Anggita tertunduk lemas ketika ia menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana di perusahaan Radeya yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Wanita berambut kecokelatan itu berjalan diapit oleh dua petugas kepolisian hendak dimasukan ke dalam sel tahanan.
"Dasar wanita rubah! Beraninya kau berniat mencuri uang dari kami. Sedari awal aku memang sudah menaruh curiga, dan ternyata memang benar kau itu seorang wanita matre dan tidak tahu malu!"
Aluna yang sedari tadi sudah menunggu untuk bertemu Anggita langsung mencercanya dengan hinaan. Ia semakin membenarkan prasangka yang selama ini tertanam di hatinya.
Sendu iris mata berwarna hazel itu menatap wajah Aluna sekilas. Lalu dia menundukan pandangannya. Dia tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya akan musibah yang menimpa dirinya.
Petugas langsung membawa Anggita menuju ke ruang tahanan. Mereka tak memedulikan Aluna yang terus berteriak melontarkan kata-kata kasar dan tidak pantas kepada Anggita.
Ragu wanita itu melangkah masuk. Dia melihat empat tahanan yang akan menjadi teman satu ruangan dengannya. Hanya sekilas saja, karena beberapa detik kemudian pandangan Anggita tertunduk.
"Kalian memiliki teman baru. Hiduplah dengan tenang dan rukun, jangan buat keributan!" titah salah satu petugas yang membawa Anggita ke dalam sel.
Keempat wanita berbeda usia yang belum diketahui namanya itu, menatap wajah Anggita dengan tatapan yang tak terbaca. Antara sinis, bingung, dan tak peduli.
"Permisi, saya Anggita. Saya akan tinggal bersama kalian," ujar Anggita lirih.
Ada rasa perih mengiris hatinya kala ia mengingat ucapannya sendiri baru saja. Mengapa dia harus tinggal di tempat itu bersama mereka pelaku kriminal, sedang ia sama sekali tidak melakukan kejahatan apapun.
Tak ada yang merespons perkenalan Anggita. Semuanya bersikap tak acuh dan kembali disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Entah, Anggita pun tak memedulikannya.
Anggita duduk teenung sendiri di pojokan. Dia menekuk kedua lututnya dan membenankan wajahnya di sana. Tak adakah yang mau membantunya terbebas dari fitnah?
"Sudahlah, gak perlu menangis. Gak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi," ujar salah satu dari empat tahanan itu membuka suara.
Merasa risih melihat Anggita yang sedang menangis dalam diam. Ah, dia pun dan semua yang ada di sana, mungkin pada awalnya akan bersikap sama dengan Anggita. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai berdamai dengan keadaan di bawah tekanan hotel predeo.
"Ternyata rupa gak bisa menjadi jaminan seseorang itu baik," ujarnya lagi kepada Anggita. "Kau seperti wanita yang lugu, tapi ternyata perbuatanmu tak selugu parasmu. Kau melakukan kejahatan apa hingga membawamu berada di tempat ini?"
Anggita mengangkat kepalanya. Iris berwarna hazel itu menatap sendu kepada wanita yang sedang mengajaknya berbicara. Kemudian dia menggelengkan pelan kepalanya.
"Saya bukan penjahat. Saya tidak melakukan kejahatan apapun!" tegas Anggi dengan suara lirih.
Wanita tadi menyunggingkan senyum sinis. Kedua bola matanya memutar, malas. "Kalau kau tidak melakukan kejahatan, tidak mungkin sekarang kau ada di sini," ujarnya mengejek.
"Saya bukan penjahat. Bukan!" tegas Anggita membantah tuduhan itu.
"Seseorang memfitnah saya atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan," sambungnya lagi lirih.
Cairan bening itu lolos dari kedua bola matanya. Anggita kembali membenamkan wajahnya pada lipatan kaki yang ditekuk. Terisak menangisi nasib buruknya.
Sementara keempat wanita yang ada di sana sesaat saling beradu pandang satu sama lain. Kemudian mereka kembali bersikap seolah tak peduli.
"Tahanan nomor 2889, ada seseorang yang ingin bertemu," ucap petugas dari luar sel.
