Sussana akhirnya menjawab panggilan tersebut, tentu saja dengan mode load speaker agar Akbar mendengar apa yang dikatakan Nola. “Halo, Akbar,” panggil Nola di ujung telpon. “Kamu sudah pulang dari Surabaya, tapi enggak ke kantor. Ke mana sih?” “Ya pulang ke istrinya dong,” jawab Sussana. Terdengar decakan Nola, “Mana Akbar, aku perlu bicara sama dia.” “Mas Akbar tidur, lelah mungkin. Dia juga butuh istirahat, butuh bermanja dengan istrinya dan sekedar mengingatkan bahwa istrinya Mas Akbar itu aku. Takut kamu lupa,” jawab Sussana. Akbar mendengar itu tersenyum. “Jangan egois Sussana, perusahaan sedang butuh Akbar.” “Ihh, kenapa kamu yang repot. Karyawan bukan, saudara bukan atau berharap jadi ... ihh amit-amit ya. Mas Akbar hanya sayang sama aku, enggak usah berharap,” sahut Sussana. Akbar beranjak bangun, bukan untuk meminta Sussana mengakiri panggilan. Hal itu bisa membuat salah paham, ia malah menuju ceruk leher Sussana dan menciumi area itu membuat Sussana mengigit bibirnya. “
Sussana terbangun, ia mengerjapkan kedua matanya. Menyadari bahwa saat ini tubuhnya polos hanya terbalut selimut. “Hai, putri tidur.” Sussana menoleh ke arah suara, Akbar yang keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air dari rambutnya yang basah, membuat Sussana menghela nafas menyaksikan pemandangan indah tersebut. “Bangun, ini sudah jam berapa? Kamu belum makan, baby kita juga pastinya sudah lapar.” Sussana malah mengeratkan selimutnya. Akbar sudah berpakaian, melihat Sussana dengan posisi berbaring miring tentu saja punggungnya terekspos. Terlihat putih dan mulus membuatnya kembali bergairah. “Kamu jangan menggoda aku dong,” ujar Akbar sambil kembali merebahkan dirinya di belakang Sussana. Sussana dan Akbar saat ini sedang bicara serius. Duduk dipinggir ranjang, dengan Akbar di sampingnya yang menggenggam kedua tangan Sussana. “Aku masih harus mengurus perusahaan. Masih belum stabil, baiknya kamu tetap di sini karena ada bunda yang mene
Sussana sudah berada di ruang tindakan, sedangkan Halimah menghubungi Akbar menggunakan ponsel Sussana tetapi tidak ada jawaban. Merasa butuh teman untuk mendampingi Sussana melahirkan, Halimah menghubungi suaminya. Gerry bergegas menuju ruangan tempat Sussana dan istrinya berada. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry. “Pembukaan enam,” jawab Halimah. Tangannya sedang menggenggam erat tangan Sussana yang meringis menahan sakit. “Kalau sedang tidak nyeri, kamu bisa duduk atau berjalan, bisa mempercepat pembukaan dan kelahiran,” saran Halimah yang dijawab Sussana dengan anggukan. “Bunda, a-ku pi-pis ya,” ujar Sussana. Halimah mengecek bagian bawah tubuh Sussana. Terlihat cairan bening yang membahasahi sprei. “Pecah ketuban. Suster,” panggil Halimah. Sudah dua jam berlalu, dokter memeriksa kembali keadaan Sussana. "Masih pembukaan enam ya, air ketubannya juga sudah kering, kita induksi ya," jelas dokter yang kemudian memberikan suntikan induksi untuk mempercepat proses pembukaan.
Dokter yang menggendong bayi Sussana menggelengkan kepalanya ke arah Dokter kandungan. “Cucu saya kenapa Dok?” tanya Halimah merasa ada yang aneh dengan sikap para dokter dan suster. “Maaf Bu, bayi Ibu Sussana tidak selamat.” “Tidak mungkin Dok, coba diperiksa lagi. Cucu saya pasti selamat, dia sehat selama proses kehamilannya,” ujar Halimah dengan air mata yang terus membasahi wajahnya. Dokter kandungan mengangguk, pemeriksaan dilakukan kembali. Halimah menjerit saat dokter kembali mengatakan bayi Sussana tidak selamat. Gerry merangsek masuk ke dalam ruangan mendengar jeritan Halimah. Merengkuh istrinya yang menangis sambil menoleh ke arah Sussana lalu menatap bayi yang berada dalam gendongan dokter. Sussana sudah berada dalam ruang perawatan, tapi belum siuman. Halimah dan Gerry mencoba menguatkan hati mereka, karena ada Sussana yang harus mereka khawatirkan. Sudah memfoto bayi yang tidak merasakan pelukan ibunya saat terlahir dan kini sudah terbujur kaku akan kembali ke pemilikN
"Bunda, kenapa kita pindah kamar?" tanya Sussana. Halimah hanya diam, ia sedang menuangkan air pada gelas Sussana. "Minum dulu, setelah ini makan," titah Halimah."Mas Akbar kenapa belum datang? Ayah udah menghubungi belum?" tanya Sussana lagi. Halimah tetap diam menahan geram mengingat apa yang disampaikan suaminya bahwa ada yang mengirimkan foto-foto Akbar dengan wanita lain.Sussana belum bisa bergerak bebas, sesekali ia meringis karena carain yang masih keluar dari bagian intinya juga rasa perih yang masih tertinggal. Mengikuti saran dokter untuk makan agar staminanya cepat pulih, itu pun dibantu Halimah yang menyuapi dengan penuh perasaan."Ayah," panggil Sussana, saat melihat Gerry yang baru saja datang. "Mas Akbar kemana? Kenapa belum datang juga? Ayah sudah menghubungi belum?” tanya Sussana. Gerry menghampiri ranjang pasien, melihat menu yang tidak habis, ia pun bertanya, "Kamu sudah makan?""Sudah. Ponsel aku di mana ya? Kemarin dibawa enggak Bun?" Sussana menatap nakas dan s
Gerry serius dengan ucapannya, ia tidak ingin membiarkan Sussana bertemu kembali dengan Akbar. Halimah hanya pasrah mengikuti apa yang suaminya lakukan dan berharap yang terbaik untuk sang putri. Setelah dokter memperbolehkan Sussana pulang, Gerry membawa Sussana ke kediaman adiknya. "Kamu sabar ya, cantik. Umur kamu juga masih muda, masih bisa punya anak yang banyak," ucap tante Niar. Sussana hanya tersenyum sedih merespon orang-orang di sekitarnya yang berusaha membesarkan hatinya. Selain mengobati hatinya yang hancur, karena kehilangan bayi yang sudah dia lahirkan, serta kecewa pada Akbar. Sussana masih berjuang merasakan sakit pada fisiknya. Tidak bisa mentransfer air susunya membuat payudaranya bengkak, sakit, keras dan terasa penuh. Bahkan terkadang Sussana menggigil karena ASInya yang penuh. Kalau sudah begini Sussana akhirnya menangis, Halimah pun terkadang ikut menangis karena tidak tega dengan apa yang dirasakan oleh putrinya. Dua bulan berlalu, Sussana masih ti
"Kalau Sussana menggugat cerai kamu, segeralah menikah dengan Nola," titah Yudha. Nola seakan mendapatkan angin segar, tidak menyangka jika Yudha mendukung dia dengan Akbar. Bira menoleh pada Zudith yang terlihat tidak suka mendengar apa yang diucapkan suaminya. Akbar beranjak dari duduknya, "Mau ke mana?" tanya Nola. Akbar berdecak, “Bagaimana bisa aku berdekatan dengan orang yang sudah memprovokasi Sussana sehingga mempengaruhi kehamilannya dan harus melahirkan lebih awal dari waktu perkiraan lahir." "Akbar, jangan mencari kambing hitam. Semua ini takdir, tidak ada yang bisa mencegahnya. Kita semua berduka dan seharusnya kalian perbaiki hubungan bukan seperti ini. Papih tidak suka dengan cara keluarga Malik mengatasi masalah ini." "Akbar, apa maksud kamu?" tanya Zudith. "Sussana mendapatkan kiriman foto aku dan Nola dengan posisi seakan kami intim padahal hanya pose pengambilan gambarnya saja yang terlihat seperti itu dan pengirimnya adalah dia," ujar Akbar sambil menunjuk
“Jadi, kamu menolak tawaran Om?” tanya Bayu pada Sussana. Mereka saat ini sedang berbicara di ruang keluarga. Untuk sementara ini, Halimah menitipkan Sussana di kediaman Adiknya. Sampai dirasa Sussana siap untuk tinggal mandiri. Sussana menatap Bayu dan istrinya bergantian, yang juga sedang menatap ke arahnya. “Iya,” jawab Sussana mantap. “Aku hanya ingin mulai semuanya dari awal. Mau tahu kemampuan diri aku sejauh mana. Kalau langsung dapat jabatan enak, namanya tidak tahu diri,” sahut Sussana. Tinggal dengan Om Bayu dan Tante Mia, yang memiliki dua orang anak yang masih usia sekolah. Daffa dan Dena yang sedang duduk di bangku SMA. “Sussana, karena kamu tinggal dengan kami di sini. Otomatis kamu jadi tanggung jawab kami. Ada yang perlu Tante pastikan di sini.” Sussana mengangguk sambil mendengarkan maksud pernyataan dan pertanyaan Tante Mia. “Apa kamu akan merahasiakan status kamu? Jika ada pihak yang datang mencari kamu, terutama dari pihak keluarga Akbar, kami harus merahasiakan