Hai readers, nanti kan terus kelanjutan kisah SUssana ya. Jangan lupa jejaks
Sussana berada di balkon kamarnya, duduk sambil memandang kosong ke depan. Selama ini Akbar selalu membiarkan ia bangun siang, tetapi akhir-akhir ini Sussana sulit tidur dan bangun selalu lebih awal. Seperti saat ini, bahkan matahari belum sepenuhnya terbit. Duduk pada kursi yang ada di balkon, sambil memegang ponselnya. Meskipun hatinya kecewa, mulutnya terucap sumpah, tetapi Akbar masih suaminya dan Sussana memang mencintai pria itu. Bahkan mereka sedang menantikan kelahiran buah cinta mereka. Menunggu Akbar menghubunginya, akhirnya Sussana membawa ponselnya ke mana pun. Terdengar pintu kamarnya di ketuk, Sussana bergeming. Suara langkah kaki yang semakin dekat, “Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Halimah melebarkan pintu balkon. “Jangan melamun di sini, ayo masuk.” Halimah membawa Sussana masuk ke kamarnya. “Udaranya masih dingin, kamu dari kapan di luar?” tanya Halimah lagi. “Belum lama,” jawab Sussana sambil perlahan merebahkan tubuhnya untuk berbaring miring. “Hari ini jadwal k
“Apa seorang istri menghubungi suami itu disebut mengganggu?”Akbar menatap Sussana, posisinya saat ini jelas salah. “Aku pergi dari apartemen Mas Akbar tapi tidak bilang karena aku bingung menyampaikanya. Tidak mungkin aku menghubungi Pak Bowo dan mengatakan masalah ini,” sahut Sussana.“Oke, aku salah. Aku minta maaf, tidak seharusnya aku mengacuhkan kamu. Jangan salah paham, sayang.”Sussana menghela nafas dan memegang dadanya yang terasa sesak. “Mas Akbar paham enggak perasaan aku?” Akbar tidak menjawab hanya menatap Sussana. “Aku paham kalau Mas Akbar butuh waktu untuk Perusahaan tapi aku ini istri Mas Akbar, kenapa apa yang aku lakukan seakan salah.”Kedua mata Sussana terlihat berkaca-kaca, “Aku bisa mentolerasi apa yang Mas Akbar, Papih dan Mamih maksud tapi tidak dengan Nola. Kenapa aku harus maklum dengan keberaan Nola di sini, apa kalau nanti Nola bisa mendapatkan hati Mas Akbar aku juga harus maklum.”“Sayang, bukan begitu maksudnya. Tidak ada apa-apa dengan aku dan Nola.”
Sussana akhirnya menjawab panggilan tersebut, tentu saja dengan mode load speaker agar Akbar mendengar apa yang dikatakan Nola. “Halo, Akbar,” panggil Nola di ujung telpon. “Kamu sudah pulang dari Surabaya, tapi enggak ke kantor. Ke mana sih?” “Ya pulang ke istrinya dong,” jawab Sussana. Terdengar decakan Nola, “Mana Akbar, aku perlu bicara sama dia.” “Mas Akbar tidur, lelah mungkin. Dia juga butuh istirahat, butuh bermanja dengan istrinya dan sekedar mengingatkan bahwa istrinya Mas Akbar itu aku. Takut kamu lupa,” jawab Sussana. Akbar mendengar itu tersenyum. “Jangan egois Sussana, perusahaan sedang butuh Akbar.” “Ihh, kenapa kamu yang repot. Karyawan bukan, saudara bukan atau berharap jadi ... ihh amit-amit ya. Mas Akbar hanya sayang sama aku, enggak usah berharap,” sahut Sussana. Akbar beranjak bangun, bukan untuk meminta Sussana mengakiri panggilan. Hal itu bisa membuat salah paham, ia malah menuju ceruk leher Sussana dan menciumi area itu membuat Sussana mengigit bibirnya. “
Sussana terbangun, ia mengerjapkan kedua matanya. Menyadari bahwa saat ini tubuhnya polos hanya terbalut selimut. “Hai, putri tidur.” Sussana menoleh ke arah suara, Akbar yang keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air dari rambutnya yang basah, membuat Sussana menghela nafas menyaksikan pemandangan indah tersebut. “Bangun, ini sudah jam berapa? Kamu belum makan, baby kita juga pastinya sudah lapar.” Sussana malah mengeratkan selimutnya. Akbar sudah berpakaian, melihat Sussana dengan posisi berbaring miring tentu saja punggungnya terekspos. Terlihat putih dan mulus membuatnya kembali bergairah. “Kamu jangan menggoda aku dong,” ujar Akbar sambil kembali merebahkan dirinya di belakang Sussana. Sussana dan Akbar saat ini sedang bicara serius. Duduk dipinggir ranjang, dengan Akbar di sampingnya yang menggenggam kedua tangan Sussana. “Aku masih harus mengurus perusahaan. Masih belum stabil, baiknya kamu tetap di sini karena ada bunda yang mene
Sussana sudah berada di ruang tindakan, sedangkan Halimah menghubungi Akbar menggunakan ponsel Sussana tetapi tidak ada jawaban. Merasa butuh teman untuk mendampingi Sussana melahirkan, Halimah menghubungi suaminya. Gerry bergegas menuju ruangan tempat Sussana dan istrinya berada. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry. “Pembukaan enam,” jawab Halimah. Tangannya sedang menggenggam erat tangan Sussana yang meringis menahan sakit. “Kalau sedang tidak nyeri, kamu bisa duduk atau berjalan, bisa mempercepat pembukaan dan kelahiran,” saran Halimah yang dijawab Sussana dengan anggukan. “Bunda, a-ku pi-pis ya,” ujar Sussana. Halimah mengecek bagian bawah tubuh Sussana. Terlihat cairan bening yang membahasahi sprei. “Pecah ketuban. Suster,” panggil Halimah. Sudah dua jam berlalu, dokter memeriksa kembali keadaan Sussana. "Masih pembukaan enam ya, air ketubannya juga sudah kering, kita induksi ya," jelas dokter yang kemudian memberikan suntikan induksi untuk mempercepat proses pembukaan.
