"Dia inget gue gak sih?"
Memikirkan sikap Barra sejak pertemuan pertama, nyatanya membuat Kalea bertanya-tanya. Sikap Barra membuatnya kembali ragu."Tapi, perasaan dia sama sekali gak menyinggung apa-apa deh. Seenggaknya, minimal nanyain kabar kek, atau apa. Lah, ini boro-boro. Lagaknya kayak boss beneran deh. Kesannya bukan lagi sombong, tapi ... kayak gak kenal deh," gumamnya lagi, mengerutkan dahi. Menepis keraguannya sendiri.Banyak hal yang dia lewatkan selama ini. Dia benar-benar lari dari kehidupan kelam di masa lalunya itu. Saking kencangnya dia lari, sampai kadang batu sandungan pun gak dia pedulikan. Lukanya akibat terjatuh, gak seberapa sakit dibandingkan dia memilih berhenti, yang akibatnya akan membuatnya menoleh.Tangannya bergerak di tengah otaknya yang masih melamun. Mengetik nama akun yang terlintas di otaknya. Tak butuh berapa detik, muncul akun seperti yang dia tujukan. Sayangnya, gak sesuai harapan."Ck. Update terak"Ah? Haha. Anda benar, pak Barra."Pria bernama Surya itu melirik Kalea. "Tapi, rasanya tidak masalah kalau mengajak kenalan sekretaris anda.""Kalau begitu lanjutkan saja perkenalan kalian. Kita batalkan kerjasamanya.""Eh? Jangan pak Barra! Maaf, saya hanya bercanda. Mari kita bahas baik-baik." Raut Surya yang semula penuh senyuman menggoda berubah serius. Dia tahu, kalimat calon partnernya itu mengandung maksud ketidaksukaan atas sikapnya. Daripada kerjasama malah gagal.Nyatanya bukan cuma Surya yang terkejut dengan ucapan Barra barusan, Kalea juga sama terkejutnya. Barra berbeda dengan pak Prayit yang terkesan hati-hati dan menjaga perasaan calon rekan kerjanya. Barra sama sekali tidak suka dengan basa basi. Tapi, apa itu gak bahaya? Apa gak terkesan frontal?Seperti takut dengan ancaman Barra, Surya berubah serius. Fokus membahas pekerjaan. Wajar saja sih, perusahaan pak Surya masih di bawah perusahaan Barra. Mau melawan tidak ada kuasa. Kale
"Aku gak serius sama Kalea, Ji. Kamu tahu itu kan? Aku sayang banget sama kamu. Jadi, tolong bersabar sebentar lagi ya? Please."Deg.Rasanya seperti sebuah pedang tajam menusuk ulu hati gadis itu. Meski dia tahu, kebenarannya memang seperti itu. Bukan dirinya yang berada di hati pemuda bernama Raka Elfriyando.Dan ... Demi melihat pemuda itu menggenggam hangat jemari gadis lain, gadis itu tersenyum getir."Bang Raka, mbak Jini, hai ... Aku datang terlambat ya? Hehe."Sontak kedua insan itu menoleh. Raut kaget sempat tertangkap indera penglihatan Kalea. Tapi hanya sementara. Karna dengan cepat raut itu berganti normal."Loh, kok sendiri, Kal. Barra mana?" tanya Raka."Gak tahu tuh. Kayak bang Raka gak tahu aja, senyebelin apa Barra. Haha."Elbarra adalah adik Raka. Seumuran Kalea Makanya anak itu nyebelin banget. Bukan karna jahil. Tapi, cuek dan ketusnya itu, yang bikin kesel melihatnya."Lah! Gimana Barra itu. Orang abang minta tolong buat jemput kamu sekalian. Malah biarin kamu dat
"Sial! Buku pr gue mana?" gerutu Kalea. Mengobrak abrik isi tasnya. Namun sayangnya, buku yang dia cari keberadaannya gak kunjung dia temuin. Pluk!Kalea menghentikan gerakannya. Mendapati buku bersampul coklat di hadapannya. Sementara itu, si pelaku dengan santai melenggang ke depan. Barra! Ngapain dia ngasihin buku pr nya ke dia? Sementara, konsekuensi dari gak bawa buku, jelas dapat hukuman. Cowok itu gil-a apa ya? Malah ngasihin buku pr-nya ke dia."Barra! Stt! Ini apaan?" Tapi cowok itu gak menggubris panggilannya yang serupa bisikan itu."Barra, lo gak bawa buku pr-mu?"Gil-a! Cowok itu memang gila. Sama sekali gak ada raut khawatir kalau dia bakal kena hukuman. Apalagi, pak Ratno terkenal dengan guru yang tanpa ampun. Galaknya super beuh pokoknya.Kalea menahan napas. Meremat buku pr Barra Apa harus, dia sejahat itu dengan mengakui kalau buku pr ini miliknya?"Kamu keluar. Lari kelilingi lapangan sepuluh kali."Tanpa protes atau apapun, dengan cueknya Barra melenggang keluar.
