Radeya termenung sendirian di dalam ruang belajarnya. Kepalanya berdenyut seperti mau pecah akibat terlalu banyak beban pikiran yang sedang ia alami. Dia menghela napas panjang berkali-kali dan memijit pangkal hidungnya.
Sekelebat bayangan tentang Devan berdatangan memenuhi otaknya. Kedua tangan laki-laki paruh baya itu mengepal erat kala mengingat semuanya.
Hari itu, Devan datang menemuinya untuk meminta restu akan menikahi Anggi, tetapi dia sama sekali tidak pernah mengizinkan putranya itu menikahi seorang wanita yatim piatu dan tidak jelas asal usul keluarganya.
Devan tetap bersikeras menikahi Anggita dengan ataupun tanpa restu darinya. Dan pernikahan terlarang itu pun benar-benar dilakukan. Dia merasa sangat marah kepada putra kesayangannya itu.
"Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau tetap menikah dengannya meski aku tidak memberikan restu?!" teriak Radeya di acara pernikahan Devan.
Saat itu Devan sudah resmi menjadikan Anggita sebagai istrinya. Radeya menatap geram kepada Devan tak peduli walau harus dilihat oleh penghulu yang sudah menikahkan mereka.
"Aku sudah katakan aku mencintainya dan hanya akan menikah dengannya. Aku sudah meminta izin dari Papa sebelumnya, aku akan tetap menikahi Anggi dengan ataupun tanpa restu dari Papa. Sudah cukup selama ini aku selalu menuruti permintaan Papa, tapi tidak dengan pilihan pendamping hidupku. Aku sudah dewasa dan aku tahu apa saja yang terbaik untukku," sahut Devan kepada papanya.
Radeya mengepalkan kedua tangannya, dia benar-benar geram atas tindakan yang dilakukan oleh putra kesayangannya. Mereka terlibat adu mulut dan sama-sama emosi kala itu hingga Radeya pergi meninggalkan Devan dan Anggi begitu saja dalam keadaan marah.
Radeya menghela napas panjang saat mengingat kejadian itu. Laki-laki paruh baya itu masih merasakan sesak sekaligus menyesal. Lalu ingatan yang lainnya kembali melintas dalam benaknya.
Devan datang menemuinya hanya untuk mengatakan dia akan pergi dari rumah meninggalkan semua termasuk jabatannya. Lagi-lagi Radeya geram dengan keputusan putranya itu.
"Apa kamu datang untuk menceritakan kebahagiaan pernikahanmu, sekarang? Aku sangat tidak tertarik mendengarnya," ujar Radeya dingin dan datar.
"Aku datang untuk memberikan ini. Aku akan ke luar dari rumah dan juga perusahaan. Aku sudah memiliki rumah sendiri dan juga akan membuka usaha sendiri mulai sekarang," kata Devan dengan penuh keyakinan. Dia memberikan selembar kertas berisi surat perjanjian yang dikirimkan papanya kepada Anggita.
"Aku tahu Papa sudah mengirim pengacara menemui istriku dan memintanya untuk menandatangani surat perjanjian menikah. Aku tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Dia istriku secara agama dan negara. Suka tidak suka, mau mengakui atau tidak, dia tetap akan menjadi istriku di mata dunia!" tegas Devan lagi.
Radeya mengusap dadanya yang terasa sesak. Kecewa, marah, sekaligus menyesal bercampur menjadi satu. Dia sudah memutuskan untuk menyingkirkan Anggita dari rumahnya, setelah Devan meninggal. Tetapi lagi-lagi, putranya itu membuat kejutan yang berhasil mengejutkannya.
Diam-diam Devan menemui pengacara dan menyerahkan semua miliknya kepada Anggita bila suatu saat terjadi sesuatu kepadanya. Dan sekarang ia terpaksa harus menyerahkan jabatan CEO kepada Anggita sesuai surat wasiat yang ditulis oleh putranya itu.
"Aaaaarghhh!"
Radeya membanting barang-barang yang ada di dekatnya sehingga berserakan di atas lantai. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja. Deru napas laki-laki paruh baya itu naik turun tidak beraturan.
***
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Kau pasti bahagia karena sudah berhasil mendapatkan yang kau inginkan," ujar Aluna memgejek.