Menyadari nomor yang disebutkan petugas adalah nomor tahanan miliknya. Anggita pun beranjak dan langsung menghampiri. Besar harapannya seseorang akan membantu ke luar dari hotel predeo ini.
Hening. Belum ada yang memulai percakapan. Arumi memerhatikan wajah sendu Anggita selama beberapa saat, kemudian dia menghela napasnya.
"Saya tahu kamu tidak melakukannya," ucap Arumi membuka pembicaraan.
Anggita mengangkat kepalanya menatap wanita paruh baya yang duduk di hadapannya hanya terhalang meja dan kaca. Mereka berbicara melalui sambungan telepon yang tersedia di sana.
"Benarkah? Lalu, apa Anda akan membantu saya terbebas dari fitnah ini?" tanya Anggita antusias.
Dia sangat berharap Arumi akan membantunya bebas dari tuduhan. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang sebelum menyahuti perkataan Anggita.
"Maaf, tapi saya tidak bisa membantumu."
Kedua bola mata Anggita membulat, beberapa detik kemudian dia mengerjap sekali. "Ke-kenapa tidak bisa?" tanyanya lirih dengan suara tercekat di kerongkongan.
Arumi kembali menghela napasnya. Dia memiliki tujuan dan harus segera mencapai tujuan itu. Dia ingin membantu Anggita. Namun jika ia melakukannya, maka perjuangannya selama 23 tahun akan berakhir sia-sia.
Anggita kembali ke dalam sel dengan wajah yang semakin murung. Sedikit harapannya untuk bisa lepas dari masalahnya saat ini surut. Perkataan Arumi terngiang di telinganya.
"Saya tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari suami saya. Maafkan saya, Anggi. Saya tidak bisa berbuat banyak untukmu, meski saya mengetahui kebenarannya."
Sesak. Anggita kembali menangisi nasib buruknya. Ditinggal pergi suami tercinta kemudian difitnah hingga mendekam di dalam sel tahanan bersama pelaku kejahatan lainnya.
'Mas Devan, kenapa ini semua harus terjadi padaku? Aku takut berada di sini, aku ingin ke luar dari sini, Mas.'
***
Gontai kaki itu melangkah mengikuti petugas yang akan mempertemukannya dengan seseorang yang ingin bertemu dengannya. Wajah wanita berambut kecokelatan itu sembab dengan lingkar hitam di bawah matanya. Dia menghabiskan malam pertama di dalam sel dengan menangis.
Seorang laki-laki paruh baya sedang menunggunya di ruangan khusus. Dia duduk tenang tanpa merasa bersalah ataupun iba. Menatap datar wajah Anggita dengan sorot tak terbaca.
"Bagaimana rasanya bermalam di sini?"
Sebelah sudut bibir tua itu terangkat ke atas membentuk senyum sinis. Tajam tatapannya melihat wajah menyedihkan dari mantan menantunya. Ah, tidak. Dia sama sekali tidak pernah mengakui wanita itu sebagai istri dari putra kesayangannya.
"Pa, tolong bebaskan aku dari sini. Papa pasti tahu kebenarannya. Aku selalu bekerja dengan jujur selama ini," ucap Anggi penuh harap.
Dia memilih tidak menjawab pertanyaan Radeya. Karena tanpa ia jawab pun, laki-laki paruh baya itu pasti sudah tahu jawabannya. Tak ada kenyamanan, tak ada rasa aman, yang ada hanya suasana menakutkan.
"Papa?" tanyanya penuh penekanan. Dia tidak suka Anggita memanggilnya seperti itu.
"Saya bukan papamu. Jadi jangan pernah memanggilku seperti itu!" tegasnya tak terbantahkan.
Anggita menggigit bibir bawahnya. Dia meremas ujung pakaian yang dikenakannya. Kedua bola mata hazel itu berkilat seperti kaca.
"Tolong bebaskan saya dari sini, Pak!" Anggita memohon dengan sangat.
"Saya tidak bersalah. Saya tidak pernah menggelapkan uang perusahaan," sambungnya lagi. Lirih dan penuh harap.
Radeya terkekeh pelan. Dia menggelengkan pelan kepalanya. "Nikmatilah hukumanmu. Sudah untung saya tidak menuntutmu untuk membayar denda. Kau hanya akan mendekam di tempat ini selama beberapa tahun saja," ujarnya.
Anggita mengerjapkan matanya. Dia masih berusaha mencerna perkataan laki-laki paruh baya di hadapannya. Mungkinkah dia sengaja melakukan semua kepadanya?
Radeya beranjak dari tempat duduknya. Dia membenarkan letak jas yang dikenakannya. "Itulah akibat kau berani mengusik ketentraman hidupku. Kau sudah merebut Devan dan kau berani mengambil semua yang dimilikinya dariku!"
"Diam lah! Kenapa kau seperti anak kecil?! Sedari tadi kau tak berhenti menangis. Suaramu itu sungguh berisik sekali!"Anggita yang sedang terisak sendirian di pojok ruangan berukuran sempit itu mendongak melihat wajah teman barunya sekilas. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya, bertopang pada kedua lututnya yang ditekuk.Dia tak menghiraukan perkataan wanita yang perkiraan seusia dengannya. Anggita melanjutkan tangisnya, melepaskan rasa sesak dan sakit atas penderitaan yang dialaminya.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ya, seperti itulah posisi yang sedang Anggita jalani. Sudah sakit atas kehilangan sang suami secara tiba-tiba. Kini ia juga harus mendekam di dalam jeruji besi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Ingin marah, ingin melampiaskan segenap perasaan sesak dan sakit dalam dada. Tapi ia tak memiliki cukup keberanian untuk melawan. Dia bukanlah siapa-siapa untuk bisa melawan seorang
"Bia, sayang, ayok mandi dulu. Sebentar lagi akan terlambat masuk sekolah."Mahesa memasuki kamar putri kecilnya. Hari ini adalah hari pertama Sabiya masuk sekolah taman kanak-kanak. Gadis kecil itu harus segera bersiap agar tidak kesiangan di hari pertamanya.Begitu Mahesa masuk, gadis itu sudah siap dengan handuknya akan masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki berkulit putih itu menyunggingkan senyum terbaik menyapa putri kecil kesayangannya."Ayok buka bajumu. Papa akan membantumu mandi dan bersiap," ujar Mahesa sembari berjalan mendekati Sabiya.Gadis kecil itu memundurkan langkah menjaga jarak dengan papanya. "Stop, Pa!" katanya sambil mengangkat satu tangannya meminta agar Mahesa berhenti.Duda tampan beranak satu itu mengernyitkan kedua alisnya merasa heran dengan sikap putrinya. "Kenapa?""Mulai hari ini, aku akan melakukan semuanya sendiri. Aku ini sud
Mahesa menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. Dia melakukannya hingga tiga kali berturut-turut. Pandangannya terpaku pada pintu gerbang di hadapannya.Dia ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tugas yang sudah dipercayakan padanya tidak bisa ia tolak. Mahesa menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk tentang keadaan di dalam sana."Semangat, Mahesa! Kau hanya menjadi instruktur selama tiga bulan saja. Ini tidak seburuk seperti yang ada dalam pikiranmu. Semua pasti baik-baik saja. Ya, semoga!"Laki-laki berambut hitam kecokelatan itu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulutnya. Setelah berhasil mengumpulkan semangat dan keberanian, Mahesa membuka gerbang dan mulai memasuki lapas para tahanan.Mahesa menemui
Setelah memantapkan diri, Mahesa memutar kelop pintu dan membukanya perlahan. Baru saja dua langkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu, dia dikejutkan dengan tumpahan tepung tepat di kepalanya. Wajah dan pakaian yang ia kenakan di penuhi butiran berwarna putih.Hening selama beberapa detik. Mahesa mengepalkan kedua tangan dan mengeraskan rahangnya. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke sekeliling ruangan. Dan menit berikutnya penghuni ruangan itu tergelak menertawakan penampilannya saat ini."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja," ucap Anggita dengan penuh penyesalan.Dia menjadi salah tingkah antara ingin membantu laki-laki di hadapannya untuk membersihkan tepung dari tubuhnya atau kembali ke tempat duduk mengabaikan laki-laki itu.Mahesa menggeram kesal. Dia membersihkan tepung dari wajah dan menghalangi pandangannya. Hingga iris mata tajamnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang bertanggungjawab atas semua yang te
"Apa kau mengenal Pak Instruktur? Dari cara dia melihatmu, sepertinya kalian saling mengenal. Kau hebat sekali bisa mengenal lelaki tampan seperti dia," ujar Nelda kepada Anggita.Saat ini wanita itu sangat tertarik untuk mencari tahu hubungan antara Anggita dengan Mahesa yang menjadi pengajarnya. Tetapi sayang, Anggita menyangkal telah mengenal lelaki itu sebelumnya. Ya, walau dia pernah tidak sengaja bertemu, tetapi Anggita benar-benar tidak mengenal Mahesa. Lagi pula pertemuan mereka tidak meninggalkan kesan yang baik."Aku tidak mengenalnya," jawabnya jujur. "Memang kami pernah bertemu. Dia yang sudah membuat cincin pernikahanku tenggelam bersama ombak."Mimik wajah Anggita berubah masam saat mengingat kejadian hari itu. Mahesa tiba-tiba muncul dan menariknya saat ia hendak mengambil cincinnya yang terjatuh hingga akhirnya dia kehilangan benda berharga itu."Dia melakukannya? Kenapa begitu?" Neld
Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, Mahesa langsung pergi ke kamar Sabiya. Dia tidak boleh membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Malam sudah larut dan gadis kecilnya itu harus segera tidur. Sabiya tidak akan bisa tidur jika ia tidak menemani dan membacakan sebuah dongeng."Pa, tadi pulang sekolah aku dijemput sama Tante Luna."Sebuah kerutan halus terlihat di dahi Mahesa. Dia sedikit merasa tertegun mendengar cerita Sabiya, Aluna datang untuk menjemput gadis kecil itu."Oh ya?" ucap Mahesa bersikap tenang.Gadis kecil itu mengangguk mengiakan. "Iya, Tante Aluna juga menemaniku mengerjakan PR," ucap Sabiya polos.Mahesa hanya tersenyum tipis sebagai respons atas cerita putri kecilnya itu. Dia mengusap puncak kepala Sabiya dengan lembut dan sayang."Tante Aluna baik, dia juga cantik. Menurut Papa, Tante Aluna seperti apa?" tanya Sabiya lagi.
Anggita membayangkan tubuhnya akan terjatuh ke lantai. Wanita itu memejamkan mata bersiap menerima rasa sakit akibat benturan tersebut. Tapi setelah beberapa detik berlalu, tak ada rasa sakit yang diterimanya. Perlahan Anggita membuka mata dan terkejut saat melihat wajah Mahesa yang pertama kali dia lihat. Yang lebih mengejutkannya lagi ketika sebuah telur pecah tepat pada wajah laki-laki itu hingga pecahannya mengenai wajahnya juga. Setelah kesadarannya terkumpul, Anggita segera membenarkan posisinya dan menjauh dari Mahesa yang sedang memeluknya. Dia merasa sangat malu lagi-lagi berurusan dengan Mahesa. "Haisss ...." Mahesa mendesis kesal sambil mengelap wajahnya dengan tangan. Dia menatap wajah para wanita yang ada di sana dengan sorot dipenuhi kekesalan. Mahesa menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Tanpa berbicara laki-laki itu beranjak pergi dari sana.
Sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan halaman sebuah rumah yang cukup luas. Tak lama kemudian seorang wanita cantik turun dari mobil itu. Dia merogoh ponsel di dalam tas untuk menghubungi seseorang."Aku sudah di depan rumahmu," ujarnya pada seseorang yang sedang menerima telepon darinya.Aluna langsung memutus panggilan ponselnya setelah memberitahukan pemilik rumah bahwa dirinya sudah tiba di sana. Tak lama kemudian, seorang gadis kecil ke luar dari dalam rumah diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Aluna mengulas senyum hangat menyambut ayah dan anak itu."Kau tidak lupa kan, sekarang kita akan pergi menemui ayahku?" tanya Aluna kepada Mahesa."Hm, aku ingat. Aku baru saja akan menitipkan Sabiya pada Ibu," sahut Mahesa tenang.Aluna mengangguk-anggukkan pelan kepalanya. Kemudian dia menundukkan pandangan menatap wajah Sabiya."Sayang, Tante pinjam papamu dulu sebentar, ya. Kamu tidak keberata
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu