Merry dan Antonio saling berpandangan satu sama lain saat mendengar pengakuan Anggita baru saja. Pasangan suami istri pemilik toko roti itu tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Mereka memerhatikan Anggita dari atas hingga ke bawah sama sekali tidak menyangka wanita berpenampilan lugu seperti dia seorang penjahat.
"Kau mantan narapidana?" tanya Merry kepada Anggita tak percaya.
Anggita mengangguk lemah. Dia bisa saja berbohong menutupi statusnya, tapi wanita itu tidak ingin memulai kehidupan baru dengan kebohongan. Tak ada guna berbohong karena cepat atau lambat semua akan terbongkar pada waktunya.
"Benar, Nyonya." Anggita menyahuti dengan suara lirih. Dia menunduk sesaat kemudian kembali menatap wajah wanita paruh yang duduk di hadapannya.
"Tapi kami tidak melihat kau seperti seorang ... maaf, penjahat." Merry mengutarakan isi dalam pikirannya.
Anggita menghela napas pa
"Maafkan aku, Ibu. Aku baru bisa menghubungi sekarang. Bagaimana kabar Ibu dan Nelda?"Seminggu sejak ia dibebaskan. Anggita belum menghubungi Nelda atau pun ibu angkatnya. Wanita itu belum memiliki waktu luang untuk sekedar bertukar kabar dengan keluarganya.Begitu ada kesempatan, Anggita langsung meminta izin kepada Nyonya Merry pergi ke luar menghabiskan jam istirahatnya untuk menghubungi Laras melalui telepon umum karena ia belum memiliki ponsel."Ibu dan kakakmu baik-baik saja. Ke mana saja? Kenapa baru menghubungi Ibu sekarang? Bukankah kamu sudah bebas sejak seminggu yang lalu? Apa semuanya baik-baik saja, Anggi?"Rentetan pertanyaan itu Laras tujukan kepada putri bungsunya. Wanita paruh baya itu benar-benar tidak tenang selama seminggu ini karena belum mendapatkan kabar dari Anggita. Jadi, ketika putri bungsunya itu mengabarinya, ia begitu bersemangat ingin mengetahui segalanya. Cemas, takut terjadi hal bur
"Esa. Kau mau ke mana hari libur sudah serapi ini?" Antonio mengernyitkan alisnya saat tak sengaja berpapasan dengan Mahesa yang baru saja akan pergi. Sementara dia baru saja kembali dari olahraga pagi."Aku mau ke toko roti. Hari ini Ayah dan Ibu istirahat saja di rumah," sahut Mahesa sambil menggulung lengan tangan kemeja yang ia kenakan."Oh, baiklah. Di mana Sabiya? Apa dia akan ikut bersamamu?" tanya Antonio lagi."Sabiya tidak ikut. Dia sedang bersama Ibu di rumah," ujar Mahesa. "Esa berangkat dulu."Mahesa bergegas pergi setelah berpamitan kepada mertuanya. Sudah sebulan ini dia absen pergi ke toko karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantor Radeyas corp.Begitu ia sampai di depan toko, pintunya masih terkunci. Karyawan yang bekerja belum datang karena masih terlalu pagi. Toko biasanya buka pukul delapan pagi sementara saat ini masih pukul enam.Mahesa membuka pintu toko dengan kunci cadangan ya
Anggita dan Mahesa terpaku dan saling menatap satu sama lain selama beberapa detik terhanyut dalam pikiran masing-masing."Sedang apa Anda ada di sini?"Suara Anggita menarik Mahesa dari lamunannya. Dia mengernyitkan kedua alisnya seraya tersenyum miring. Merasa lucu. Seharusnya dia yang bertanya seperti itu kepada Anggita, bukan malah sebaliknya."Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?" ujar Mahesa datar. Dia mengambil paksa kemoceng yang masih dipegang oleh Anggita, kemudian menyimpannya di atas meja.Anggita tersadar bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan. Dia sudah memukul Mahesa dan bahkan sempat menuduhnya sebagai pencuri. Seketika wanita itu merasakan salivanya mendadak terasa pahit. Dia menunduk tak berani menatap wajah Mahesa."Aku tinggal dan bekerja di sini," sahut Anggita lirih.Sedetik kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Mahesa."Maafkan aku. Aku ben
Suasana di dapur yang semula terasa canggung, kini secara perlahan memudar. Kedua orang yang selalu dipertemukan dalam keadaan yang tidak mengenakkan itu terlihat tenang mengerjakan aktivitasnya. Mereka membuat roti terbaik untuk di jual di tokonya.Mahesa mencubit salah satu roti yang dibuat Anggita yang baru saja ke luar dari pemanggang. Setelah meniupnya beberapa kali hingga makanan itu hangat, laki-laki bertubuh atletis itu memasukkan ke dalam mulutnya. Dengan perlahan dia mengunyah untuk mendapatkan rasa yang terdapat dalam roti itu.Sementara Anggita sedang harap-harap cemas menunggu komentar dari Mahesa. Meski ia yakin tidak ada masalah dengan roti buatannya. Namun tetap saja ia takut rasa atau tektur yang terdapat dari roti itu kurang baik hasilnya."Ini, enak. Rasa dan tekstur kelembutannya, pas." Mahesa berkomentar setelah ia menelan roti yang ada di dalam mulutnya.Semburat senyum sumringah terukir di bibir tipis milik A
