Sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan halaman sebuah rumah yang cukup luas. Tak lama kemudian seorang wanita cantik turun dari mobil itu. Dia merogoh ponsel di dalam tas untuk menghubungi seseorang.
"Aku sudah di depan rumahmu," ujarnya pada seseorang yang sedang menerima telepon darinya.Aluna langsung memutus panggilan ponselnya setelah memberitahukan pemilik rumah bahwa dirinya sudah tiba di sana. Tak lama kemudian, seorang gadis kecil ke luar dari dalam rumah diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Aluna mengulas senyum hangat menyambut ayah dan anak itu."Kau tidak lupa kan, sekarang kita akan pergi menemui ayahku?" tanya Aluna kepada Mahesa."Hm, aku ingat. Aku baru saja akan menitipkan Sabiya pada Ibu," sahut Mahesa tenang.Aluna mengangguk-anggukkan pelan kepalanya. Kemudian dia menundukkan pandangan menatap wajah Sabiya."Sayang, Tante pinjam papamu dulu sebentar, ya. Kamu tidak keberataHari ini bisa dikatakan hari yang cukup baik. Praktek membuat roti yang diajarkan Mahesa berjalan dengan lancar tanpa keributan seperti yang pernah terjadi di hari sebelum-sebelumnya. Meski mereka masih belum bisa menciptakan sebuah hasil karya yang sesuai dengan harap. Seperti biasanya Laras dan Anggi yang lebih menonjol kemampuannya dibandingkan yang lainnya. Dua wanita yang terlihat seperti ibu dan anak itu bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga mereka dengan cepat bisa mencerna materi yang diajarkan oleh instrukturnya. "Penampilannya menarik dan rasanya juga lumayan enak. Terus kembangkan bakatmu agar bisa menghasilkan roti dan kue yang lezat," ujar Mahesa kepada Anggita. Wanita itu tersenyum senang mendengar pujian yang dilontarkan oleh instrukturnya. Ah, tidak. Bukan soal pujiannya. Tetapi tentang kemampuannya dalam membuat roti. Jika dia berhasil bisa membuat sebuah roti yang lezat, dia memiliki harapan unt
Anggita terduduk lemas di dalam sebuah ruangan sempit sendirian. Dia memeluk dan membenamkan wajah pada kedua lututnya yang ditekuk. Petugas menghukum wanita itu karena telah berulah dan membuat kekacauan kepada seorang pengusaha ternama di Ibu Kota.Anggita menolak meminta maaf kepada Radeya. Itu sebabnya dia di pisahkan dari teman-teman sekamarnya agar ia bisa berintrosfeksi diri atas perbuatannya. Dalam hati dan pikiran Anggita masih dipenuhi amarah dan kebencian. Dia bahkan sama sekali tidak merasa menyesal telah meludahi wajah laki-laki paruh baya yang licik itu."Kau akan kami diamkan di sana selama satu minggu agar kau bisa merenungi kesalahanmu dan tidak mengulanginya lagi di lain waktu," ujar penjaga kepada Anggita. Beberapa saat kemudian dia pergi bersama temannya meninggalkan Anggita.Nelda dan Laras terheran-heran karena sudah hampir malam tapi petugas tidak mengembalikan Anggita ke ruangannya. Mereka terlihat sangat mencemaskan wan
Meja yang biasa ditempati oleh Anggita terlihat kosong selama dua hari ini. Hal tersebut menarik perhatian laki-laki yang menjadi pengajarnya. Entah, serasa ada yang kurang saat wanita yang memiliki talenta baik dalam mengikuti pelajarannya itu tidak hadir.Kehampaan juga tak hanya dirasakan oleh Mahesa. Teman-teman Anggita juga merasakan hal yang kurang saat melihat meja itu kosong terutama untuk Laras dan Nelda. Mereka tidak tahu separah apa kekacauan yang dilakukan oleh Anggita sehingga membuatnya harus menerima hukuman dari penjaga. Padahal sejak awal wanita itu masuk tidak pernah sekalipun melakukan keributan dan berulah."Menurut penjaga, Anggita sedang dihukum karena perbuatan tidak menyenangkan kepada seorang pengusaha ternama di sini. Kami tidak tahu lebih tepatnya apa yang sudah dia lakukan," aku Laras saat Mahesa mencari tahu keberadaan Anggita yang tidak lagi mengikuti pelajaran.Mahesa mengernyitkan dahinya. "Apa maksud Ibu pengusa
Seminggu berlalu tanpa kehadiran Anggita di kelas. Konsentrasi Mahesa terbagi antara mengajar muridnya dan kabar Anggita. Dia selalu mengingat wanita itu setiap kali melihat ke arah mejanya yang kosong.Senyum dan sorot teduh wanita itu selalu terlintas dalam benaknya. Mahesa berkali-kali menggelengkan kepalanya untuk menepis bayangan itu agar kembali konsentrasi pada aktivitasnya saat ini."Pak Instruktur, aku perhatikan sedari tadi kau melihat ke arah meja Anggita terus. Apa kau sedang merindukannya?" ucap Cece yang menyadari gerak-gerik Mahesa yang selalu melihat ke arah meja Anggita."Cieee ...." serentak yang lainnya menyoraki. Tingkah para wanita itu seperti remaja yang sedang menggoda temannya saat ketahuan sedang kasmaran.Suasana dalam kelas itu berisik dengan suara gaduh dari para wanita yang sedang menggoda instrukturnya. Mereka sangat mendukung bila terjadi cinta lokasi antara Mahesa dengan Anggita. Keduanya dinilai pas
"Aku senang kau sudah bisa mengikuti kelasku lagi," ucap Mahesa kepada Anggita.Wanita itu merespons dengan tersenyum tipis. Meski Mahesa cukup sering menyemangati dan memberikan nasihat-nasihat padanya. Namun hubungan di antara keduanya hanya sebatas guru dan murid. Anggita memasang dinding yang kuat untuk menjaga jarak.Begitupun dengan Mahesa. Lelaki tampan itu juga menganggap hubungannya dengan Anggita sebatas guru dan murid. Dan sebagai seorang guru yang baik, ia ngerasa wajib memberikan nasihat-nasihat positif untuk muridnya. Bukan hanya kepada Anggita, tapi juga ke semua murid lainnya.Hari demi hari Mahesa lalui sebagai instruktur pengajar. Secara perlahan muridnya sudah cukup menguasai materi yang ia berikan. Mereka juga sudah bisa mempraktekannya dengan baik.Tanpa terasa sudah tiga bulan berlalu. Hari yang awalnya Mahesa anggap sulit dan berat harus menghadapi para wanita tahanan dengan kasus dan juga karakter yang berbe
Seorang wanita membawa tas berukuran sedang di tangannya baru saja ke luar dari pintu gerbang. Dia memejamkan matanya menikmati semilir angin yang menerpa mengenai wajahnya.Dua tahun sudah dilalui Anggita dengan tidak mudah berada di dalam tahanan bersama penghuni lain dengan kasus yang berbeda-beda. Pengalaman membuat wanita itu mengambil banyak pelajaran hidup baik dan buruknya agar tidak sampai terjatuh pada kesalahan yang sama.Tepat hari ini, Anggita resmi dibebaskan dari masa hukumannya. Wanita itu sudah bisa menghirup udara segar dengan leluasa. Panas terik mata hari menyilaukan indera penglihatannya yang sudah lama tidak bisa melihat keindahan tersebut secara langsung.Kedua sudut bibir tipis nan sedikit pucat itu melengkung mengembangkan sebuah senyum manis. Lega. Dia masih memiliki kesempatan untuk melihat keindahan dunia yang luas ini. Meski belum tahu ke mana langkah kaki akan membawanya pergi, tetapi setida
Merry dan Antonio saling berpandangan satu sama lain saat mendengar pengakuan Anggita baru saja. Pasangan suami istri pemilik toko roti itu tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Mereka memerhatikan Anggita dari atas hingga ke bawah sama sekali tidak menyangka wanita berpenampilan lugu seperti dia seorang penjahat."Kau mantan narapidana?" tanya Merry kepada Anggita tak percaya.Anggita mengangguk lemah. Dia bisa saja berbohong menutupi statusnya, tapi wanita itu tidak ingin memulai kehidupan baru dengan kebohongan. Tak ada guna berbohong karena cepat atau lambat semua akan terbongkar pada waktunya."Benar, Nyonya." Anggita menyahuti dengan suara lirih. Dia menunduk sesaat kemudian kembali menatap wajah wanita paruh yang duduk di hadapannya."Tapi kami tidak melihat kau seperti seorang ... maaf, penjahat." Merry mengutarakan isi dalam pikirannya.Anggita menghela napas pa
"Maafkan aku, Ibu. Aku baru bisa menghubungi sekarang. Bagaimana kabar Ibu dan Nelda?"Seminggu sejak ia dibebaskan. Anggita belum menghubungi Nelda atau pun ibu angkatnya. Wanita itu belum memiliki waktu luang untuk sekedar bertukar kabar dengan keluarganya.Begitu ada kesempatan, Anggita langsung meminta izin kepada Nyonya Merry pergi ke luar menghabiskan jam istirahatnya untuk menghubungi Laras melalui telepon umum karena ia belum memiliki ponsel."Ibu dan kakakmu baik-baik saja. Ke mana saja? Kenapa baru menghubungi Ibu sekarang? Bukankah kamu sudah bebas sejak seminggu yang lalu? Apa semuanya baik-baik saja, Anggi?"Rentetan pertanyaan itu Laras tujukan kepada putri bungsunya. Wanita paruh baya itu benar-benar tidak tenang selama seminggu ini karena belum mendapatkan kabar dari Anggita. Jadi, ketika putri bungsunya itu mengabarinya, ia begitu bersemangat ingin mengetahui segalanya. Cemas, takut terjadi hal bur
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu