“Lexa ... Alexa kamu dengar, Ibu? Lexa?”
Alexa merasa kepalanya berdenyut seakan mau pecah. Mual. Perutnya seperti diaduk dan seolah ingin memuntahkan isinya. Dengan hati-hati dan berusaha menahan rasa sakit yang mendera kepalanya, Alexa mengerjapkan matanya dengan lemah. Seluruhnya masih Nampak samar. Atap dan dinding yang putih menyergap matanya. Lantas, wajah seorang wanita tiba-tiba berada di atasnya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan mata memicing menahan sinar lampu yang menusuk matanya, berusaha agar wajahnya terlihat jelas. Lama kelamaan, ketika pandangannya mulai menajam, Alexa tahu, bahwa perempuan itu adalah ibunya. Perempuan itu tersenyum, menatapnya penuh haru. “Dokter!” serunya seraya tergopoh-keluar dari ruang tempat Alexa terbaring. Alexa mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling. Ia bukannya tak tahu saat ini sedang berada di rumah sakit. Tapi yang ia benar-benar tidak tahu adalah atas alasan apa yang sudah membuatnya tertidur di tempat ini dengan selang infuse tersemat di lengan kanannya dan sebuah oksigen yang membekap mulutnya. Tapi rasanya, ia masih terlalu lemah untuk bertanya.Tak berapa lama, pintu ruangan itu kembali terbuka. Ibunya kembali menerobos masuk ke dalam ruangan, kali ini beliau datang bersama seorang dokter dan dua orang perawat yang setengah berlari. Di belakang mereka semua, seorang laki-laki berkemeja putih lengan panjang juga turut datang dengan wajah tak kalah khawatir. Alexa tak tahu siapa dia. Mungkin dokter muda yang magang di rumah sakit ini? Kepalanya masih terlalu sakit untuk diajak berpikir.
Seorang dokter yang tadi datang bersama ibunya mendekatinya dan mulai melakukan pemeriksaan ini dan itu. Alexa di paksa membuka mata dan mengarahkan senter ke sana. Dua kancing bajunya di buka dan sebuah stetoskop di letakkan di dadanya. Dinginnya besi itu benar-benar terasa mencubit kulit Alexa. "Halo, Alexa, kamu bisa mendengar saya? Kalau terlalu sulit untuk menjawab, cukup kedipkan mata kamu sekali saja." Tanya Dokter tersebut sembari memberi intruksi. Alexa yang merasa masih sangat lemah pada seluruh tubuhnya, mengikuti instruksi yang diberikan. Mengedipkan matanya sekali. Dan ketika ia membukanya lagi, semua orang yang berada di sana nampak mengembuskan napas lega dan tersenyum penuh syukur. Bahkan Alexa sempat melihat air mata menitik di wajah ibunya. “Sukurlah kalau begitu,” ucap sang dokter. Beliau lantas mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat ke Alexa. Wajah tampannya tersenyum penuh ketulusan. “Alexa, selamat datang kembali. Kamu baru saja melewati masa kritis kamu setelah berjuang dari komamu selama dua tahun.”Sungguh, Alexa terkejut mendengarnya. Dua tahun? Bukankah itu waktu yang sangat lama? Kenapa rasanya, Alexa seperti baru tertidur kemarin? Dan bukankah itu artinya, saat ini ia sudah berusia 30 tahun? Rasanya Alexa masih belum bisa menerima kenyataan ia telah melewati dua kali ulang tahunnya begitu saja tanpa kenangan yang berarti. Ah, bicara soal kenangan, tiba-tiba saja ia teriangat pada seseorang.Alexa menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruangan yang bisa digapai matanya. Tapi, ia tak menemukan siapa yang dicarinya. Dimana dia? Alexa mencoba menggerakkan tangannya, meminta agar ibunya lebih mendekat. Tanpa diminta dua kali, ibunya segera mendekati kasur tempatny aterbaring dan memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan kalimat Alexa yang begitu lemah. “Ray?” hanya satu kata itu yang mampu keluar dari bibir Alexa. Ia terlalu lemah untuk bicara banyak. Tapi sayangnya, ibunya tak mendengar kalimatnya. “Apa sayang?” Tanya ibunya yang semakin mendekatkan telinganya ke mulut Alexa. Susah payah, Alexa mengumpulkan kekuatannya untuk kembali bicara. dibasahinya bibir yang terasa kering dan ditariknya napas dalam-dalam sebelum kembali bertanya. “Ray … nald? Mana?”Entah benar atau tidak dugaannya. Setelah mengatakan itu, ia merasa ibunya terlihat begitu terkejut dan menjauh darinya beberapa langkah. Alexa tak mengerti mengapa satu nama itu membuat ibunya begitu terkejut. BUkankah beliau mengenal siapa pemilik nama itu? Bukankah beliau sudah sangat akrab dengannya? Lalu kenapa beliau terlihat begitu tegang? Beberapa pasang mata di dalam ruangan itu seolah menunggu ibunya mengatakan sesuatu. Tapi wanita itu tak kunjung bicara. Ia mengalihkan pandangannya, menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari-cari seseorang di dalam ruangan itu, lalu tak lama, ia membawa laki-laki berkemeja putih itu mendekat dengannya.“Alexa … kasih tahu ibu. Ini, siapa?” Pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama yang sejak tadi ingin ditanyakan Alexa pada ibunya. Perlahan, mata Alexa beralih menatap laki-laki itu. Menatapnya begitu lekat. Begitu dalam. Mencoba mencari-cari di dalam memorinya tentang laki-laki di hadapannya itu. laki-laki berkulit putih dan berbadan tegap menjulang. Namun, ia benar-benar tak tahu. Sepertinya ini adalah pertemuan pertama mereka karena Alexa benar-benar tak mengenali sosok di depannya. Mendadak, kepalanya terasa sangat sakit seolah dihantam benda keras. Alexa spontan menutup matanya, bahkan sinar lampu di ruangannya pun seolah menusuk matanya, menambah rasa sakit yang mendera kepalanya. Alexa mengeluh dalam hati. Kenapa hanya sekadar mengingat saja membuat kepalanya terasa seperti dipukul benda tumpul? Apakah ada yang salah dengannya? Saat itu, dokter Alexa kembali mendekat dan mencegahnya melanjutkan mengingat. “Oke, Lexa, kalau kamu tidak sanggup, kamu tidak perlu memaksa dulu,” ucapnya menenangkan. Perlahan, Alexa membuka matanya dan menatap dokter itu sekilas, lalu kembali beralih pada laki-laki berkemeja putih di depannya. Laki-laki yang nampak tak kalah kusut dengan ibunya. Laki-laki yang terlihat lelah dengan kantung mata yang mulai menghitam melingkar di sekitar matanya. Laki-laki yang menaruh harapan penuh padanya agar ia bisa mengingat sedikit saja tentangnya. Namun, Alexa menyerah. Ia tak mampu mengingat siapa pria itu. Ia beralih menatap sang ibu dan menggeleng lemah. Membuat laki-laki berkemeja putih itu menunduk dalam dengan penuh kecewa. Tapi, dengan tiba-tiba ia menegakkan kembali tubuhnya dan menghampiri dokter yang berada di sisi ibu Alexa. Dicengkramnya kerah jas dokter itu dengan kasar dan ditarik mendekat ke arahnya. Seolah hilang kendali, ia mulai membentak pada sang dokter.“Apa yang terjadi sama Alexa? Kenapa dia tidak bisa mengingat saya, tapi bisa mengingat ibunya? Jelaskan pada saya!”Alexa sedikit terkejut melihat reaksi laki-laki itu. Ia dapat melihat bagaimana cengkraman itu begitu kuat hingga buku-buku tangannya memerah. Sorot matanya bahkan penuh kemarahan dan napasnya memburu. Alexa jadi semakin bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya laki-laki ini? Bukankah seharusnya yang bertindak seperti itu adalah Raynald? Kekasihnya yang bahkan tak menampakan diri hari ini. Apakah seseorang sudah mengabari laki-laki itu kalau dirinya sudah tersadar hari ini?“Tenang dulu, Dylan. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, kita baru bisa tahu kondisi pasti Alexa setelah dia tersadar dari komanya. Kami akan melakukan pemeriksaan kembali untuk tahu pasti apa yang terjadi pada Alexa.”Alexa mencoba mengingat-ingat apa kata dokter itu beberapa detik lalu. Siapa katanya nama laki-laki itu? Dy … lan? Dylan. Apakah ia telah melupakan sesuatu tentang nama itu?***
Raynald menatap kotak cincin berwarna merah di tangannya dengan gelisah. Entah kemana keberaniannya menguap. Bukankah ia begitu yakin kejutan ini akan berhasil? Bukankah kemarin ia begitu percaya diri dan penuh semangat? Lalu mengapa saat ini keberanian dan semangatnya justru menghilang begitu saja? terlahap rakus oleh momok keraguannya. Hilang tak berjejak. Ia menutup kotak cincin itu dengan kesal. Mencengkramnya erat seraya bangkit dari duduknya. Dikantungi kembali kotak cincin itu di saku celananya. Lalu saat itu, pandangannya menatap seisi ruang rumahnya. Jujur saja, ia memang bukan tipe pria romantis seperti dalam film atau novel yang pernah dibacanya. Ia hanya seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita, dan kini ia merasa terlalu bodoh karena tak tahu harus melakukan apa untuk menawan hati wanitanya. Yang ia tahu, wanitanya itu begitu menyukai bunga. Dan ia hanya bisa menghias ruangan ini dengan ratusan bunga beraneka warna. Hanya disisakan sedikit saja celah dirua
Raynald menutup pintu mobilnya dengan kencang dan segera melesat memasuki rumah sakit. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling rumah sakit yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Bangsal VIP 2. Ia harus menayakan tempat itu berada di mana untuk dapat menemukan seseorang yang ia cari. Dan ketika itu, tatapannya tertuju pada seorang dokter yang dilehernya tegantung stetoskop. Dokter itu tengah berbicara dengan seorang perawat yang tak dapat Raynald dengar. Dan seolah tak peduli, Raynald berlari menghampiri mereka.“VIP 2?” tanya Raynald begitu tiba-tiba. Menimbulkan keterkejutan dari kedua orang yang dihampirinya.“VIP 2?” tanya Raynald sekali lagi saat kedua orang di depannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menjawab pertanyaannya. Dan seolah tersadarkan, dokter dan perawat tersebut menunjukkan Raynald jalan menuju bangsal ruang VIP 2. Segera Raynald kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan kedua orang tadi. Ia b
Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana.“kamu sudah t
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sa
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini. Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny
Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.