Gimana-gimana? Emosi jiwa enggak ? Jejaks yesss
"Kalau Sussana menggugat cerai kamu, segeralah menikah dengan Nola," titah Yudha. Nola seakan mendapatkan angin segar, tidak menyangka jika Yudha mendukung dia dengan Akbar. Bira menoleh pada Zudith yang terlihat tidak suka mendengar apa yang diucapkan suaminya. Akbar beranjak dari duduknya, "Mau ke mana?" tanya Nola. Akbar berdecak, “Bagaimana bisa aku berdekatan dengan orang yang sudah memprovokasi Sussana sehingga mempengaruhi kehamilannya dan harus melahirkan lebih awal dari waktu perkiraan lahir." "Akbar, jangan mencari kambing hitam. Semua ini takdir, tidak ada yang bisa mencegahnya. Kita semua berduka dan seharusnya kalian perbaiki hubungan bukan seperti ini. Papih tidak suka dengan cara keluarga Malik mengatasi masalah ini." "Akbar, apa maksud kamu?" tanya Zudith. "Sussana mendapatkan kiriman foto aku dan Nola dengan posisi seakan kami intim padahal hanya pose pengambilan gambarnya saja yang terlihat seperti itu dan pengirimnya adalah dia," ujar Akbar sambil menunjuk
“Jadi, kamu menolak tawaran Om?” tanya Bayu pada Sussana. Mereka saat ini sedang berbicara di ruang keluarga. Untuk sementara ini, Halimah menitipkan Sussana di kediaman Adiknya. Sampai dirasa Sussana siap untuk tinggal mandiri. Sussana menatap Bayu dan istrinya bergantian, yang juga sedang menatap ke arahnya. “Iya,” jawab Sussana mantap. “Aku hanya ingin mulai semuanya dari awal. Mau tahu kemampuan diri aku sejauh mana. Kalau langsung dapat jabatan enak, namanya tidak tahu diri,” sahut Sussana. Tinggal dengan Om Bayu dan Tante Mia, yang memiliki dua orang anak yang masih usia sekolah. Daffa dan Dena yang sedang duduk di bangku SMA. “Sussana, karena kamu tinggal dengan kami di sini. Otomatis kamu jadi tanggung jawab kami. Ada yang perlu Tante pastikan di sini.” Sussana mengangguk sambil mendengarkan maksud pernyataan dan pertanyaan Tante Mia. “Apa kamu akan merahasiakan status kamu? Jika ada pihak yang datang mencari kamu, terutama dari pihak keluarga Akbar, kami harus merahasiakan
Satu tahun kemudian.Sussana menyandarkan punggung pada kursi yang dia duduki. Melipat kedua tangannya di dada sambil menatap dua rekan kerjanya yang sedang berdebat. Kedua orang itu berdiri sambil memuntahkan opini masing-masing tanpa mau mengalah.Rekan lain yang hadir di ruangan rapat, ada yang menyoraki, hanya menjadi penonton bahkan memberi semangat dengan ikut memprovokasi. Sussana masih bekerja di perusahaan konstruksi milik Bayu. Tiga bulan setelah dia terima sebagai staf marketing lalu diangkat menjadi menjadi manager. Saat ini ingin sekali Sussana menjambak kedua rekannya yang sedang adu mulut.BrakSussana membanting tumpukan berkas ke atas meja. Semua atensi beralih kepadanya, dua orang yang berdebat cenderung bertengkar berdeham lalu kembali duduk. Kini ruangan kembali hening, Sussana membuka proposal kerjasama yang ditolak oleh rekanan perusahaan. “Dari pada kalian mendebatkan laporan yang jelas-jelas projectnya sudah selesai, lebih baik kita evaluasi kenapa ini bisa d
'“Aku ke toilet dulu,” ucap Sussana saat keluar dari lift. Ternyata Meta tidak menunggu Sussana, wanita itu langsung meninggalkan hotel dan mengirimkan pesan pada Sussana. 'Tau bakal ditinggal, aku bawa mobil sendiri aja kali,' batin Sussana. Antrian di toilet membuatnya lama berada di sana. Sussana pulang menggunakan taksi, terjebak macet membuatnya dia menyesal memilih taksi dan seharusnya menggunakan ojeg. Esok pagi, Sussana menggunakan ojeg untuk mengantarkannya ke kantor. Sussana fokus pada layar komputernya. Bahkan tidak menyadari saat seseorang mengetuk pintu dan masuk. "Mbak Sussana, diminta ke ruang Pak Bayu." "Oke," jawab Sussana tanpa menoleh pada staf yang menghampirinya. "Mbak melamun ya?" Sussana menoleh, "Enggak, aku sedang fokus pada ini," jawabnya lagi sambil menunjuk layar. "Mas Raka tadi ke sini, tapi katanya mbak sedang melamun. Makanya diminta saya yang menyampaikan pesan dari Pak Bayu." 'Telpon ada kenapa harus lewat Raka untuk panggil aku datang,' batin
Sussana terpaku saat melihat Akbar yang menunggunya. Akbar berjalan menghampiri Sussana. "Sussana," panggil Akbar, saat ini mereka saling berhadapan. "Berhenti," ucap Sussana sambil memejamkan matanya. Sussana berusaha menguasai dirinya. Dadanya terasa sesak dengan degup jantung yang lebih kencang dari biasanya. Kedua tangannya mengepal. Nafasnya memburu berusaha meraup oksigen sebanyak dia bisa. Entah masih ada kecewa, marah atau benci pada Akbar. Namun, aroma parfum tubuh Akbar yang sangat tidak asing di hidung Sussana menjadi aroma menenangkan. Jauh di lubuk hati, Sussana memang merindukan Akbar. Sussana baru akan berucap, tetapi Akbar tiba-tiba berlutut, wajahnya tepat menghadap perut Sussana. Akbar menunduk, "Maafkan aku, maafkan Aku Sussana." "Diam!" pekik Sussana. Dengan terisak, wajah Sussana kini sudah basah. "Mas Akbar tidak berhak bicara maaf, Mas Akbar tidak berhak meminta maaf. Mas Akbar tidak merasakan apa yang sudah aku lewati. Tidak tau rasanya tersiksa karena keh
"Ayo Mas, kamu enggak ada kerabat di sini. Jangan sampai sakit parah." "Ada kamu, sayang." "Aku 'kan kerja." Akbar berdecak, "Tolong ambilkan ponsel aku, biar aku hubungi sekretaris cabang. Biar dia yang temani aku," ujar Akbar tanpa membuka matanya. Sussana duduk di pinggir ranjang menatap Akbar, ada rasa tidak suka mendengar Akbar meminta seorang sekretaris untuk merawat dirinya. "Aku pesankan makan ya? Setelah itu minum obat." Akbar hanya berdeham, lalu menggeser posisinya berbaring dan menjatuhkan kepalanya pada pangkuan Sussana. Sussana merasa canggung dengan posisi mereka saat ini. Dia ingin menyentuh wajah dan mengelus rahang Akbar, tapi urung dilakukan. Memilih meraih gagang telpon untuk menghubungi layanan kamar. Akbar beranjak dengan malas saat Sussana memaksanya untuk makan. "Kenapa enggak habis?" tanya Sussana saat Akbar menyerahkan kembali piring makan yang isinya baru habis sebagian. "Enggak nafsu, pahit," ujar Akbar sambil bersandar di head board. "Kal
Sussana menghentakkan kakinya, "Aku lelah, enggak mood bercanda," sahut Sussana. “Aku serius. Kemarilah! Besok aku harus kembali ke Jakarta.” “Apa? Mas Akbar mau kembali ke Jakarta?” “Hmm. Mau ikut?” tanya Akbar sambil tersenyum. Sussana menggelengkan kepalanya. “Lalu kapan mau kembali ke Jakarta?” “Enggak tahu, mungkin setelah siap lahir dan batin,” jawab Sussana. Akbar kembali beranjak dari posisinya, kini dia dan Sussana duduk di ranjang dengan posisi berhadapan. “Apa yang harus aku lakukan agar kamu siap lahir dan batin?” Sussana mengedikkan bahunya. Setelah makan malam, mereka lewati malam itu dengan berbaring di ranjang Sussana. Benar-benar tertidur, meskipun kini keduanya saling berbagi kehangatan dalam pelukan. Sussana meregangkan tubuhnya, sebelum ia membuka kedua matanya. Akbar yang sudah terbangun lebih dulu bahkan tadi sempat keluar kamar Sussana untuk menjawab panggilan telpon, tersenyum melihat Sussana yang terlihat agak berantakan karena bangun tidur. “Apaan si
"Bisa kamu jelaskan maksud dari foto ini?" tanya Bayu pada Sussana sambil memperlihatkan layar ponselnya. Ada foto Sussana dan Akbar dengan posisi sangat dekat. Sussana menghela nafasnya. Suasana hatinya sudah buruk saat tadi pagi mendapati foto kebersamaannya dengan Akbar jadi bahan gunjingan di grup pesan. Bahkan saat dia sampai di kantor beberapa karyawan dengan terang-terangan menghinanya. "Sussana, kamu kenapa masuk kerja," ucap Raka lirih saat mereka berpapasan. "Raka, pantesan cinta kamu enggak diterima. Targetnya Sussana itu CEO, enggak masalah walaupun jadi pelakor," teriak salah satu rekan Sussana. "Hei, jangan bicara sembarangan. Jatuhnya fitnah," seru Raka. "Sudahlah," sahut Sussana sambil beranjak menuju ruang kerjanya. "Harusnya kamu terbuka dan katakan kalau sudah menikah. Jadi orang tidak berprasangka negatif juga orang yang ada hati akan mundur karena tau status kamu.”“Aku tidak ingin mencampur adukan urusan pribadi dengan kerjaan," sahut Sussana. Pertanyaan