sedang berjuang dengan ingatannya. Tapi kamu malah main di belakang. Itu yang saya gak habis pikir.”DYlan menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Di antara beberapa kawan yang dimilikinya, ia memilih untuk menceritakan semua perso
“Saya gak tahu, harus mulai dari mana.”Laura melirik Alexa yang duduk di depannya dengan hati-hati. Sejujurnya, untuk bertemu dengan perempuan ini setelah semuanya terungkap, ia belum siap. Namun ia tak punya pilihan lain ketika Alexa menghubunginya satu jam sebelum waktu istirahatnya, dan meminta untuk bertemu. Setelah hilangnya Dylan, Laura menjadi terlalu fokus untuk mengetahui di mana keberadaan laki-laki itu itu hingga melupakan bahwa ada yang harus diselesaikan di antara ia dan Alexa lebih dulu.Tak ada satu orang wanita pun di dunia ini yang bersedia merelakan kekasihnya untuk wanita lain. Begitu pun sebaliknya, tak ada satu orang laki-laki pun di dunia ini yang bersedia merelakan kekasihnya untuk laki-laki lain. Keluarga Laura adalah salah satu contoh keluarga yang gagal. Setelah ia mulai beranjak remaja, ayahnya mulai berubah. Perubahan yang tak pernah dimengerti Laura kenapa, tapi ternyata terbaca oleh ibunya sebelum suaminya itu mengakui a
Dua gelas sirup jeruk terhidang di depan Laura dan Raynald. Laura memang pernah datang ke rumah ini, tapi untuk bertemu penghuninya tentu baru kali ini. Jadi, ia benar-benar merasa gugup. Perempuan yang tadi dijumpainya di depan gerbang adalah adik Dylan. Dulu sekali, laki-laki itu pernah bercerita tentang adik perempuannya yang memiliki penyakit serupa dengan laura. Rupanya seperti inilah tampilan adiknya. Sedikit berbeda dari Dylan. Ia memiliki mata yang belok, hidung yang mancung dengan cuping yang tak lancip, dan bibir yang tipis di bagian atas tapi sedikit lebih tebal di bagian bawah. Kulitnya sawo matang, tak seperti Dylan dan ibunya yang putih. Mungkin adik perempuannya ini menurunkan gen dari ayahnya. Bukankah memang seperti itu kebanyakan? Anak peremepuan mengikuti bagaimana ayah mereka dan anak laki-laki mengikuti bagaimana ibu mereka.“Sebelum pergi, Dylan pamit untuk menenangkan diri. katanya dia butuh waktu untuk menjernihkan pikiran. Untuk sementara dia ga