Wanita itu sengaja mendatangi ruangan kerja Anggita hanya untuk mengatakan semua itu. Dia masih sangat tidak terima dengan keputusan yang diambil oleh papanya. Seharusnya dia yang mendapatkan posisi CEO bukannya Anggi yang bukan siapa-siapa.
Anggita yang saat itu sedang berbicara dengan sekretarisnya langsung menatap Aluna dengan dahi yang berkerut. Kelakuan adik iparnya itu sangat tidak sopan, masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu dan berucap yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang putri pemilik perusahaan terbesar ini.
Anggita melirik sekretarisnya yang sedang melongo, terkejut atas sikap Aluna. Dia mengisyaratkan agar wanita itu ke luar dari ruangannya karena tidak bagus jika dia mendengarkan pembicaraannya dengan Aluna.
"Aluna, apa kamu tidak bisa mengetuk pintunya dulu sebelum masuk? Dan tolong jaga bicaramu itu," ujar Anggi tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada Aluna.
Wanita itu tersenyum sinis. Menatap Anggita dengan tatapan mengejek.
"Lihatlah! Kekuatan uang sudah bekerja. Sekarang kau sudah berani mengajariku," ucap Aluna sinis.
Anggita menghela napas panjang. Memang dia selalu serba salah di mata keluarga Devan.
"Dengar ini baik-baik. Jangan bangga dulu karana kau telah berada di posisi ini, karena sebentar lagi kau akan segera turun dari jabatanmu dan akan ditendang jauh-jauh!" ancam Aluna dengan sorot mata berapi-api.
Wanita berambut sebahu itu langsung pergi begitu saja setelah menyampaikan ancamannya kepada Anggita.
Selepas Aluna pergi, Anggita langsung terduduk lemas di atas kursi miliknya. Dia menghela napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.
Dia tidak yakin apa dia akan bisa melewati semuanya sendirian tanpa adanya Devan seperti biasa yang selalu memberinya semangat.
Namun, apapun yang terjadi, dia akan berusaha bekerja sebaik mungkin demi menjaga nama baik suaminya.
"Kau pasti sangat sedih dan terkejut atas kepergian kakakmu."
Aluna mendesahkan napas kasar. Setelah dari kantor, dia langsung bertemu dengan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya selain kakak kesayangannya, Devan.
"Hm, aku sangat sedih. Semua ini terjadi begitu mendadak, apa lagi kak Devan meninggal dengan cara seperti itu," ujar Aluna dengan nada lirih.
"Tapi rasa sedih itu sedikit terobati saat kamu ada di dekatku, Sa. Aku selalu merasa aman dan nyaman saat kamu menemaniku," sambungnya lagi.
Aluna menatap Mahesa yang bergeming mendengar pengakuan yang diucapkannya. Dia menyenderkan kepalanya pada pundak laki-laki itu.
Mahesa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ragu, Mahesa mengangkat sebelah tangannya untuk menepuk pelan punggung wanita itu.
"Aku yakin, kakakmu sedang melihatmu dari atas langit. Jadi, jangan terlalu bersedih lagi karena dia pasti tidak akan menyukai melihat adik kesayangannya menangis," ujar Mahesa lirih. Berusaha menenangkan perasaan Aluna yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Aluna menjauhkan kepalanya dari bahu Mahesa. Dia menatap lamat wajah laki-laki berkulit putih itu cukup lama. Iris matanya sayu dan berkaca-kaca.
Aluna menghela napas panjang. "Aku sedih tapi aku juga marah sama Kak Devan."
Mahesa mengernyitkan kedua alisnya. "Kenapa bisa begitu?" tanyanya heran.
"Ya, aku kesal karena dia telah menikahi seorang wanita kampung dan miskin, juga tidak tahu diri. Dia melakukan apapun untuk wanita itu, dan sekarang dia berhasil menggantikan tempat Kak Devan di kantor," gerutunya kesal.
"Yang tidak baik menurutmu belum tentu seperti itu di mata kakakmu. Jangan menilai seseorang dari satu sisi saja, cobalah untuk melihat dari sisi lainnya juga. Maka kamu akan mengerti mengapa kakakmu memilihnya," jelas Mahesa.
Dia tidak mengerti dengan situasi kejadian yang sebenarnya terjadi di keluarga Aluna. Tapi yang jelas, dia ingin selalu berpikir positif. Tak ingin membebani pikirannya dengan hal-hal yang belum tentu kebenarannya seperti apa.
Aluna kembali menatap Mahesa dengan rasa kagum. Dia mengembangkan senyuman. "Itulah mengapa aku selalu menyukaimu. Dan akan selalu begitu selamanya. Kamu selalu bijak dalam menilai hal apapun," aku Aluna.
Mahesa bergeming. Mendengar pengakuan perasaan Aluna terhadapnya membuat ia sulit menelan salivanya sendiri.
"Tidak apa-apa kau tidak menerimaku sekarang. Aku akan selalu menunggu sampai kamu siap dan mau menerimaku menjadi wanita yang kau cintai," ucap Aluna penuh harap.
Sebulan berlalu dengan lancar dan baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu, semua direksi di perusahaan Radeya mulai memercayai kinerja Anggita. Wanita itu mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia juga berhasil menangani proyek barunya."Sisil, tolong kamu periksa ulang laporan di dokumen ini. Saya rasa ada kekeliruan di sana."Anggita memerintahkan asisten pribadinya untuk memeriksa kembali dokumen yang hendak ia tandatangani.Wanita yang usianya tak jauh dari Anggita itu sedikit mengernyitkan dahinya. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk patuh."Baik, Nona. Maaf saya masih keliru walau sudah memeriksanya kembali sebelum menyerahkan dokumen ini kepada Nona," ujarnya.Sisil meraih dokumen berwarna biru itu dari tangan Anggita. Dia membukanya dan membaca ulang. Maneliti di bagian mana kesalahan yang ia lakukan.Anggita beranjak berdiri. Dia berjalan memutari meja, mendekati Sisil. Kemudian Anggita mulai menjelaskan bagian-bagian yang menurutn
Anggita tertunduk lemas ketika ia menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana di perusahaan Radeya yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Wanita berambut kecokelatan itu berjalan diapit oleh dua petugas kepolisian hendak dimasukan ke dalam sel tahanan."Dasar wanita rubah! Beraninya kau berniat mencuri uang dari kami. Sedari awal aku memang sudah menaruh curiga, dan ternyata memang benar kau itu seorang wanita matre dan tidak tahu malu!"Aluna yang sedari tadi sudah menunggu untuk bertemu Anggita langsung mencercanya dengan hinaan. Ia semakin membenarkan prasangka yang selama ini tertanam di hatinya.Sendu iris mata berwarna hazel itu menatap wajah Aluna sekilas. Lalu dia menundukan pandangannya. Dia tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya akan musibah yang menimpa dirinya.Petugas langsung membawa Anggita menuju ke ruang tahanan. Mereka tak memedulikan Aluna yang terus berteriak melontarkan kata-kata kasar dan
"Diam lah! Kenapa kau seperti anak kecil?! Sedari tadi kau tak berhenti menangis. Suaramu itu sungguh berisik sekali!"Anggita yang sedang terisak sendirian di pojok ruangan berukuran sempit itu mendongak melihat wajah teman barunya sekilas. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya, bertopang pada kedua lututnya yang ditekuk.Dia tak menghiraukan perkataan wanita yang perkiraan seusia dengannya. Anggita melanjutkan tangisnya, melepaskan rasa sesak dan sakit atas penderitaan yang dialaminya.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ya, seperti itulah posisi yang sedang Anggita jalani. Sudah sakit atas kehilangan sang suami secara tiba-tiba. Kini ia juga harus mendekam di dalam jeruji besi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Ingin marah, ingin melampiaskan segenap perasaan sesak dan sakit dalam dada. Tapi ia tak memiliki cukup keberanian untuk melawan. Dia bukanlah siapa-siapa untuk bisa melawan seorang
"Bia, sayang, ayok mandi dulu. Sebentar lagi akan terlambat masuk sekolah."Mahesa memasuki kamar putri kecilnya. Hari ini adalah hari pertama Sabiya masuk sekolah taman kanak-kanak. Gadis kecil itu harus segera bersiap agar tidak kesiangan di hari pertamanya.Begitu Mahesa masuk, gadis itu sudah siap dengan handuknya akan masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki berkulit putih itu menyunggingkan senyum terbaik menyapa putri kecil kesayangannya."Ayok buka bajumu. Papa akan membantumu mandi dan bersiap," ujar Mahesa sembari berjalan mendekati Sabiya.Gadis kecil itu memundurkan langkah menjaga jarak dengan papanya. "Stop, Pa!" katanya sambil mengangkat satu tangannya meminta agar Mahesa berhenti.Duda tampan beranak satu itu mengernyitkan kedua alisnya merasa heran dengan sikap putrinya. "Kenapa?""Mulai hari ini, aku akan melakukan semuanya sendiri. Aku ini sud
Mahesa menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. Dia melakukannya hingga tiga kali berturut-turut. Pandangannya terpaku pada pintu gerbang di hadapannya.Dia ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tugas yang sudah dipercayakan padanya tidak bisa ia tolak. Mahesa menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk tentang keadaan di dalam sana."Semangat, Mahesa! Kau hanya menjadi instruktur selama tiga bulan saja. Ini tidak seburuk seperti yang ada dalam pikiranmu. Semua pasti baik-baik saja. Ya, semoga!"Laki-laki berambut hitam kecokelatan itu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulutnya. Setelah berhasil mengumpulkan semangat dan keberanian, Mahesa membuka gerbang dan mulai memasuki lapas para tahanan.Mahesa menemui
Setelah memantapkan diri, Mahesa memutar kelop pintu dan membukanya perlahan. Baru saja dua langkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu, dia dikejutkan dengan tumpahan tepung tepat di kepalanya. Wajah dan pakaian yang ia kenakan di penuhi butiran berwarna putih.Hening selama beberapa detik. Mahesa mengepalkan kedua tangan dan mengeraskan rahangnya. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke sekeliling ruangan. Dan menit berikutnya penghuni ruangan itu tergelak menertawakan penampilannya saat ini."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja," ucap Anggita dengan penuh penyesalan.Dia menjadi salah tingkah antara ingin membantu laki-laki di hadapannya untuk membersihkan tepung dari tubuhnya atau kembali ke tempat duduk mengabaikan laki-laki itu.Mahesa menggeram kesal. Dia membersihkan tepung dari wajah dan menghalangi pandangannya. Hingga iris mata tajamnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang bertanggungjawab atas semua yang te
"Apa kau mengenal Pak Instruktur? Dari cara dia melihatmu, sepertinya kalian saling mengenal. Kau hebat sekali bisa mengenal lelaki tampan seperti dia," ujar Nelda kepada Anggita.Saat ini wanita itu sangat tertarik untuk mencari tahu hubungan antara Anggita dengan Mahesa yang menjadi pengajarnya. Tetapi sayang, Anggita menyangkal telah mengenal lelaki itu sebelumnya. Ya, walau dia pernah tidak sengaja bertemu, tetapi Anggita benar-benar tidak mengenal Mahesa. Lagi pula pertemuan mereka tidak meninggalkan kesan yang baik."Aku tidak mengenalnya," jawabnya jujur. "Memang kami pernah bertemu. Dia yang sudah membuat cincin pernikahanku tenggelam bersama ombak."Mimik wajah Anggita berubah masam saat mengingat kejadian hari itu. Mahesa tiba-tiba muncul dan menariknya saat ia hendak mengambil cincinnya yang terjatuh hingga akhirnya dia kehilangan benda berharga itu."Dia melakukannya? Kenapa begitu?" Neld
Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, Mahesa langsung pergi ke kamar Sabiya. Dia tidak boleh membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Malam sudah larut dan gadis kecilnya itu harus segera tidur. Sabiya tidak akan bisa tidur jika ia tidak menemani dan membacakan sebuah dongeng."Pa, tadi pulang sekolah aku dijemput sama Tante Luna."Sebuah kerutan halus terlihat di dahi Mahesa. Dia sedikit merasa tertegun mendengar cerita Sabiya, Aluna datang untuk menjemput gadis kecil itu."Oh ya?" ucap Mahesa bersikap tenang.Gadis kecil itu mengangguk mengiakan. "Iya, Tante Aluna juga menemaniku mengerjakan PR," ucap Sabiya polos.Mahesa hanya tersenyum tipis sebagai respons atas cerita putri kecilnya itu. Dia mengusap puncak kepala Sabiya dengan lembut dan sayang."Tante Aluna baik, dia juga cantik. Menurut Papa, Tante Aluna seperti apa?" tanya Sabiya lagi.
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu