'Halo, apa benar ini kontak Nona Anggita?'
"Ya, saya sendiri. Maaf saya bicara dengan siapa ini?"Ketika hendak pulang dari pemakaman, ponselnya berdering menerima sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Tanpa pikir panjang dia langsung menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan telepon tersebut.'Saya dari rumah sakit, ingin memberitahu Nona pasien bernama Ibu Dewi ingin bertemu dengan anda sekarang. Kondisinya sudah sangat tidak baik,'"Saya akan segera ke sana sekarang."Anggita langsung mematikan ponselnya secara sepihak. Dia mengurungkan niatnya untuk pulang. Anggita akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menemui wanita yang sudah mengurusnya selama ia tinggal di panti asuhan.Ya, Anggita adalah seorang yatim piatu sejak kecil dan tinggal di panti asuhan. Mungkin karena alasan itulah yang membuat keluarga Devan tidak menyukainya. Terlebih mereka menganggap sikap Devan berubah menjadi pembangkang setelah menikah dengannya.Setelah melelui perjalanan selama kurang lebih sekitar tiga puluh menit Anggita tiba di rumah sakit. Dia langsung bergegas masuk untuk menemui resepsionis untuk menanyakan Ibu Dewi."Maaf, tapi Ibu Dewi baru saja meninggal dunia," ujar petugas resepsionis itu kepada Anggita.Seketika seluruh tubuhnya melemas mendengar kabar duka itu. "Ibu Dewi sangat ingin sekali bertemu dengan Nona. Katanya ada banyak yang ingin beliau sampaikan. Tapi sayangnya, Tuhan lebih dulu memanggilnya sebelum beliau bertemu dengan Nona," jelas petugas resepsionis itu kembali.Dia menghela napas panjang, kemudian memejamkan matanya selama beberapa detik. Kabar duka itu begitu bertubi-tubi ia dapatkan, dan itu sangat menyesakkan hatinya. Anggita memijit pelan pangkal hidungnya yang mendadak berdenyut sakit.Sejak dari kemarin dia tiodak melakukan istirahat dengan benar. Anggita berpamitan untuk pergi setelah berbincang dengan suster yang menjaga Ibu Dewi selama beliau dirawat di rumah sakit itu.Anggita melenggangkan langkah gontai ke luar dari rumah sakit. Tanpa dia sadari laki-laki yang tadi ditemui di pemakaman baru saja masuk ke rumah sakit saling berpapasn tapi tidak saling menyadari."Saya ingin bertemu dengan Ibu Dewi. Menurut kabar yang saya dengar, dia sedang dirawat di rumah sakit ini," ucap laki-laki itu kepada salah satu suster yang ada di sana."Maaf, kalau boleh saya tahu, anda ini siapanya Ibu Dewi?" tanya suster itu menyelidik."Saya Mahesa. Dulu saya anak didik Ibu Dewi. Sudah lama sekali saya tidak bertemu beliau dan sekarang saya ingin menemuinya," jelas laki-laki yang menyebutkan dirinya bernama Mahesa.Suster itu mengangguk paham. "Ibu Dewi baru saja meninggal dunia, dan sekarang sudah dibawa oleh keluarganya."Mahesa terkejut mendengar berita duka itu. Dia tertunduk sendu. Ya, namanya Mahesa Sadewa. Dia seorang duda beranak satu juga pemilik sebuah toko roti ternama di ibu kota. Mahesa berpamitan untuk pergi setelah mendengar informasi terkait orang yang ingin ia temui.***Anggita berdiri terpaku di pantai melihat ombak yang silih berganti menghantam karang di lautan. Matahari mulai tenggelam memerlihatkan pemandangan langit berwarna jingga.Dia berkali-kali menghela napas panjangnya yang sangat menyesakkan. Anggita melihat cincin yang melingkar di jari manisnya, kemudian melepaskan benda itu dari jarinya. Menatap lamat dan sendu satu-satunya peninggalan Devan yang ia miliki."Hanya cincin ini yang aku miliki. Satu-satunya benda yang kamu tinggalkan untukku," gumamnya sendu.Anggita kembali menghela napas dan menghembuskannya perlahan melalui mulut. "Aku merasa hidup ini akan sulit tanpa kehadiran kamu, Mas Devan."Dia menangis sambil menggenggam erat cincin itu dengan kedua tangan yang ia benamkan di bibirnya cukup lama. Anggita membenamkan kedua mata merasakan seolah Devannya ada di sana. Ada di hadapannya sedang tersenyum.Tangis itu pecah ketika tersadar yang terlihat hanyalah bayangannya saja. Lalu tanpa disengaja, Anggita menjatuhkan cincinnya tepat saat ombak itu datang menerpa kakinya."Ah, tidak. Cincinnya, di mana cincin itu?"Anggita mengikuti air ombak yang menggulung kembali ke lautan demi mencari cincin yang terjatuh. Dia menangis kebingungan ingin cincinnya kembali. "Tuhan, hanya cincin itu yang kumiliki dari Mas Devan. Jangan biarkan cincin itu hilang," gumamnya lirih.Dia tidak menyadari sudah berada jauh dari pantai. Anggita tak memedulikan keadaannya, karena yang terlintas dalam otaknya adalah ia harus menemukan cincin itu.Tak jauh dari tempat Anggita berada, seoarang laki-laki yang juga sedang mencoba menenangkan diri atas permasalahan-permasalahan yang sedang ia hadapi. Kedua bola mata lelaki itu membulat sempurna ketika melihat tubuh Anggita hampir tenggelam di lautan."Haisss, orang itu. Kenapa dia akan melakukan bunuh diri di hadapanku?" gerutunya kesal.Dia tidak ingin membantu, tidak ingin terlibat dengan Anggita yang ia anggap akan melakukan bunuh diri. Tapi naluri rasa kemanusiaannya mendorong laki-laki itu untuk membantu Anggita.Dia berlari menghampiri Anggita yang masih tidak sadar tubuhnya akan benar-benar tenggelam. "Hei, tunggu. Jangan melakukan bunuh diri di sana. Kemarilah! Kau bisa mati tenggelam!"Anggita tidak mendengar teriakan itu. Ah, lebih tepatnya tidak peduli. Dia terus mencari cincin yang sudah jelas menghilang dan takkan pernah ia temukan lagi."Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau kau mati tenggelam?!" sungut Mahesa geram. Dia memeluk tubuh Anggita dari belakan, memebawanya menuju ke pantai.Anggita meronta agar Mahesa melepaskannya. Ia hendak kembali ke tengah lautan tapi, lelaki itu mencegah dengan menarik tangannya dengan kuat."Lepaskan aku! Kau membuatku kehilangan benda yang sangat berarti dalam hidupku!" gerutu Anggita berusaha melepaskan cekalan tangan Mahesa."Lepaskan! Aku akan kembali mencari cincin itu di sana," ucap Anggita lirih. Matanya sudah sembab akibat menangis.Mahesa menghempaskan tangan kurus Anggita kasar. "Seperti itu kah caramu berterima kasih kepada orang yang ingin menolongmu? Kau akan mengorbankan nyawamu hanya demi sebuah cincin? Dan kau menyalahkanku bukannya mengucapkan terima kasih?"Mahesa merasa geram dengan tindakan Anggita yang bodoh itu. Dia menatap lamat dan tajam wajah Anggita dan baru menyadari bahwa dia adalah wanita yang ditemuinya di pemakaman siang tadi."Kau-""Aku tidak pernah memintamu untuk menolongku. Jadi jangan harap aku akan mengucapkan terima kasih padamu!" gerutu Anggita ketus.Dia hendak kembali untuk mencari cincinya tetapi urung setelah mendengar perkataan Mahesa."Silahkan pergi cari cincinmu itu. Kau tidak akan pernah menemukannya bahkan walau nyawamu ikut tenggelam di sana. Apa seperti itu yang kamu inginkan?!" teriak Mahesa."Kau hanya kehilangan cincinnya, bukan kenangannya!" ujar Mahesa lagi.Anggita menghela napas panjang. Dia mengepalkan kedua tangannya erat, kemudian membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Mahesa. Tajam iris berwarna hitam itu menatap wajah laki-laki yang tidak ia kenali tapi malah ikut campur urusannya.Anggita berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya dan ia pun sempat menabrakkan tubuhnya dengan bahu Mahesa cukup keras. Dia pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Tak menghiraukan teriakan Mahesa yang terus menuntut ingin mendengar ucapan terima kasih darinya."Dasar wanita aneh! Ditolong malah marah-marah."Radeya termenung sendirian di dalam ruang belajarnya. Kepalanya berdenyut seperti mau pecah akibat terlalu banyak beban pikiran yang sedang ia alami. Dia menghela napas panjang berkali-kali dan memijit pangkal hidungnya.Sekelebat bayangan tentang Devan berdatangan memenuhi otaknya. Kedua tangan laki-laki paruh baya itu mengepal erat kala mengingat semuanya.Hari itu, Devan datang menemuinya untuk meminta restu akan menikahi Anggi, tetapi dia sama sekali tidak pernah mengizinkan putranya itu menikahi seorang wanita yatim piatu dan tidak jelas asal usul keluarganya.Devan tetap bersikeras menikahi Anggita dengan ataupun tanpa restu darinya. Dan pernikahan terlarang itu pun benar-benar dilakukan. Dia merasa sangat marah kepada putra kesayangannya itu."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau tetap menikah dengannya meski aku tidak memberikan restu?!" teriak Radeya di acara pernikahan Devan.Saat itu Devan sudah resmi menjadikan Anggita sebagai istrinya. Rad
Sebulan berlalu dengan lancar dan baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu, semua direksi di perusahaan Radeya mulai memercayai kinerja Anggita. Wanita itu mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia juga berhasil menangani proyek barunya."Sisil, tolong kamu periksa ulang laporan di dokumen ini. Saya rasa ada kekeliruan di sana."Anggita memerintahkan asisten pribadinya untuk memeriksa kembali dokumen yang hendak ia tandatangani.Wanita yang usianya tak jauh dari Anggita itu sedikit mengernyitkan dahinya. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk patuh."Baik, Nona. Maaf saya masih keliru walau sudah memeriksanya kembali sebelum menyerahkan dokumen ini kepada Nona," ujarnya.Sisil meraih dokumen berwarna biru itu dari tangan Anggita. Dia membukanya dan membaca ulang. Maneliti di bagian mana kesalahan yang ia lakukan.Anggita beranjak berdiri. Dia berjalan memutari meja, mendekati Sisil. Kemudian Anggita mulai menjelaskan bagian-bagian yang menurutn
Anggita tertunduk lemas ketika ia menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana di perusahaan Radeya yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Wanita berambut kecokelatan itu berjalan diapit oleh dua petugas kepolisian hendak dimasukan ke dalam sel tahanan."Dasar wanita rubah! Beraninya kau berniat mencuri uang dari kami. Sedari awal aku memang sudah menaruh curiga, dan ternyata memang benar kau itu seorang wanita matre dan tidak tahu malu!"Aluna yang sedari tadi sudah menunggu untuk bertemu Anggita langsung mencercanya dengan hinaan. Ia semakin membenarkan prasangka yang selama ini tertanam di hatinya.Sendu iris mata berwarna hazel itu menatap wajah Aluna sekilas. Lalu dia menundukan pandangannya. Dia tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya akan musibah yang menimpa dirinya.Petugas langsung membawa Anggita menuju ke ruang tahanan. Mereka tak memedulikan Aluna yang terus berteriak melontarkan kata-kata kasar dan
"Diam lah! Kenapa kau seperti anak kecil?! Sedari tadi kau tak berhenti menangis. Suaramu itu sungguh berisik sekali!"Anggita yang sedang terisak sendirian di pojok ruangan berukuran sempit itu mendongak melihat wajah teman barunya sekilas. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya, bertopang pada kedua lututnya yang ditekuk.Dia tak menghiraukan perkataan wanita yang perkiraan seusia dengannya. Anggita melanjutkan tangisnya, melepaskan rasa sesak dan sakit atas penderitaan yang dialaminya.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ya, seperti itulah posisi yang sedang Anggita jalani. Sudah sakit atas kehilangan sang suami secara tiba-tiba. Kini ia juga harus mendekam di dalam jeruji besi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Ingin marah, ingin melampiaskan segenap perasaan sesak dan sakit dalam dada. Tapi ia tak memiliki cukup keberanian untuk melawan. Dia bukanlah siapa-siapa untuk bisa melawan seorang
"Bia, sayang, ayok mandi dulu. Sebentar lagi akan terlambat masuk sekolah."Mahesa memasuki kamar putri kecilnya. Hari ini adalah hari pertama Sabiya masuk sekolah taman kanak-kanak. Gadis kecil itu harus segera bersiap agar tidak kesiangan di hari pertamanya.Begitu Mahesa masuk, gadis itu sudah siap dengan handuknya akan masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki berkulit putih itu menyunggingkan senyum terbaik menyapa putri kecil kesayangannya."Ayok buka bajumu. Papa akan membantumu mandi dan bersiap," ujar Mahesa sembari berjalan mendekati Sabiya.Gadis kecil itu memundurkan langkah menjaga jarak dengan papanya. "Stop, Pa!" katanya sambil mengangkat satu tangannya meminta agar Mahesa berhenti.Duda tampan beranak satu itu mengernyitkan kedua alisnya merasa heran dengan sikap putrinya. "Kenapa?""Mulai hari ini, aku akan melakukan semuanya sendiri. Aku ini sud
Mahesa menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. Dia melakukannya hingga tiga kali berturut-turut. Pandangannya terpaku pada pintu gerbang di hadapannya.Dia ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tugas yang sudah dipercayakan padanya tidak bisa ia tolak. Mahesa menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk tentang keadaan di dalam sana."Semangat, Mahesa! Kau hanya menjadi instruktur selama tiga bulan saja. Ini tidak seburuk seperti yang ada dalam pikiranmu. Semua pasti baik-baik saja. Ya, semoga!"Laki-laki berambut hitam kecokelatan itu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulutnya. Setelah berhasil mengumpulkan semangat dan keberanian, Mahesa membuka gerbang dan mulai memasuki lapas para tahanan.Mahesa menemui
Setelah memantapkan diri, Mahesa memutar kelop pintu dan membukanya perlahan. Baru saja dua langkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu, dia dikejutkan dengan tumpahan tepung tepat di kepalanya. Wajah dan pakaian yang ia kenakan di penuhi butiran berwarna putih.Hening selama beberapa detik. Mahesa mengepalkan kedua tangan dan mengeraskan rahangnya. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke sekeliling ruangan. Dan menit berikutnya penghuni ruangan itu tergelak menertawakan penampilannya saat ini."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja," ucap Anggita dengan penuh penyesalan.Dia menjadi salah tingkah antara ingin membantu laki-laki di hadapannya untuk membersihkan tepung dari tubuhnya atau kembali ke tempat duduk mengabaikan laki-laki itu.Mahesa menggeram kesal. Dia membersihkan tepung dari wajah dan menghalangi pandangannya. Hingga iris mata tajamnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang bertanggungjawab atas semua yang te
"Apa kau mengenal Pak Instruktur? Dari cara dia melihatmu, sepertinya kalian saling mengenal. Kau hebat sekali bisa mengenal lelaki tampan seperti dia," ujar Nelda kepada Anggita.Saat ini wanita itu sangat tertarik untuk mencari tahu hubungan antara Anggita dengan Mahesa yang menjadi pengajarnya. Tetapi sayang, Anggita menyangkal telah mengenal lelaki itu sebelumnya. Ya, walau dia pernah tidak sengaja bertemu, tetapi Anggita benar-benar tidak mengenal Mahesa. Lagi pula pertemuan mereka tidak meninggalkan kesan yang baik."Aku tidak mengenalnya," jawabnya jujur. "Memang kami pernah bertemu. Dia yang sudah membuat cincin pernikahanku tenggelam bersama ombak."Mimik wajah Anggita berubah masam saat mengingat kejadian hari itu. Mahesa tiba-tiba muncul dan menariknya saat ia hendak mengambil cincinnya yang terjatuh hingga akhirnya dia kehilangan benda berharga itu."Dia melakukannya? Kenapa begitu?" Neld
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu