Uhhh kok sumpah lagi ya masih nyesek kan, jangann lupa jejak yess
Sussana duduk di depan ruang sidang kelompoknya. Terpisah kelompok dengan Reni dan Irgi, tetapi kedua sahabatnya itu sudah menemui Sussana tadi. Mencoba fokus tapi kegundahan hati Sussana membuatnya pecah konsentrasi. Beruntung ia kebagian presentasi dengan nomor urut ketiga, masih ada waktu untuk menenangkan pikirannya sejenak. Menitipkan ransel berisi dokumen dan laptop pada rekannya yang sedang menunggu giliran sidang, Sussana berjalan menyusuri koridor kampus. Ia pun menyadari bahwa kampus tempatnya berada saat ini masih milik keluarga Mahesa. Matanya kembali berembun dengan air mata yang siap menganak sungai. Bergegas menuju toilet, duduk pada closet yang tertutup Sussana kembali terisak. Diakuinya ia memang manja tapi tidak pernah cengeng dan kondisi saat ini membuatnya entah sentimentil atau memang hormon kehamilannya. Membuat Sussana merasa kerdil dengan kecengenangan. “Sshhh,” mulutnya mendesis halus merasakan gerakan bayinya yang sangat aktif. Seakan tau kegalauan wanita y
Sussana berada di balkon kamarnya, duduk sambil memandang kosong ke depan. Selama ini Akbar selalu membiarkan ia bangun siang, tetapi akhir-akhir ini Sussana sulit tidur dan bangun selalu lebih awal. Seperti saat ini, bahkan matahari belum sepenuhnya terbit. Duduk pada kursi yang ada di balkon, sambil memegang ponselnya. Meskipun hatinya kecewa, mulutnya terucap sumpah, tetapi Akbar masih suaminya dan Sussana memang mencintai pria itu. Bahkan mereka sedang menantikan kelahiran buah cinta mereka. Menunggu Akbar menghubunginya, akhirnya Sussana membawa ponselnya ke mana pun. Terdengar pintu kamarnya di ketuk, Sussana bergeming. Suara langkah kaki yang semakin dekat, “Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Halimah melebarkan pintu balkon. “Jangan melamun di sini, ayo masuk.” Halimah membawa Sussana masuk ke kamarnya. “Udaranya masih dingin, kamu dari kapan di luar?” tanya Halimah lagi. “Belum lama,” jawab Sussana sambil perlahan merebahkan tubuhnya untuk berbaring miring. “Hari ini jadwal k
“Apa seorang istri menghubungi suami itu disebut mengganggu?”Akbar menatap Sussana, posisinya saat ini jelas salah. “Aku pergi dari apartemen Mas Akbar tapi tidak bilang karena aku bingung menyampaikanya. Tidak mungkin aku menghubungi Pak Bowo dan mengatakan masalah ini,” sahut Sussana.“Oke, aku salah. Aku minta maaf, tidak seharusnya aku mengacuhkan kamu. Jangan salah paham, sayang.”Sussana menghela nafas dan memegang dadanya yang terasa sesak. “Mas Akbar paham enggak perasaan aku?” Akbar tidak menjawab hanya menatap Sussana. “Aku paham kalau Mas Akbar butuh waktu untuk Perusahaan tapi aku ini istri Mas Akbar, kenapa apa yang aku lakukan seakan salah.”Kedua mata Sussana terlihat berkaca-kaca, “Aku bisa mentolerasi apa yang Mas Akbar, Papih dan Mamih maksud tapi tidak dengan Nola. Kenapa aku harus maklum dengan keberaan Nola di sini, apa kalau nanti Nola bisa mendapatkan hati Mas Akbar aku juga harus maklum.”“Sayang, bukan begitu maksudnya. Tidak ada apa-apa dengan aku dan Nola.”
Sussana akhirnya menjawab panggilan tersebut, tentu saja dengan mode load speaker agar Akbar mendengar apa yang dikatakan Nola. “Halo, Akbar,” panggil Nola di ujung telpon. “Kamu sudah pulang dari Surabaya, tapi enggak ke kantor. Ke mana sih?” “Ya pulang ke istrinya dong,” jawab Sussana. Terdengar decakan Nola, “Mana Akbar, aku perlu bicara sama dia.” “Mas Akbar tidur, lelah mungkin. Dia juga butuh istirahat, butuh bermanja dengan istrinya dan sekedar mengingatkan bahwa istrinya Mas Akbar itu aku. Takut kamu lupa,” jawab Sussana. Akbar mendengar itu tersenyum. “Jangan egois Sussana, perusahaan sedang butuh Akbar.” “Ihh, kenapa kamu yang repot. Karyawan bukan, saudara bukan atau berharap jadi ... ihh amit-amit ya. Mas Akbar hanya sayang sama aku, enggak usah berharap,” sahut Sussana. Akbar beranjak bangun, bukan untuk meminta Sussana mengakiri panggilan. Hal itu bisa membuat salah paham, ia malah menuju ceruk leher Sussana dan menciumi area itu membuat Sussana mengigit bibirnya. “
Sussana terbangun, ia mengerjapkan kedua matanya. Menyadari bahwa saat ini tubuhnya polos hanya terbalut selimut. “Hai, putri tidur.” Sussana menoleh ke arah suara, Akbar yang keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air dari rambutnya yang basah, membuat Sussana menghela nafas menyaksikan pemandangan indah tersebut. “Bangun, ini sudah jam berapa? Kamu belum makan, baby kita juga pastinya sudah lapar.” Sussana malah mengeratkan selimutnya. Akbar sudah berpakaian, melihat Sussana dengan posisi berbaring miring tentu saja punggungnya terekspos. Terlihat putih dan mulus membuatnya kembali bergairah. “Kamu jangan menggoda aku dong,” ujar Akbar sambil kembali merebahkan dirinya di belakang Sussana. Sussana dan Akbar saat ini sedang bicara serius. Duduk dipinggir ranjang, dengan Akbar di sampingnya yang menggenggam kedua tangan Sussana. “Aku masih harus mengurus perusahaan. Masih belum stabil, baiknya kamu tetap di sini karena ada bunda yang mene
Sussana sudah berada di ruang tindakan, sedangkan Halimah menghubungi Akbar menggunakan ponsel Sussana tetapi tidak ada jawaban. Merasa butuh teman untuk mendampingi Sussana melahirkan, Halimah menghubungi suaminya. Gerry bergegas menuju ruangan tempat Sussana dan istrinya berada. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry. “Pembukaan enam,” jawab Halimah. Tangannya sedang menggenggam erat tangan Sussana yang meringis menahan sakit. “Kalau sedang tidak nyeri, kamu bisa duduk atau berjalan, bisa mempercepat pembukaan dan kelahiran,” saran Halimah yang dijawab Sussana dengan anggukan. “Bunda, a-ku pi-pis ya,” ujar Sussana. Halimah mengecek bagian bawah tubuh Sussana. Terlihat cairan bening yang membahasahi sprei. “Pecah ketuban. Suster,” panggil Halimah. Sudah dua jam berlalu, dokter memeriksa kembali keadaan Sussana. "Masih pembukaan enam ya, air ketubannya juga sudah kering, kita induksi ya," jelas dokter yang kemudian memberikan suntikan induksi untuk mempercepat proses pembukaan.
Dokter yang menggendong bayi Sussana menggelengkan kepalanya ke arah Dokter kandungan. “Cucu saya kenapa Dok?” tanya Halimah merasa ada yang aneh dengan sikap para dokter dan suster. “Maaf Bu, bayi Ibu Sussana tidak selamat.” “Tidak mungkin Dok, coba diperiksa lagi. Cucu saya pasti selamat, dia sehat selama proses kehamilannya,” ujar Halimah dengan air mata yang terus membasahi wajahnya. Dokter kandungan mengangguk, pemeriksaan dilakukan kembali. Halimah menjerit saat dokter kembali mengatakan bayi Sussana tidak selamat. Gerry merangsek masuk ke dalam ruangan mendengar jeritan Halimah. Merengkuh istrinya yang menangis sambil menoleh ke arah Sussana lalu menatap bayi yang berada dalam gendongan dokter. Sussana sudah berada dalam ruang perawatan, tapi belum siuman. Halimah dan Gerry mencoba menguatkan hati mereka, karena ada Sussana yang harus mereka khawatirkan. Sudah memfoto bayi yang tidak merasakan pelukan ibunya saat terlahir dan kini sudah terbujur kaku akan kembali ke pemilikN
"Bunda, kenapa kita pindah kamar?" tanya Sussana. Halimah hanya diam, ia sedang menuangkan air pada gelas Sussana. "Minum dulu, setelah ini makan," titah Halimah."Mas Akbar kenapa belum datang? Ayah udah menghubungi belum?" tanya Sussana lagi. Halimah tetap diam menahan geram mengingat apa yang disampaikan suaminya bahwa ada yang mengirimkan foto-foto Akbar dengan wanita lain.Sussana belum bisa bergerak bebas, sesekali ia meringis karena carain yang masih keluar dari bagian intinya juga rasa perih yang masih tertinggal. Mengikuti saran dokter untuk makan agar staminanya cepat pulih, itu pun dibantu Halimah yang menyuapi dengan penuh perasaan."Ayah," panggil Sussana, saat melihat Gerry yang baru saja datang. "Mas Akbar kemana? Kenapa belum datang juga? Ayah sudah menghubungi belum?” tanya Sussana. Gerry menghampiri ranjang pasien, melihat menu yang tidak habis, ia pun bertanya, "Kamu sudah makan?""Sudah. Ponsel aku di mana ya? Kemarin dibawa enggak Bun?" Sussana menatap nakas dan s