Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.
Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sakit. Saat tubuh ramping itu dijejali alat penopang hidup di sekujur tubuhnya. Saat mata itu tak terbuka untuk waktu yang lama. Dylan selalu diserang rasa takut setiap harinya. Tidurnya tak pernah nyenyak. Mimpi buruk tentang kematian Alexa selalu menghantuinya setiap malam. Alexa, gadis itu seolah memasang bom waktu tak kasat mata yang diikatnya di tubuh Dylan. Bom yang siap meledak dan membunuh Dylan kapan saja.
Semua memang kesalahannya. Dylan sadar diri akan hal itu. Ia terlalu sibuk dengan tumpukkan kertas di atas mejanya. Terlalu sibuk mengungkap kasus kematian ayahnya beberapa belas tahun lalu yang hampir menemukan titik terang. Ia terlalu dirasuki keinginan untuk menjebloskan mereka yang memanfaatkan nyawa ayahnya untuk kepentingan pribadi, dan membuat laki-laki itu harus meregang nyawa. Dylan terlalu terbuai untuk mengungkap semua. Hingga membuatnya sering kali menelantarkan waktunya bersama Alexa.
Seharusnya, ia menemani gadis itu mengatur segala urusan pernikahan mereka. Seharusnya, ia menemaninya fitting baju pengantin. Bukannya malah menyuruh Alexa mengerjakan semuanya sendiri dan menyerahkan seluruh keputusan di tangan Alexa. Bukankah ia yang memintanya untuk bersedia menjadi istrinya? Dan setelah wanita itu setuju untuk menyerahkan sisa hidup dengannya, mempercayakan seluruh jiwa, cinta dan raganya, lantas mengapa ketololan itu tiba-tiba menyelubungi otaknya dan berkabut di sana? Membuatnya seolah tak dapat melihat kedudukan Alexa lagi.
Ia tahu, Alexa sudah terbiasa dengan segala urusan pernikahan. Hampir 8 tahun wanita itu berkutat dengan usaha pribadainya, wedding organizer. Membuatnya nampak luwes dengan pilihan gedung, catring dan segala macamnya. Tapi, kenapa Dylan bahkan baru tersadar setelah perempuan itu terbujur di rumah sakit kalau Alexa, membutuhkannya untuk teman diskusi. Membantunya memutuskan gedung mana yang akan dipakai atau baju pernikahan seperti apa yang Dylan ingin Alexa kenakan?
Dylan merebahkan dirinya di atas sofa. Menutup kedua matanya dengan sebelah lengannya. Sembari mengingat kejadian dua tahun lalu yang telah membuatnya tak pernah bisa tidur tenang lagi. Hari itu tak akan pernah dilupakan oleh Dylan. Satu hari saat perang itu terjadi. Dylan tahu, cepat atau lambat hari itu pasti datang. Karena ia teramat sangat sadar akan sikapnya pada Alexa yang terkesan cuek. Dylan terlalu terlena pada sifat tangguh kekasihnya itu. Tanpa pernah menyadari, Alexa tetaplah sama seperti wanita yang lain. Yang membutuhkan perhatiannya.
***
Hari itu, Alexa menghampirinya di tempat ia sedang melakukan meeting di salah satu restaurant. Alexa datang dengan napas memburu, langkah cepat dan mata yang menatap begitu nyalang. Dylan dapat membaca ada yang tidak beres saat melihat Alexa dari kejauhan yang tengah berjalan geram menuju mejanya. Sebelum perempuan itu sempat sampai di tempatnya, Dylan lebih dulu bangkit dan mohon pamit sebentar pada clientnya. Ia beranjak dari tempatnya dan berjalan berpapasan dengan Alexa. Dicengkramnya lengan gadis itu dengan lembut dan menggiringnya agar sedikit menjauh dari mejanya.
“Aku tahu ini pasti akan terjadi.” Dylan menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku tahu aku salah, Lexa. Tapi please, untuk kali ini saja. Aku minta tolong kamu mengerti aku. Kasusnya sedikit lgi akan terungkap.”
Dylan memutuskan untuk lebih dulu mengambil alih pembicaraan. Ia tahu, ini terkesan egois. Tapi, ia benar-benar tak mau kehilangan kesempatan kali ini. Maka dengan berat hati, Dylan mengubah dirinya menjadi laki-laki tak bernurani.
Alexa mengernyitkan kening, alisnya nyaris bertaut. Ia benar-benar merasa tak terima pada permintaan Dylan. “Mengerti kamu? Sampai kapan? Sampai kapan aku harus mengerti kamu? Mengerti kamu dengan segala kesibukan kamu sampai harus menelantarkan segala urusan pernikahan kita? Aku capek, Dylan. Aku capek ngurus semuanya sendiri. Aku capek dengar kamu bilang ‘terserah aku,’ ‘aku ikut kamu.’ Yang nikah kita berdua ya.. Bukan aku saja. Dan kamu seolah nggak peduli sama semuanya.”
“Hei, hei, dengerin aku dulu, sayang.” Dylan meraup wajah gadis itu dan menatap matanya yang sudah mulai berkaca-kaca. Mencoba untuk menenangkan Lexa yang mulai meledak-ledak. Rupanya Lexa sudah terlalu lama memendam ini.
“Aku bukannya nggak peduli sama pernikahan kita. Ini cuma secara kebetulan berbarengan dengan kasus Ayah aku yang mulai menemukan titik terang. Kamu tahukan aku sudah sangat lama berjuang untuk mengungkap kematian Ayah aku. Dan, aku bukan gak peduli dengan pernikahan kita, Aku percaya sama kamu. Percaya sama pilihan kamu. Aku percaya kalau kamu bisa bikin semuanya sukses ….”
“Tapi aku butuh partner,” potong Alexa. Wajah yang putih, kini berubah merah karena menahan amarah. Dan rambut pendeknya yang diikat tengah terlihat lepek hari itu. “Pernikahan ini bukan acara main-main ya. Bukan cuma sekedar syukuran, yang nggak pernah ada artinya. Acara ini berarti banget buat aku, Dylan. Nggak tahu buat kamu,” tuding Alexa
Satu kalimat terakhir yang sontak menusuk jantung Dylan. Ia melepaskan kedua tangannya di wajah Lexa dan menatap gadis itu kecewa.
“Kok kamu ngomong gitu sih? Kamu nggak percaya sama aku? Kamu pikir, aku main-main waktu melamar kamu?”
“Ya gimana aku bisa percaya sama keseriusan kamu kalau kamu sendiri nggak pernah nunjukin itu ke aku.”
“Lex, aku kayak gini juga buat kamu. Demi masa depan kita. Aku masu semua urusan ini bisa cepat selesai, supaya aku bisa hidup tenang dikemudian hari sama kamu tanpa ada baying-bayang kasus ini lagi.” Dylan mulai tersulut emosi.
“Aku gak pernah bilang ya, aku gak mendukung kamu untuk menyelesaikan kasus ayah kamu. Aku justru sangat mendukung dan mendoakan yang terbaik. Tapi kamu bisa sadar posisi gak sih? Kita mau nikah. Gak bisa apa … sebentar saja kamu kasih waktu kamu yang berharga itu buat aku? Buat pernikahan kita? Aku butuh kamu, Dylan. Kamu gak tahu apa betapa bingungnya aku ketika semua orang menanyakan keberadaan kamu? Kamu gak tahu, ‘kan gimana bbagaimana aku berusaha untuk membuat kamu tetap baik di mata mereka. Tapi nyatanya, kamu tetap gak peduli, ‘kan sama semuanya? Sekarang aku seperti ngearasa kita sedang berjalan masing-masing untuk masa depan kita.”
Keduanya terdiam. Hening beberapa saat. Kemudian, tatapan mata Dylan tertuju pada tangan Lexa yang mulai bergerak. Kening Dylan berkerut tajam, saat tangan kiri gadis itu berusaha melepaskan cincin yang melingkar di tangan kanannya.
“Kamu mau ngapain?” tanya Dylan mulai awas, tanpa mengalihkan tatapannya dari tangan Alexa. Sayang, tak ada jawaban. Hanya saja air mata merebak di wajah gadis itu.
“Alexa, aku tanya kamu mau ngapain?!”
Dan sekonyong-konyongnya, cincin itu terlepas dari jari manis Alexa. Dylan menatapnya tak percaya. Menatap Alexa yang kini sudah berurai air mata. Dylan menjambak rambutnya, frustasi dengan apa yang dilakukan Alexa. Gadis itu lantas meraih tangannya perlahan dan diletakkan cincin itu di sana.
“Aku masih tunggu kamu. Kasih aku cincin ini lagi kalau kamu sudah yakin sama keputusan kamu buat nikahin aku. Aku … sudah batalin semuanya,” ucap Alexa dengan suara bergetar. Dylan membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Tapi nyatanya, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia terlalu shock. Terlalu tak menyangka Lexa akan melakukan hal ini padanya. Ia sadar, rupanya ia sudah terlalu lewat batas. Tanpa pernah sadar bahwa apa yang dilakukannya justru membuat Lexa tak pernah merasa bahagia. Sebelum Dylan sempat memohon atas hubungan mereka pada Alexa, gadis itu melangkah pergi meninggalkannya yang masih seperti orang linglung.
Setelah itu, ia tak pernah lagi fokus pada apa yang ada di depannya hari itu. Dylan tak mengikuti jalannya meeting dengan benar. Ia hanya menjadi seorang pendengar. Bahkan lebih banyak bengong. Hanya sesekali mengangguk dan tersenyum saat sebuah pertanyaan akan keadaannya terlontar dari salah satu rekannya.
“Apa anda baik-baik saja, Pak Dylan?”
Mungkin siapa pun yang melihat Dylan saat ini akan menanyakan hal yang sama. Tapi sayangnya, Dylan sedang dalam keadaan tidak ingin menjawab pertanyaan. Ia hanya melontarkan senyum.
Dylan mengatur berbagai rencana di kepalanya. Mungkin setelah ini, ia harus menemui Lexa. Ia harus membicarakannya dengan gadis itu pelan-pelan. Ia harus meyakinkan Lexa kembali tentang keseriusannya. Ia harus ….
Ponselnya berbunyi. Dengan cepat, Dylan mengeluarkan benda itu dari sakunya dan menjawab panggilan itu tanpa berfikir dua kali setelah membaca deretan nama yang tertera disana. Dylan menjauh dari tempatnya, kali ini tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ia hanya merasa begitu bergairah saat mendapat telephone dari Lexa. Semoga saja Lexa berubah fikiran.
“Halo, sayang ….”
“Dengan Bapak Dylan?”
Dylan segera menutup mulutnya kembali saat hendak melanjutkan kalimatnya untuk menjelaskan pada Alexa betapa ia tak menginginkan hubungan mereka berakhir, ketika seseorang di seberang sana mengambil alih pembicaraan jauh lebih cepat. Seorang pria yang suaranya tak Dylan kenali.
Dylan mengerutkan kening tajam. “Iya ... saya Dylan. Ini siapa ya? Alexa mana? Kenapa handphonenya bisa sama anda?“ tanya Dylan bertubi-tubi.
“Maaf sebelumnya, tolong jangan panik dulu setelah mendengar kabar ini.”
Belum saja Dylan mendengar kabar yang ingin disampaikan orang di sebrang sana, perasaannya sudah mulai gusar.
“Iya, iya. Inia da apa ya? Alexa baik-baik saja, ‘kan?” Dylan mulai merasa tak sabar untuk menunggu kelanjutan kalimat lawan bicaranya.
“Begini, Pak. Jadi, pemilik handphone ini mengalami kecelakaan beruntun.”
Dylan merasa sekujur tubuhnya lemas. Kakinya bahkan seakan tak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia terseok dan membentur dinding restaurant.
“Maaf, tapi polisi sedang mencoba mengeluarkan pemiliknya yang dalam posisi terjepit di mobilnya yang terbalik.”
Seketika, Dylan seolah tersedot pada dimensi lain. Suara-suara di sekelilingnya mendadak lenyap. Napasnya tercekat. Seluruh jiwa dan raganya seolah tak benyawa. Mengawang tak dapat ia gapai. Lututnya lemas, dan untuk kali ini, ia sungguh tak lagi bisa menahan berat tubuhnya. Dylan begitu saja terduduk berlutut di atas lantai. Tak bisa ia bayangkan Alexa mengalami kecelakaan, Alexa yang mobilnya terbalik. Alexa yang terjebak di dalamnya dan sulit dikeluarkan. Imajinasi Dylan semakin menjadi-jadi membayangkan Alexa yang bercucuran darah. Kenapa tak ia tahan saja Alexa tadi agar tak pergi? Kenapa ia tak mengejar perempuan itu? Kenapa ia tak menawarkan diri untuk mengantarnya pulang? Bukankah berkendara dalam kondisi jiwa terguncang seperti Alexa, sangat berbahaya? Lantas kenapa ia membiarkan perempuan itu pergi begitu saja?
Sialnya. Di saat seperti itu tubuhnya justru mati rasa. Ia ingin berlari. mencari keberadaan Alexa. Menemukan Lexa dan mengeluarkannya dari dalam mobil. Ia ingin membawa Lexa ke rumah sakit secepatnya. Meminta bantuan pada dokter-dokter hebat untuk membantu menyelamatkan nyawa kekasihnya. Kalau perlu mengganti nyawa Lexa dengan nyawanya. Tapi yang terjadi, Dylan justru tak dapat merasa apa-apa. Tak dapat mendengar apa-apa. Tak dapat melakukan apa-apa. Dan dalam detik selanjutnya, tubuhnya roboh begitu saja. Ia tak sadarkan diri.
***
Dylan mengembuskan napasnya yang terasa sesak. Ingatan tentang dua tahun lalu itu seolah masih menggantung di depan matanya. Seperti biasa, jantungnya akan berdetak kencang dan tubuhnya akan berkeringat dingin setiap kali mengingatnya. Saat ia menghancurkan hati belahan jiwanya. Dan kini, ia tak bisa menyalahkan siap-siapa jika sebuah kenyataan pahit menampar wajahnya. kenyataan bahwa Alexa tak dapat mengenalinya. Alexa melupakannya. Melupakan kenangan mereka. Melupakan waktu yang telah mereka habiskan dengan lahapnya. Dan justru mengingat mantan kekasihnya beberapa tahun lalu. Raynald. Tentu saja Dylan mengenali laki-laki itu. Laki-laki yang pernah ia sakiti hatinya karena sudah merebut Alexa dari pelukannya.
Namun, Dylan tak pernah menyesali keadaan itu. Ia mensyukuri pertemuannya dengan Lexa. Mensyukuri hubungan yang pernah terjalin di antara mereka. Meski tetap saja, satu kenyataan pahit itu, membuat dadanya terasa nyeri. Air mata Dylan kembali mengalir. Ia menangis dalam kebisuan. Dalam kegelapan dan dinginnya malam yang memeluknya tubuhnya yang kesakitan.
***Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny
Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Laura tak pernah menyangka bahwa mobil yang menggilas jalanan ibu kota dengan kejam itu akan berhenti di depan sebuah tempat berpenerangan lebih redup dari tempat sebelumnya. Tempat itu begitu kecil. Mungkin hanya sukuran kamarnya. Di atas pintunya, terpampang sebuah papan kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil warna warni bertuliskan Portgas D.Ace. Dari pintu kacanya, Laura dapat melihat hanya ada tiga meja bulat dengan dua kursi di masing-masing meja. Dan di depan sana, ada sebuah meja panjang yang melingkar. Dengan seorang bar tander di baliknya.Keduanya keluar dari dalam mobil. Raynald sepertis sudah terbiasa dengan tempat itu. sementara Laura, ia masih tak percaya akan menginjakkan kaki di tempat ini, bar. Tempat yang tak pernah ia mau kunjungi selama hidupnya. Dan malam ini, ia melanggar sumpahnya. Ia mencoba bern
Alexa membuka matanya yang terasa begitu berat. Dan seketika ia diserang rasa pening yang hebat. menusuk-nusuk setiap syaraf di kepalanya dan memaksa matanya terpejam kembali dengan erat. Lagi, dengan hati-hati ia memncoba membuka matanya. Ia mendesah pelan. Ruang sempit ini lagi. Suasana putih ini lagi. Dan bau obat yang menyengat lagi. Ia sungguh mulai bosan. Sangat bosan. Sudah dua minggu berlalu sejak ia mulai membuka mata dan hanya bisa terbujur kaku di ranjang yang sempit. Ia sudah merasa seperti mayat yang bernapas. Iya, sudah dua minggu lamanya Alexa terbangun dari komanya. Dari tidur panjangnya. Setidaknya, itulah yang tiap hari ia dengar dari ibunya. Setiap kali Alexa membuka matanya, wanita yang sudah mulai menua itu tak hentinya berucap syukur karena Alexa tak tidur panjang lagi. Mungkin ibunya selalu diserang rasa takut yang hebat setiap kali ia t
Laura menelungkapkan wajahnya di atas meja. Pagi tadi, Raynald mengiriminya pesan. Laki-laki itu meminta izin padanya untuk mengunjungi Alexa mulai hari ini. Saat itu, ingin sekali rasanya Laura mencegah Raynald. Membalas pesan itu dengan dua kata. Jangan pergi. Jangan pergi. Meski mereka berdua telah sepakat untuk membantu Alexa sampai perempuan itu benar-benar dapat menerima kenyataan, Laura tetap saja tak ingin Raynald pergi. Tapi haruskah? Haruskah ia mengorbankan sebuah nyawa demi rasa egoisnya? Dan seketika air mata Laura meleleh.“Kenapa diizinin kalau sampai kayak gini, Lau?” Sebuah suara menyentakan Laura dari pikiran yang carut-marut. Ia menegakkan kembali duduknya dan meraup wajahnya. Menghilangkan jejak-jejak air mata di wajahnya. Ia menatap Angel dan tersenyum. Meraih sekaleng soda yang diserahkan Angel padanya. Hari ini, Laura sampai harus izin dari kantornya karena ia merasa benar-benar tak enak badan. Bukan hanya badan. Hati dan pikirannya pun sedang tak enak. “Aku g
Dua jam yang lalu, Raynald membanting tubuhnya di atas kasur hangatnya. Tapi ia tak benar-benar tidur. Matanya menerawang. Menatap atap putih di atas sana. dan pikirannya melayang pada sosok Laura, kekasihnya. Siang tadi, ia melihat bagaimana kekhawatiran Laura telah terpancar di wajah wanita itu. sebenarnya, Laura tak harus khawatir. Karena Raynald tak akan pernah meninggalkannya. Ia akan tetap ada untuk Laura. Karena ia milik perempuan itu. Tapi mungkin Laura tak sepenuhnya salah. Raynald, adalah laki-laki yang selama dua tahun ini telah menjelma menjadi seseorang yang begitu mencintai Laura, lantas kini laki-laki itu harus membagi cintanya dengan wanita lain. Walau pun bukan keinginan hatinya. Dan Laura tahu itu.Sejauh ini Raynald sadar bahwa ia belum pernah meyakinkan Laura akan hatinya. Ia belum pernah membuat Laura benar-benar percaya bahwa semua akan kembali seperti semula. Saat ia dan dirinya saling mencinta. Sejauh ini, Raynald hanya meminta. Meminta Laura mengerti, meminta
“Kamu gak mau nonton tv atau dengar musik gitu Ray?” Laura menawarkanRay menggeleng sekali lalu berkata tegas. “No.”“Atau main gitar?” Laura tak mau menyerah. Namun, Ray tetap bersikeras, menggeleng dan berkata tegas. “No.” Laura melepaskan kegiatannya memotong wortel dan memutar tubuhnya menghadap Raynald yang kini tengah duduk di kursi tinggi di balik meja dapur.“Ray aku gak bisa konsen masaknya kalau diliatin,” Protes Laura. Beberapa menit yang lalu, saat Laura berniat membuatkan jus untuk Raynald, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Kebiasaan Raynald yang selalu mereka perdebatkan. Laki-laki itu jarang makan malam. Bahkan kalau ia terlalu asik dengan pekerjaannya, ia bisa seharian tidak makan. Padahal, laki-laki itu mengidap magg kronis. Dan benar saja, ketika ia bertanya pada Ray, laki-laki itu menjawab dengan ragu bahwa ia memang belum makan. Seketika perdebatan kecil kembali terjadi. Dan Laura berinisiatif untuk memasakan Raynald makan malam tanpa mau dibantah.Laura mengira,
Satu Tahun Kemudian Sebuah pesta pernikahan di salah satu gedung mewah sedang berlangsung hari ini. Nuansa putih terlihat ketika memasuki area gedung. Dekorasi kuade yang terlihat anggun dengan beberapa bunga kertas berwarna putih, biru muda dan peach menjadi background dua sejoli yang sedang menyambut para tamu undangan untuk bersalaman pada mereka. Dua orang yang pernah menghadapi berbagai rintangan demi sampai pada hari ini. Gaun putih yang dikenakan mempelai wanita serta polesan make up tak menor membuatnya semakin terlihat cantik, tapi tak membuatnya nampak berbeda. Dan laki-laki yang menjulang di sampingnya, memamerkan senyum bahagia pada seluruh tamu yang hadir, membuat siapa saja yang melihatnya akan iri. Dari kejauhan Angel mengamati dua orang yang pernah dekat dengannya begitu nampak bahagia. Ia bahkan tak kuasa untuk tak ikut tersenyum atas apa yang disaksikannya hari ini. Sama sekali tak pernah disangka ia akan menghadiri acara pernikahan sakral ini. Ia pikir semua sudah
Sesuai harapan mereka, lalu lintas hari ini aman terkendali. Tak ada macet yang mengular. Meski bukan berarti jalanan lancar tanpa hambatan. Mereka sempat menemui macet di beberapa ruas jalan, hanya saja tak butuh waktu lama untuk keluar dari jebakan mobil-mobil yang berbaris. Raynald masih terus melajukan mobilnya memasuki sebuah kawasan berpenduduk. Sudah setengah jam yang lalu mereka keluar dari tol. Laura menikmati pemandangan yang dihadirkan di jalanan, meski pikirannya saat ini sedang kacau. Laura hanya berusaha fokus atas apa yang akan dilakukannya nanti ketika bertemu Dylan. Apa yang akan dikatakannya pada laki-laki itu. Beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam. Berharap hal itu dapat membantunya menenangkan diri.Mobil Raynald akhirnya mulai melambat ketika berbelok di sebuah tikungan. Beberapa orang terlihat berjualan di samping kiri dan kanan jalan. Laura bahkan melihat sebuah taman bermain anak yang ramai pengunjung. Ia tak tahu, Dylan akan memilih tempat ramai
Raynald duduk dengan gelisah di balik kemudi. Sejak kepergian Alexa dari rumahnya kemarin, Raynald memikirkan semua. Apakah ia harus memberitahu Laura tentang keberadaan laki-laki itu? Siapkah ia? Inikah akhir dari semuanya? Bisakah ia egois sekali saja dengan menutupi kebenaran? Sayang, hatinya tak kuasa melakukan itu dan kini di sinilah ia. Memarkir mobilnya di depan pintu rumah Laura. Menunggu perempuan itu keluar dari dalam rumah.Masih jelas di telinga Raynald bagaimana suara penuh antusias Laura ketika dirinya mengabarkan keberadaan Dylan. Dan masih jelas pula rasa sakit di hatinya ketika mendengar suara itu. Tak bisakah Laura berpura-pura biasa saja di hadapan Raynald? Setidaknya untuk menjaga perasaannya yang masih belum berhasil ditatanya kembali setelah apa yang terjadi pada hubungan mereka. Kalau saja boleh, Raynald ingin sekali memacu mobilnya meninggalkan rumah Laura dan tak pernah menampakan diri lagi. Sudah sewajarnya ia melakukan itu. Sudah sewajarnya ia
Raynald dirundung kegelisahan. Sejak beberapa jam yang lalu, matanya tak kunjung lepas dari telepon genggam miliknya yang bertanggar di atas meja. Ia menunggu telepon dari seseorang yang sudah berjanji akan menghubunginya hari ini. Rama. Rekan yang di mintai tolong oleh Raynald untuk mencari tahu keberadaan Dylan lewat adiknya. Namun, setelah hampir 3 jam menunggu, Rama tak juga menelpon. Raynald tak mengerti mengapa semua ini begitu penting bagi dirinya. Bisa saja ia mengabaikan Laura dan membiarkan perempuan itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Lagi pula, masalahnya dengan Laura sudah selesai. Ia tak mengerti mengapa ia bersikap bak pahlawan kesiangan dengan membantu Laura menemukan cintanya. Padahal semua itu menyakitkan untuk Raynald. Beberapa kali ia mengembuskan napas dengan gusar. Kesabarannya mulai menipis. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan rumah, memacu mobilnya ke rumah Rama dan menodong laki-laki itu secara langsung. Kalau perlu, ia bisa langsung menemui adik Rama ta
Dari jauh, Angel mengamati apa yang terjadi pada dua orang di depannya. DItutupnya pintu mobil dan mulai menghidupkan mesin untuk segera pergi dari tempat itu. Bagaimana pun, rasa kesalnya terhadap Alexa belum benar-benar pergi. Semua dilakukannya hanya untuk memenuhi keinginan Raynald. Meski mengembalikan kepercayaan laki-laki itu 100% terhadapnya lagi, rasa-rasanya mustahil. Sejak ia memutuskan untuk terus terang atas apa yang sudah dilakukannya pada Alexa, ia tahu Raynald tak kan lagi sama seperti sebelumnya. Tapi setidaknya, ia lega untuk Raynald.Sebelumnya, ia tak mengerti bagaimana caranya untuk menebus kesalahan. Raynald tak mau membantunya memberi jawaban. Dan ibu Alexa, begitu membencinya hingga ke tulang. Alexa harus memutar otak untuk mencari cara memperbaiki apa yang sudah dirusaknya dari Alexa dan Dylan. Maka cara satu-satunya adalah dengan mencari tahu tentang Dylan. Profesi laki-laki itu memudahkan Angel untuk melacaknya. Nama Dylan sang pengacara berada
Alexa terlonjak dari kursi yang didudukinya manakala suara Angel di ujung sana mengabarkan satu informasi yang selama ini dicari-carinya.“Aku tahu di mana Dylan. Aku kirim lokasinya sekarang.”Entah bagaimana perempuan itu tahu keberadaan Dylan. Alexa bahkan tak sempat mengatakan halo, Angel sudah lebih dulu berbicara dan begitu saja mematikan panggilan mereka. Tak lama sebuah pesan masuk melalui aplikasi chat. Alexa membuka pesan itu yang menampilkan sebuah map menuju satu lokasi. Seketika Alexa merutuki diri yang sudah berani-beraninya melupakan apartemen itu. Calon tempat tinggal mereka yang sudah Dylan persiapkan untuknya. Gegas Alexa menarik tas, kunci dan jaketnya yang tersampir di atas kursi kerjanya. Secepatnya ia berlari keluar dari kamar, memacu mobilnya menuju tempat yang dikenalnya. Semua masih tergambar di kepala Alexa. Bagaikan sebuah peta yang sangat jelas rute perjalanannya. Ia tak perlu membuka aplikasi chat dan melihat bagaimana ia harus
“Saya sudah pernah bilang, kan, kalau hubungan kamu dan Laura itu gak sehat. Kamu gak mau dengar. Liatkan, semuanya jadi berantakan seperti ini.” cecar Antonio. Ia meletakkan segelas minuman soda di hadapan Dylan yang nampak frustasi. Diliriknya laki-laki itu sekilas sebelum ia meraih gelas yang letakkan Antonio di hadapannya dan menenggaknya.“Saya tahu.” Dylan meletakkan kembali gelasnya di atas meja bar. “Tapi, apa kamu bisa mengontrol perasaan kamu sendiri ketika sedang jatuh cinta?” Tanya Dylan. Pertanyaan yang sebenarnya sulit untuk dijawab oleh Antonio.“Saya tahu itu gak mudah. Tapi seharusnya kamu mencoba melawan. Kamu sudah punya Alexa. Bahkan Alexa sedang berjuang dengan ingatannya. Tapi kamu malah main di belakang. Itu yang saya gak habis pikir.”DYlan menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Di antara beberapa kawan yang dimilikinya, ia memilih untuk menceritakan semua perso
“Saya gak tahu, harus mulai dari mana.”Laura melirik Alexa yang duduk di depannya dengan hati-hati. Sejujurnya, untuk bertemu dengan perempuan ini setelah semuanya terungkap, ia belum siap. Namun ia tak punya pilihan lain ketika Alexa menghubunginya satu jam sebelum waktu istirahatnya, dan meminta untuk bertemu. Setelah hilangnya Dylan, Laura menjadi terlalu fokus untuk mengetahui di mana keberadaan laki-laki itu itu hingga melupakan bahwa ada yang harus diselesaikan di antara ia dan Alexa lebih dulu.Tak ada satu orang wanita pun di dunia ini yang bersedia merelakan kekasihnya untuk wanita lain. Begitu pun sebaliknya, tak ada satu orang laki-laki pun di dunia ini yang bersedia merelakan kekasihnya untuk laki-laki lain. Keluarga Laura adalah salah satu contoh keluarga yang gagal. Setelah ia mulai beranjak remaja, ayahnya mulai berubah. Perubahan yang tak pernah dimengerti Laura kenapa, tapi ternyata terbaca oleh ibunya sebelum suaminya itu mengakui a
Dua gelas sirup jeruk terhidang di depan Laura dan Raynald. Laura memang pernah datang ke rumah ini, tapi untuk bertemu penghuninya tentu baru kali ini. Jadi, ia benar-benar merasa gugup. Perempuan yang tadi dijumpainya di depan gerbang adalah adik Dylan. Dulu sekali, laki-laki itu pernah bercerita tentang adik perempuannya yang memiliki penyakit serupa dengan laura. Rupanya seperti inilah tampilan adiknya. Sedikit berbeda dari Dylan. Ia memiliki mata yang belok, hidung yang mancung dengan cuping yang tak lancip, dan bibir yang tipis di bagian atas tapi sedikit lebih tebal di bagian bawah. Kulitnya sawo matang, tak seperti Dylan dan ibunya yang putih. Mungkin adik perempuannya ini menurunkan gen dari ayahnya. Bukankah memang seperti itu kebanyakan? Anak peremepuan mengikuti bagaimana ayah mereka dan anak laki-laki mengikuti bagaimana ibu mereka.“Sebelum pergi, Dylan pamit untuk menenangkan diri. katanya dia butuh waktu untuk menjernihkan pikiran. Untuk sementara dia ga