Dokter yang menggendong bayi Sussana menggelengkan kepalanya ke arah Dokter kandungan. “Cucu saya kenapa Dok?” tanya Halimah merasa ada yang aneh dengan sikap para dokter dan suster. “Maaf Bu, bayi Ibu Sussana tidak selamat.” “Tidak mungkin Dok, coba diperiksa lagi. Cucu saya pasti selamat, dia sehat selama proses kehamilannya,” ujar Halimah dengan air mata yang terus membasahi wajahnya. Dokter kandungan mengangguk, pemeriksaan dilakukan kembali. Halimah menjerit saat dokter kembali mengatakan bayi Sussana tidak selamat. Gerry merangsek masuk ke dalam ruangan mendengar jeritan Halimah. Merengkuh istrinya yang menangis sambil menoleh ke arah Sussana lalu menatap bayi yang berada dalam gendongan dokter. Sussana sudah berada dalam ruang perawatan, tapi belum siuman. Halimah dan Gerry mencoba menguatkan hati mereka, karena ada Sussana yang harus mereka khawatirkan. Sudah memfoto bayi yang tidak merasakan pelukan ibunya saat terlahir dan kini sudah terbujur kaku akan kembali ke pemilikN
"Bunda, kenapa kita pindah kamar?" tanya Sussana. Halimah hanya diam, ia sedang menuangkan air pada gelas Sussana. "Minum dulu, setelah ini makan," titah Halimah."Mas Akbar kenapa belum datang? Ayah udah menghubungi belum?" tanya Sussana lagi. Halimah tetap diam menahan geram mengingat apa yang disampaikan suaminya bahwa ada yang mengirimkan foto-foto Akbar dengan wanita lain.Sussana belum bisa bergerak bebas, sesekali ia meringis karena carain yang masih keluar dari bagian intinya juga rasa perih yang masih tertinggal. Mengikuti saran dokter untuk makan agar staminanya cepat pulih, itu pun dibantu Halimah yang menyuapi dengan penuh perasaan."Ayah," panggil Sussana, saat melihat Gerry yang baru saja datang. "Mas Akbar kemana? Kenapa belum datang juga? Ayah sudah menghubungi belum?” tanya Sussana. Gerry menghampiri ranjang pasien, melihat menu yang tidak habis, ia pun bertanya, "Kamu sudah makan?""Sudah. Ponsel aku di mana ya? Kemarin dibawa enggak Bun?" Sussana menatap nakas dan s
Gerry serius dengan ucapannya, ia tidak ingin membiarkan Sussana bertemu kembali dengan Akbar. Halimah hanya pasrah mengikuti apa yang suaminya lakukan dan berharap yang terbaik untuk sang putri. Setelah dokter memperbolehkan Sussana pulang, Gerry membawa Sussana ke kediaman adiknya. "Kamu sabar ya, cantik. Umur kamu juga masih muda, masih bisa punya anak yang banyak," ucap tante Niar. Sussana hanya tersenyum sedih merespon orang-orang di sekitarnya yang berusaha membesarkan hatinya. Selain mengobati hatinya yang hancur, karena kehilangan bayi yang sudah dia lahirkan, serta kecewa pada Akbar. Sussana masih berjuang merasakan sakit pada fisiknya. Tidak bisa mentransfer air susunya membuat payudaranya bengkak, sakit, keras dan terasa penuh. Bahkan terkadang Sussana menggigil karena ASInya yang penuh. Kalau sudah begini Sussana akhirnya menangis, Halimah pun terkadang ikut menangis karena tidak tega dengan apa yang dirasakan oleh putrinya. Dua bulan berlalu, Sussana masih ti
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A