Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.
“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”
Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.
“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Laura tak pernah menyangka bahwa mobil yang menggilas jalanan ibu kota dengan kejam itu akan berhenti di depan sebuah tempat berpenerangan lebih redup dari tempat sebelumnya. Tempat itu begitu kecil. Mungkin hanya sukuran kamarnya. Di atas pintunya, terpampang sebuah papan kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil warna warni bertuliskan Portgas D.Ace. Dari pintu kacanya, Laura dapat melihat hanya ada tiga meja bulat dengan dua kursi di masing-masing meja. Dan di depan sana, ada sebuah meja panjang yang melingkar. Dengan seorang bar tander di baliknya.Keduanya keluar dari dalam mobil. Raynald sepertis sudah terbiasa dengan tempat itu. sementara Laura, ia masih tak percaya akan menginjakkan kaki di tempat ini, bar. Tempat yang tak pernah ia mau kunjungi selama hidupnya. Dan malam ini, ia melanggar sumpahnya. Ia mencoba bern
Alexa membuka matanya yang terasa begitu berat. Dan seketika ia diserang rasa pening yang hebat. menusuk-nusuk setiap syaraf di kepalanya dan memaksa matanya terpejam kembali dengan erat. Lagi, dengan hati-hati ia memncoba membuka matanya. Ia mendesah pelan. Ruang sempit ini lagi. Suasana putih ini lagi. Dan bau obat yang menyengat lagi. Ia sungguh mulai bosan. Sangat bosan. Sudah dua minggu berlalu sejak ia mulai membuka mata dan hanya bisa terbujur kaku di ranjang yang sempit. Ia sudah merasa seperti mayat yang bernapas. Iya, sudah dua minggu lamanya Alexa terbangun dari komanya. Dari tidur panjangnya. Setidaknya, itulah yang tiap hari ia dengar dari ibunya. Setiap kali Alexa membuka matanya, wanita yang sudah mulai menua itu tak hentinya berucap syukur karena Alexa tak tidur panjang lagi. Mungkin ibunya selalu diserang rasa takut yang hebat setiap kali ia t
Laura menelungkapkan wajahnya di atas meja. Pagi tadi, Raynald mengiriminya pesan. Laki-laki itu meminta izin padanya untuk mengunjungi Alexa mulai hari ini. Saat itu, ingin sekali rasanya Laura mencegah Raynald. Membalas pesan itu dengan dua kata. Jangan pergi. Jangan pergi. Meski mereka berdua telah sepakat untuk membantu Alexa sampai perempuan itu benar-benar dapat menerima kenyataan, Laura tetap saja tak ingin Raynald pergi. Tapi haruskah? Haruskah ia mengorbankan sebuah nyawa demi rasa egoisnya? Dan seketika air mata Laura meleleh.“Kenapa diizinin kalau sampai kayak gini, Lau?” Sebuah suara menyentakan Laura dari pikiran yang carut-marut. Ia menegakkan kembali duduknya dan meraup wajahnya. Menghilangkan jejak-jejak air mata di wajahnya. Ia menatap Angel dan tersenyum. Meraih sekaleng soda yang diserahkan Angel padanya. Hari ini, Laura sampai harus izin dari kantornya karena ia merasa benar-benar tak enak badan. Bukan hanya badan. Hati dan pikirannya pun sedang tak enak. “Aku g
Dua jam yang lalu, Raynald membanting tubuhnya di atas kasur hangatnya. Tapi ia tak benar-benar tidur. Matanya menerawang. Menatap atap putih di atas sana. dan pikirannya melayang pada sosok Laura, kekasihnya. Siang tadi, ia melihat bagaimana kekhawatiran Laura telah terpancar di wajah wanita itu. sebenarnya, Laura tak harus khawatir. Karena Raynald tak akan pernah meninggalkannya. Ia akan tetap ada untuk Laura. Karena ia milik perempuan itu. Tapi mungkin Laura tak sepenuhnya salah. Raynald, adalah laki-laki yang selama dua tahun ini telah menjelma menjadi seseorang yang begitu mencintai Laura, lantas kini laki-laki itu harus membagi cintanya dengan wanita lain. Walau pun bukan keinginan hatinya. Dan Laura tahu itu.Sejauh ini Raynald sadar bahwa ia belum pernah meyakinkan Laura akan hatinya. Ia belum pernah membuat Laura benar-benar percaya bahwa semua akan kembali seperti semula. Saat ia dan dirinya saling mencinta. Sejauh ini, Raynald hanya meminta. Meminta Laura mengerti, meminta
“Kamu gak mau nonton tv atau dengar musik gitu Ray?” Laura menawarkanRay menggeleng sekali lalu berkata tegas. “No.”“Atau main gitar?” Laura tak mau menyerah. Namun, Ray tetap bersikeras, menggeleng dan berkata tegas. “No.” Laura melepaskan kegiatannya memotong wortel dan memutar tubuhnya menghadap Raynald yang kini tengah duduk di kursi tinggi di balik meja dapur.“Ray aku gak bisa konsen masaknya kalau diliatin,” Protes Laura. Beberapa menit yang lalu, saat Laura berniat membuatkan jus untuk Raynald, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Kebiasaan Raynald yang selalu mereka perdebatkan. Laki-laki itu jarang makan malam. Bahkan kalau ia terlalu asik dengan pekerjaannya, ia bisa seharian tidak makan. Padahal, laki-laki itu mengidap magg kronis. Dan benar saja, ketika ia bertanya pada Ray, laki-laki itu menjawab dengan ragu bahwa ia memang belum makan. Seketika perdebatan kecil kembali terjadi. Dan Laura berinisiatif untuk memasakan Raynald makan malam tanpa mau dibantah.Laura mengira,
Untuk kali pertama, Laura memberanikan diri datang ke rumah sakit. Meski hatinya belum siap. Meski matanya tak ingin melihat Raynald dengan Alexa, tapi entah mengapa rasa ingin tahunya terhadap kondisi perempuan itu begitu besar. Maka sore itu, dicobanya mengontak Raynald untuk menanyakan posisi laki-laki itu. Ketika Raynald menjawab dirinya baru tiba di rumah sakit. Besar keinginan Laura untuk menyusulnya diam-diam. Sepulangnya dari kantor, Laura mengarahkan motornya ke jalan menuju rumah sakit.Cukup lama ia berdiri di depan gedung bercat putih itu. Memikirkan segalanya, menyiapkan dirinya. Ia tahu, apa yang dilihatnya nanti pasti akan menyakiti hatinya. Tapi bukankah mulai sekarang ia harus terbiasa dengan semuanya? Dengan seluruh rasa sakitnya. Dimantapkan hati, Laura berjalan memasuki gedung. Ia pernah mengunjungi kamar rawat Alexa beberapa waktu lalu bersama Raynald. Jadi untuk kali ini, ia tak perlu bertanya lagi tentang posisi ruang rawat Alexa. Lift membawa tubuh Laura melesa
“Gimana perkembangan Alexa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Angel ketika Laura tengah sibuk membuat proposal konsep pemotretan untuk hari sumpah pemuda bulan depan. Seketika ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya dan menatap Angel dengan kesal. “Kamu membuarkan semua konsep di kepala aku tahu gak sih?” keluhnya. Bukan prihatin, Angel malah terkikik. Perempuan itu lantas menjatuhkan tubuhnya di atas kursi meja kerjanya yang bersebrangan dengan Laura. “Sorry, aku cuma penasaraan saja sama hubungan kalian. Karena aku lihat hari ini kamu gak seperti biasa.” “Seperti biasa gimana?” “Muka ditekuk, mata sayu, gak bergairah menghadapi hidup.” Laura menarik kertas hasil coret-coretnya, mengepalnya penuh semangat dan melemparkannya ke arah Angel. Perempuan itu menghindar dengan lihainya dan tertawa renyah. “Aku cuma mau menerima kenyataan saja, emang gak boleh?” jawab Laura. “Oo Bagus itu. Ya, segaknya kamu gak akan membuat hari-hari semua orang ikutan suram.” Angel menyet