"Bodoh."
Deg.Setelah sekian lama tidak mendengar desisan kasar itu, kali ini telinganya kembali mendengar. Meski lirih.Eh, tapi apakah telinganya benar mendengar desisan itu? Atau hanya sekedar imajinasi alam bawah sadar? Karna nyatanya bibir pria yang menangkapnya itu terkatup rapat dengan ekspresi datar tanpa reaksi."Pak Barra"Demi mendengar panggilan pak Prayit pada pria itu, seketika menyadarkan Kalea dari lamunanya. Gadis itu tergesa melepaskan diri, tapi sialnya, justru membuatnya jatuh terjerembab di lantai."Aa ... Awh!" pekik Kalea, meringis kesakitan. Iya sih, tadi pantatnya sempat gagal landing ke lantai. Tapi sekarang justru dia sendiri yang mewujudkannya. Sukses menghantam lantai, yang menimbulkan nyeri di pantat.Sementara pria yang menangkapnya tadi, melenggang santai melangkahi kakinya yang membujur. Tanpa dosa. Kalea menatapnya penuh rasa kesal. Ah! Sialan! Kenapa pula dia malah melamun tadi."Aku kirMeski mulut menggerutu penuh hujatan pada sang boss, tetap saja gadis itu melakukannya. Lagian, mana bisa dia nolak. Yang ada malah dirinya dipecat nanti. Yang sama artinya, dirinya juga yang rugi. Terpaksa. Dirinya masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi dirinya.Kalea mengusap dahinya yang dibanjiri peluh. Basah."Huft ... Akhirnya selesai juga," tukasnya, mendesah lega. Melirik jam tangannya, ternyata masih ada waktu sebelum jam makan siang."Ternyata gue cekatan juga. Hebat. Bisa selesai cepet. Haha," pujinya, membanggakan diri."Haahh ... Capek juga ternyata. Gerah juga. Emm ... Enaknya ngadem dulu aja, ah. Lagian Barra sialan itu lagi di luar juga. Palingan juga dia datengnya molor. Daripada gue langsung keluar, ntar malah ketemu dia, dikasih kerjaan tambahan lagi. Cih! Ogah banget," ujarnya setengah menggerutu.Dan benar, gadis itu mewujudkan omongannya. Dengan santai tanpa dosa merebahkan diri di sofa. Menikmati hembusan AC ya
"Kusut amat muka. Udah ketemu sama pak direktur baru kan?" Kalea mendengkus keras. Melempar badannya ke salah satu sofa kontrakan mereka."Gimana, Kal? Ganteng, kan? Gue bilang juga apa. Aaaish! Enak jadi elo. Bisa tiap hari ketemu. Bebas mandangin wajah tampannya. Aaaa ... Pengen deh."Kalea mendesis sinis. "Ganteng apanya? Gitu doang. Biasa aja.""Eee ... Kayaknya mata lo perlu operasi geh, Kal."Kalea merotasikan bola matanya, malas."Pak Barra tuh, gimana ya ... Eeum ... Perfect banget deh pokoknya.""Serah deh. Dia emang si paling sempurna," ketus Kalea, seraya beranjak. "Gue mandi duluan.""Yee ... Malah pergi," gerutu Ella. "Jangan lama-lama," tambahnya, berteriak. Tapi Kalea sudah menghilang di balik tembok."Coba gue aja yang jadi sekretaris pak Barra. Beruntung banget gue. Kalea emang aneh. Dikasih anugerah malam asem banget tuh muka." Gadis itu menyusul masuk ke dalam, setelah sebelumnya menutup pintu terlebih dahu
Tok! Tok!"Hmm. Masuk."Dengan kertas di tangan kirinya, Kalea mendorong pintu. Yang langsung di suguhi tatapan tajam Barra."Untuk kali ini kamu beruntung. Kurang lima menit. Lain kali saya tidak akan mentolerir keterlambatanmu," tegas pria tersebut. Dan tanpa menunggu Kalea sempat menarik napas, Barra sudah berjalan melewati gadis itu. Dan pastinya mau tak mau Kalea mengikutinya. Berkas yang dia bawa adalah bahan untuk rapat. Dia belum sempat mendapat jadwal resmi pria itu. Karna memang dia baru tahu penugasan barunya kemarin. Itupun dia langsung disuruh bersih-bersih. Matanya berat sekali, ya Tuhaaan. Kalau boleh, ingin rasanya dia rebahan sebentar. Suasana rapat yang terlalu tegang dan serius itu membuat kantuknya menjadi. Entah berapa kali matanya tiba-tiba memejam tanpa sadar. Sampai notebooknya penuh coretan. Gadis itu menggeleng kuat. Tidak. Dia gak boleh tertidur. Bagaimanapun juga, tugasnya mencatat apa saja yang penting. Bisa kena semp
"Dia inget gue gak sih?"Memikirkan sikap Barra sejak pertemuan pertama, nyatanya membuat Kalea bertanya-tanya. Sikap Barra membuatnya kembali ragu. "Tapi, perasaan dia sama sekali gak menyinggung apa-apa deh. Seenggaknya, minimal nanyain kabar kek, atau apa. Lah, ini boro-boro. Lagaknya kayak boss beneran deh. Kesannya bukan lagi sombong, tapi ... kayak gak kenal deh," gumamnya lagi, mengerutkan dahi. Menepis keraguannya sendiri.Banyak hal yang dia lewatkan selama ini. Dia benar-benar lari dari kehidupan kelam di masa lalunya itu. Saking kencangnya dia lari, sampai kadang batu sandungan pun gak dia pedulikan. Lukanya akibat terjatuh, gak seberapa sakit dibandingkan dia memilih berhenti, yang akibatnya akan membuatnya menoleh.Tangannya bergerak di tengah otaknya yang masih melamun. Mengetik nama akun yang terlintas di otaknya. Tak butuh berapa detik, muncul akun seperti yang dia tujukan. Sayangnya, gak sesuai harapan."Ck. Update terak
"Ah? Haha. Anda benar, pak Barra."Pria bernama Surya itu melirik Kalea. "Tapi, rasanya tidak masalah kalau mengajak kenalan sekretaris anda.""Kalau begitu lanjutkan saja perkenalan kalian. Kita batalkan kerjasamanya.""Eh? Jangan pak Barra! Maaf, saya hanya bercanda. Mari kita bahas baik-baik." Raut Surya yang semula penuh senyuman menggoda berubah serius. Dia tahu, kalimat calon partnernya itu mengandung maksud ketidaksukaan atas sikapnya. Daripada kerjasama malah gagal.Nyatanya bukan cuma Surya yang terkejut dengan ucapan Barra barusan, Kalea juga sama terkejutnya. Barra berbeda dengan pak Prayit yang terkesan hati-hati dan menjaga perasaan calon rekan kerjanya. Barra sama sekali tidak suka dengan basa basi. Tapi, apa itu gak bahaya? Apa gak terkesan frontal?Seperti takut dengan ancaman Barra, Surya berubah serius. Fokus membahas pekerjaan. Wajar saja sih, perusahaan pak Surya masih di bawah perusahaan Barra. Mau melawan tidak ada kuasa. Kale
"Aku gak serius sama Kalea, Ji. Kamu tahu itu kan? Aku sayang banget sama kamu. Jadi, tolong bersabar sebentar lagi ya? Please."Deg.Rasanya seperti sebuah pedang tajam menusuk ulu hati gadis itu. Meski dia tahu, kebenarannya memang seperti itu. Bukan dirinya yang berada di hati pemuda bernama Raka Elfriyando.Dan ... Demi melihat pemuda itu menggenggam hangat jemari gadis lain, gadis itu tersenyum getir."Bang Raka, mbak Jini, hai ... Aku datang terlambat ya? Hehe."Sontak kedua insan itu menoleh. Raut kaget sempat tertangkap indera penglihatan Kalea. Tapi hanya sementara. Karna dengan cepat raut itu berganti normal."Loh, kok sendiri, Kal. Barra mana?" tanya Raka."Gak tahu tuh. Kayak bang Raka gak tahu aja, senyebelin apa Barra. Haha."Elbarra adalah adik Raka. Seumuran Kalea Makanya anak itu nyebelin banget. Bukan karna jahil. Tapi, cuek dan ketusnya itu, yang bikin kesel melihatnya."Lah! Gimana Barra itu. Orang abang minta tolong buat jemput kamu sekalian. Malah biarin kamu dat
"Sial! Buku pr gue mana?" gerutu Kalea. Mengobrak abrik isi tasnya. Namun sayangnya, buku yang dia cari keberadaannya gak kunjung dia temuin. Pluk!Kalea menghentikan gerakannya. Mendapati buku bersampul coklat di hadapannya. Sementara itu, si pelaku dengan santai melenggang ke depan. Barra! Ngapain dia ngasihin buku pr nya ke dia? Sementara, konsekuensi dari gak bawa buku, jelas dapat hukuman. Cowok itu gil-a apa ya? Malah ngasihin buku pr-nya ke dia."Barra! Stt! Ini apaan?" Tapi cowok itu gak menggubris panggilannya yang serupa bisikan itu."Barra, lo gak bawa buku pr-mu?"Gil-a! Cowok itu memang gila. Sama sekali gak ada raut khawatir kalau dia bakal kena hukuman. Apalagi, pak Ratno terkenal dengan guru yang tanpa ampun. Galaknya super beuh pokoknya.Kalea menahan napas. Meremat buku pr Barra Apa harus, dia sejahat itu dengan mengakui kalau buku pr ini miliknya?"Kamu keluar. Lari kelilingi lapangan sepuluh kali."Tanpa protes atau apapun, dengan cueknya Barra melenggang keluar.
Tenang aja. Meski nasib Kalea kerap sial, tapi dia gak pernah ngeluh. Barra emang nyebelin. Tapi obatnya ada pada abangnya, alias Raka. Rasa kesal dan umpatan yang seharian menghiasi, luntur sudah kalau sudah bertemu Raka. Yah, anggap aja Barra adalah cobaan untuk penyatuan cintanya dengan Raka. Buktinya sekarang, dia sudah duduk manis, di ruang tengah keluarga tetangga. Mengobrol asyik dengan tante Anggi, juga si obat nyamuk Barra. Gak tahu apa fungsi makhluk itu. Ikut ngobrol enggak, tapi nongol aja."Berarti dua bulan lagi kalian lulus, dong.""Hehe. Iya, Tante. Seneng deh. Bentar lagi jadi mahasiswi. Hehe."Yah, semoga aja gak sekampus sama si kampret Barra lagi. Sumpah, dia bertekad gak akan sekampus, apalagi satu jurusan dengan Barra lagi. Sudah cukup tahun-tahun yang terlewati. Sampek sekarang tempat duduk aja depan belakang."Syukurlah. Lebih cepat lebih baik. Tante udah gak sabar punya mantu kamu.""Iih, tante bisa aja. Hehe."Mendapati ekspresi mual Barra, Kalea melotot. Ema