"Esa. Kau mau ke mana hari libur sudah serapi ini?" Antonio mengernyitkan alisnya saat tak sengaja berpapasan dengan Mahesa yang baru saja akan pergi. Sementara dia baru saja kembali dari olahraga pagi.
"Aku mau ke toko roti. Hari ini Ayah dan Ibu istirahat saja di rumah," sahut Mahesa sambil menggulung lengan tangan kemeja yang ia kenakan."Oh, baiklah. Di mana Sabiya? Apa dia akan ikut bersamamu?" tanya Antonio lagi."Sabiya tidak ikut. Dia sedang bersama Ibu di rumah," ujar Mahesa. "Esa berangkat dulu."Mahesa bergegas pergi setelah berpamitan kepada mertuanya. Sudah sebulan ini dia absen pergi ke toko karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantor Radeyas corp.Begitu ia sampai di depan toko, pintunya masih terkunci. Karyawan yang bekerja belum datang karena masih terlalu pagi. Toko biasanya buka pukul delapan pagi sementara saat ini masih pukul enam.Mahesa membuka pintu toko dengan kunci cadangan yaAnggita dan Mahesa terpaku dan saling menatap satu sama lain selama beberapa detik terhanyut dalam pikiran masing-masing."Sedang apa Anda ada di sini?"Suara Anggita menarik Mahesa dari lamunannya. Dia mengernyitkan kedua alisnya seraya tersenyum miring. Merasa lucu. Seharusnya dia yang bertanya seperti itu kepada Anggita, bukan malah sebaliknya."Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?" ujar Mahesa datar. Dia mengambil paksa kemoceng yang masih dipegang oleh Anggita, kemudian menyimpannya di atas meja.Anggita tersadar bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan. Dia sudah memukul Mahesa dan bahkan sempat menuduhnya sebagai pencuri. Seketika wanita itu merasakan salivanya mendadak terasa pahit. Dia menunduk tak berani menatap wajah Mahesa."Aku tinggal dan bekerja di sini," sahut Anggita lirih.Sedetik kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Mahesa."Maafkan aku. Aku ben
Suasana di dapur yang semula terasa canggung, kini secara perlahan memudar. Kedua orang yang selalu dipertemukan dalam keadaan yang tidak mengenakkan itu terlihat tenang mengerjakan aktivitasnya. Mereka membuat roti terbaik untuk di jual di tokonya.Mahesa mencubit salah satu roti yang dibuat Anggita yang baru saja ke luar dari pemanggang. Setelah meniupnya beberapa kali hingga makanan itu hangat, laki-laki bertubuh atletis itu memasukkan ke dalam mulutnya. Dengan perlahan dia mengunyah untuk mendapatkan rasa yang terdapat dalam roti itu.Sementara Anggita sedang harap-harap cemas menunggu komentar dari Mahesa. Meski ia yakin tidak ada masalah dengan roti buatannya. Namun tetap saja ia takut rasa atau tektur yang terdapat dari roti itu kurang baik hasilnya."Ini, enak. Rasa dan tekstur kelembutannya, pas." Mahesa berkomentar setelah ia menelan roti yang ada di dalam mulutnya.Semburat senyum sumringah terukir di bibir tipis milik A
"Kamu sedang apa berdiri di situ?"Suara itu menyadarkan Anggita dari keterkejutannya. Dia segera membenarkan posisi berdirinya sambil gelagapan seperti baru saja tertangkap basah habis mencuri. Perlakuan Mahesa yang mungkin sebenarnya biasa saja tapi sukses membuat jantungnya tak karuan."Eh. Kapan kamu datang? Aku tidak melihatmu masuk?" Bukannya menjawab, Anggita malah balik bertanya kepada Kiki yang baru saja datang.Namun wanita itu sama sekali tidak menyadari kehadiran teman kerjanya itu karena terhanyut dalam perasaan yang sulit dimengerti. Ah, tidak. Yang jelas bukan cinta!Ya, ia hanya merasa aneh dengan perlakuan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun kecuali dari mendiang suaminya. Dan yang baru saja Mahesa lakukan padanya mengingatkan kembali pada perlakuan manis Devan saat laki-laki itu masih hidup."Kau tak apa? Kenapa pagi-pagi begini sudah bengong? Kau sampai tidak menyadari kedatanganku," sahut K
Laras menghentikan langkahnya di depan sebuah gedung pencakar langit. Dia mendongak untuk melihat tinggi bangunan itu kemudian menghela napas panjang. Berharap dia bisa menemukan titik terang dari apa yang sedang ia cari.Wanita paruh baya itu bergegas masuk ke dalam gedung. Mencari resepsionis untuk menanyakan keberadaan Radeya.Ya, ia ingin menemui Radeya, teman lama mendiang suaminya. Dia harus mendapatkan informasi tentang putranya kepada Radeya. Berharap teman suaminya itu mengetahui sesuatu mengenai kejadian kebakaran dua puluh tahun yang lalu."Loh, Anda? Saya tidak salah orang kan? Anda ini Ibu Laras temannya Anggita kan?"Mahesa yang kebetulan melintasi resepsionis tidak sengaja melihat wanita paruh baya yang ia kenal. Awalnya ragu untuk menyapa, tapi kemudian dia menghampiri Laras dan menyapanya."Pak Instruktur?" gumam Laras. Wanita itu sama terkejutnya dengan Mahesa. Mereka tidak menyangka bisa bertemu lagi
"Ah, ya. Kami sudah saling mengenal. Dia pernah menjadi instruktur pengajar di sel tahanan perempuan," jelas Laras.Radeya tertegun selama beberapa detik, kemudian dia tersadar kembali dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respons. Mahesa tersenyum sopan kemudian menundukkan kepala tanda hormat."Hm, karena Pak Radeya sudah di sini sekarang, saya pamit untuk melanjutkan pekerjaan," ucap Mahesa kepada Laras.Setelah kepergian Mahesa, Radeya mempersilahkan tamunya untuk duduk. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Kedua paruh baya itu mengingat kenangan masa lalu saat mereka masih berhubungan sebagai teman baik."Ada apa sampai kau datang ke sini menemuiku?" Suara Radeya memecah keheningan.Pendar iris tua itu menyiratkan sebuah keraguan dan juga rasa cemas. Namun sebisanya laki-laki paruh baya itu menekan agar orang lain tidak menyadari yang sedang dirasakannya."Apa kau sudah mendapatkan kab
Mata Radeya menyipit menatap tajam wajah sangat istri yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya. Laki-laki paruh baya itu tidak jadi mengantarkan Laras ke pemakaman. Sebagai gantinya, ia menyiapkan sopir yang akan mengantarkannya ke teman peristirahatan terakhir suami dan putranya.Suasana di ruangan berukuran cukup luas itu menjadi hening dan penuh ketegangan. Arumi begitu gugup setelah pertemuan tak sengajanya bersama Laras. Tak disangka wanita itu dapat mengenali wajahnya walau ia sudah mengubah penampilan."Bisakah kau jelaskan padaku kenapa Laras bisa mengenalmu?" ucap Radeya dengan suara tegas memecah keheningan.Arumi berusaha bersikap tenang, tak memperlihatkan kecanggungan yang dirasakannya. "Aku tidak tahu dari mana dia mengenalku. Bahkan bertemu saja baru sekarang," ujarnya berbohong.Mata Radeya memicing. Dia ragu dengan jawaban Arumi. "Benarkah kau sama sekali tidak mengenalnya?""Untuk apa aku berbohong da
Mahesa menepikan mobil di depan sebuah kafe yang lokasinya tak terlalu jauh dari toko roti. Dia membuka sabuk pengaman dan ke luar dari mobil di susul oleh Anggota yang juga datang bersamanya. Mereka berjalan masuk dan memilih tempat duduk yang tidak terlalu ramai ditempati pengunjung.Duda tampan beranak satu itu melambaikan tangan pada pramusaji untuk meminta buku menu."Kamu mau pesan apa, Ta?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari daftar menu makanan dan minuman di depannya.Anggita menggigit bibir bawah sembari melihat makanan apa yang hendak ia pesan. Namun ia malah bingung dan akhirnya memilih untuk menyamakan menunya dengan Mahesa."Aku samain saja sama yang kamu pesan," ujarnya sambil menutup dan mengembalikan daftar menu itu kepada pramusaji.Mahesa mengernyitkan sedikit alisnya. Terdiam beberapa saat sambil memilih menu apa yang pas untuknya dan juga Anggita. Setelah itu ia mengatakan apa saja yang ingin
Mahesa merogoh saku jas yang dikenakannya. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Kemudian dia meminta agar Anggita mendekatkan kepalanya."Kemarikan kepalamu," titahnya.Anggita mengernyitkan alisnya bingung. "Kenapa?" tanyanya."Sudah, mendekat saja!" titah Mahesa tak ingin dibantah.Dengan polosnya Anggita mengikuti perintah Mahesa. Dia mendekatkan kepalanya dengan laki-laki itu. Entah apa yang hendak dilakukannya. Anggita berharap Mahesa tidak memiliki niat jahat.Mahesa membuka bungkus plester, kemudian dia menempelkannya di dahi Anggita yang tidak terluka. Wanita itu semakin kebingungan. Dia memegangi dahinya yang ditempeli plester sambil menatap Mahesa dengan tatapan penuh tanya."Kenapa kamu memasangkan plester di dahiku? Aku sedang tidak terluka," ucap Anggita memprotes tindakan laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya.Laki-laki tampan itu terkekeh pelan. Dia menghela napas. "Buk