Tenang aja. Meski nasib Kalea kerap sial, tapi dia gak pernah ngeluh. Barra emang nyebelin. Tapi obatnya ada pada abangnya, alias Raka. Rasa kesal dan umpatan yang seharian menghiasi, luntur sudah kalau sudah bertemu Raka. Yah, anggap aja Barra adalah cobaan untuk penyatuan cintanya dengan Raka. Buktinya sekarang, dia sudah duduk manis, di ruang tengah keluarga tetangga. Mengobrol asyik dengan tante Anggi, juga si obat nyamuk Barra. Gak tahu apa fungsi makhluk itu. Ikut ngobrol enggak, tapi nongol aja."Berarti dua bulan lagi kalian lulus, dong.""Hehe. Iya, Tante. Seneng deh. Bentar lagi jadi mahasiswi. Hehe."Yah, semoga aja gak sekampus sama si kampret Barra lagi. Sumpah, dia bertekad gak akan sekampus, apalagi satu jurusan dengan Barra lagi. Sudah cukup tahun-tahun yang terlewati. Sampek sekarang tempat duduk aja depan belakang."Syukurlah. Lebih cepat lebih baik. Tante udah gak sabar punya mantu kamu.""Iih, tante bisa aja. Hehe."Mendapati ekspresi mual Barra, Kalea melotot. Ema
Andai ... Andai saja pengakuannya saat itu tidak terjadi. Apakah, nasibnya gak akan sesakit ini?Harusnya, dia pendam saja perasaannya. Seperti saat itu, saat dirinya belum punya keberanian bodoh itu. Saat dirinya masih malu-malu menunjukkan perasaannya. Saat hanya Barra yang tahu perasaannya. Jauh, sebelum insiden pengakuan nekatnya..."Raka jadi pulang, mbak Nggi?"Di ruang tengah, Kalea mendengar obrolan mamanya dengan mama Barra. Tadi dia diajak mamanya main ke rumah tetangga. Dia ikut-ikut aja. Tapi lebih suka rebahan di ruang tengah. Mainan ponsel."Katanya sih semester besok mau pulang. Tapi ya gak tahu, jadi apa enggak. Liburnya gak tentu. Waktu itu sih katanya lagi persiapan buat penelitian."Mendengar nama Raka disebut, Kalea senyam senyum. Ini salah satu alasan dia tetap bersabar meski punya tetangga menyebalkan semacam Barra. Kalea menyukai Raka, kakaknya Barra. Sayangnya Raka sedang kuliah ke luar kota. Dan ngekos disana. Raka hanya pulang saat liburan semester saja.Ah
Keseimbangan Kalea hilang. Tubuhnya oleng dan terjatuh menghantam lantai. Begitu pula mangkuk dan gelas yang dibawanya, terlempar entah kemana. Yang jelas, suara pecahannya renyah di telinga. Kalea meringis. Pantatnya menghantam keras lantai. "Astaga, Kalea!"Gita tergopoh menghampirinya. Membantunya berdiri."Mana yang sakit?" tanyanya perhatian. Memeriksa seragam Kalea, yang juga terciprat kuah sebelum melayang. Roknya juga kotor."Gue gak papa, Git," ringisnya pelan. Namun ada yang lebih penting dari itu. Netranya tertuju pada Barra. Pecahan mangkuk dan gelas itu berada di bawah Barra. Kalea menelan salivanya kasar. Seragam Barra kotor. Baju putihnya berganti warna kecoklatan akibat terkena kuah baksonya. "Barra, sory ...."Barra menatapnya dingin. Dengan gerakan cepat, dia menarik tangan Kalea. Menimbulkan bisik-bisik ricuh di kantin."Bar, tunggu. Gue urus mangkok gue dulu."Tapi Barra mengabaikan permintaannya. Justru cowok itu makin mempercepat langkahnya, membuat Kalea kesul
"Kalea." Kalea membalas uluran gadis itu."Salam kenal ya, semoga kita bisa jadi temen."Kalea tersenyum tipis. Dan sangat kebetulan, bel berbunyi."Gue ke kelas dulu.""Bareng aja, kelasnya juga cuma sebelahan."Kalea mengangguk. Tapi dia gak nyangka aja, Kim menggandeng tangannya. Mengajaknya jalan duluan. Kalea menoleh , Gita aja kaget sampai melongo di tempat. "Eh, Kim, temen gue ketinggalan.""Yang mana? Oh, itu ... Aku kira dia bukan temanmu," ujar Kim santai. Menghentikan langkahnya tanpa melepas tangan Kalea.Gita menyusul kemudian. Ketiganya berjalan menuju kelas..."Kayaknya Kim deketin lo, deh, Kal," bisik Gita begitu mereka sampai di kelas. Kim sendiri sudah masuk ke kelasnya, di samping."Ngapain deketin gue? Gue juga bukan orang penting," Kalea mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing."Ya mungkin aja karna lo deket sama Barra. Buktinya dia deketin Barra duluan. Cuma gara-gara kejadian tadi, dia jadi mikirnya lo deket sama Barra.""Su'uzhon mulu. Siapa tahu emang dia
"Lo apaan sih, Bar. Ngapain ngaku-ngaku kalau kita pacaran? Ish!" omel Kalea sepanjang langkah mereka ke parkiran.Barra mengabaikannya. Membiarkan gadis itu mengomel di belakangnya. Langkah lebarnya membuat Kalea kesulitan mengejar. "Bentar ..." Kalea memegang dadanya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Padahal cuma ngejar Barra, dia sampek capek sendiri. Ditambah tenaganya tersita gara-gara ngomel."Udah? Buruan naik," tukas Barra, yang sedari tadi sudah nangkring di atas motor. Berlipat tangan di depan dada sembari mengamati gadis yang kelelahan akibat tingkahnya sendiri itu."Ish! Gak sabaran banget." Dengan sedikit berjinjit dan menekan bahu Barra, kakinya menginjakkan tumpuan, melangkah duduk di boncengan. Emang dasar Barra. Motornya tinggi. Padahal enak pake scoopy, gak perlu ngoyo, boncengannya juga gak tinggi. Untung saja kali kaki ini lebih bebas melangkah, karna dia memakai celana."Gue mau mampir ke bengkel dulu," ujar Barra, sedikit menoleh."Hah? Ngapain?""Servis."Ka