"Kamu sedang apa berdiri di situ?"Suara itu menyadarkan Anggita dari keterkejutannya. Dia segera membenarkan posisi berdirinya sambil gelagapan seperti baru saja tertangkap basah habis mencuri. Perlakuan Mahesa yang mungkin sebenarnya biasa saja tapi sukses membuat jantungnya tak karuan."Eh. Kapan kamu datang? Aku tidak melihatmu masuk?" Bukannya menjawab, Anggita malah balik bertanya kepada Kiki yang baru saja datang.Namun wanita itu sama sekali tidak menyadari kehadiran teman kerjanya itu karena terhanyut dalam perasaan yang sulit dimengerti. Ah, tidak. Yang jelas bukan cinta!Ya, ia hanya merasa aneh dengan perlakuan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun kecuali dari mendiang suaminya. Dan yang baru saja Mahesa lakukan padanya mengingatkan kembali pada perlakuan manis Devan saat laki-laki itu masih hidup."Kau tak apa? Kenapa pagi-pagi begini sudah bengong? Kau sampai tidak menyadari kedatanganku," sahut K
Laras menghentikan langkahnya di depan sebuah gedung pencakar langit. Dia mendongak untuk melihat tinggi bangunan itu kemudian menghela napas panjang. Berharap dia bisa menemukan titik terang dari apa yang sedang ia cari.Wanita paruh baya itu bergegas masuk ke dalam gedung. Mencari resepsionis untuk menanyakan keberadaan Radeya.Ya, ia ingin menemui Radeya, teman lama mendiang suaminya. Dia harus mendapatkan informasi tentang putranya kepada Radeya. Berharap teman suaminya itu mengetahui sesuatu mengenai kejadian kebakaran dua puluh tahun yang lalu."Loh, Anda? Saya tidak salah orang kan? Anda ini Ibu Laras temannya Anggita kan?"Mahesa yang kebetulan melintasi resepsionis tidak sengaja melihat wanita paruh baya yang ia kenal. Awalnya ragu untuk menyapa, tapi kemudian dia menghampiri Laras dan menyapanya."Pak Instruktur?" gumam Laras. Wanita itu sama terkejutnya dengan Mahesa. Mereka tidak menyangka bisa bertemu lagi
"Ah, ya. Kami sudah saling mengenal. Dia pernah menjadi instruktur pengajar di sel tahanan perempuan," jelas Laras.Radeya tertegun selama beberapa detik, kemudian dia tersadar kembali dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respons. Mahesa tersenyum sopan kemudian menundukkan kepala tanda hormat."Hm, karena Pak Radeya sudah di sini sekarang, saya pamit untuk melanjutkan pekerjaan," ucap Mahesa kepada Laras.Setelah kepergian Mahesa, Radeya mempersilahkan tamunya untuk duduk. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Kedua paruh baya itu mengingat kenangan masa lalu saat mereka masih berhubungan sebagai teman baik."Ada apa sampai kau datang ke sini menemuiku?" Suara Radeya memecah keheningan.Pendar iris tua itu menyiratkan sebuah keraguan dan juga rasa cemas. Namun sebisanya laki-laki paruh baya itu menekan agar orang lain tidak menyadari yang sedang dirasakannya."Apa kau sudah mendapatkan kab
Mata Radeya menyipit menatap tajam wajah sangat istri yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya. Laki-laki paruh baya itu tidak jadi mengantarkan Laras ke pemakaman. Sebagai gantinya, ia menyiapkan sopir yang akan mengantarkannya ke teman peristirahatan terakhir suami dan putranya.Suasana di ruangan berukuran cukup luas itu menjadi hening dan penuh ketegangan. Arumi begitu gugup setelah pertemuan tak sengajanya bersama Laras. Tak disangka wanita itu dapat mengenali wajahnya walau ia sudah mengubah penampilan."Bisakah kau jelaskan padaku kenapa Laras bisa mengenalmu?" ucap Radeya dengan suara tegas memecah keheningan.Arumi berusaha bersikap tenang, tak memperlihatkan kecanggungan yang dirasakannya. "Aku tidak tahu dari mana dia mengenalku. Bahkan bertemu saja baru sekarang," ujarnya berbohong.Mata Radeya memicing. Dia ragu dengan jawaban Arumi. "Benarkah kau sama sekali tidak mengenalnya?""Untuk apa aku berbohong da
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu