"Bu, ini kita ke mana ya?" tanya Pak Cipto Supir Akbar. "Kita pu... aduhhhh. Shhhh," desis Sussana merasakan sakit dan perutnya yang mengencang. Bahkan kini nafasnya terasa sesak. "Kita ke rumah sakit aja pak." Pria paruh baya itu segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit sesuai perintah Sussana. Merasakan perutnya tidak nyaman, yang mungkin pengaruh dari emosinya tadi akhirnya Sussana langsung memutuskan ke Rumah Sakit. Sampainya di depan UGD, “Bu Sussana mau melahirkan? Saya hubungi Pak Akbar atau bagaimana?” tanya Pak Cipto terlihat khawatir. “Enggak usah, Pak Cipto langsung pulang aja. Nanti saya minta Pak Akbar yang jemput. Perut saya sakit tapi belum waktunya melahirkan.” “Kalau Pak Akbar hubungi saya, saya jawab apa Bu?” tanya Pak Cipto lagi karena dia melihat kedua majikannya tadi sempat berdebat. “Enggak akan, saya yang hubungi beliau. Kalau perlu ponsel Pak Cipto non aktifkan aja,” sahut Sussana sambil membuka pintu mobil. Seorang perawat UGD menyambut Sussana dan
“Bohong, buktinya semalam Mas Akbar enggak cari aku?” “Aku pikir kamu di rumah Bunda, aku berulang kali telpon tapi enggak diangkat.” “Aku enggak mau pulang,” ujar Sussana. “Lalu, Mau kemana?” Sussana merubah posisinya, kini mereka berbaring berhadapan, “Aku mau liburan, minggu depan aku sidang skripsi setelah itu melahirkan. Pasti bakalan sibuk, enggak ada lagi waktu hanya berdua dengan Mas Akbar.” Akbar terkekeh, ia menyelipkan helaian rambut Sussana yang jatuh menutupi dahi wanita yang saat ini menjadi miliknya. “Bisa dong, kita masih bisa habiskan waktu berdua. Anak bisa kita titip ke Mamih, Bira juga biasa begitu. Paling yang enggak tega Ibunya, enggak mau jauh sama anak.” “Pokoknya aku mau liburan, yang jelas fokus Mas Akbar hanya untuk aku. Enggak ada urusan bisnis, perusahaan apa lagi para ulat bulu, ulat keket atau uget-uget.” Akbar mengernyitkan dahinya, “Alat bulu, ulat keket atau uget-uget?” tanya Akbar heran. “Mau enggak? Kalau enggak, ya udah sana pulang. Biarin aj
“Mas Akbar sudah mandi, masa mau ...”“Nanti mandi lagi, bareng kamu.”“Tapi ...”“Stt, jangan menolak. Aku mau jenguk baby, masa enggak boleh,” ujar Akbar. Sussana tidak dapat berbuat apapun selain membiarkan Akbar melakukan apapun pada tubuhnya, karena memang Akbarlah yang berhak atas dirinya.Sussana kembali bergelung dengan selimutnya setelah pergulatannya dengan Akbar. Bahkan ia sudah kembali terlelap karena kelelahan. Akbar yang masih berbaring disisi Sussana memeluk wanita itu. “Sayang, kok tidur lagi, bangunlah kita harus sarapan,” ujar Akbar, tetapi Sussana bergeming, Bahkan saat Akbar mengecupi wajah Sussana dan menyesap leher berjenjang menggoda dan membuat jejak di sana, Sussana hanya merubah posisinya menjadi berbaring miring.“Sayang,” panggil Akbar lagi.“Hmm, aku ngantuk Mas.”Sudah lebih dari satu jam, Sussana tertidur. Bahkan kini Akbar sudah membersihkan dirinya lagi dan sedang duduk di sofa kamar ditemani secangkir kopi. Sesekali menoleh ke arah Sussana yang masih d
Memeluk dari belakang dan mengalungkan tangannya pada perut Sussana. "Sayang," panggil Akbar sambil menempelkan tubuhnya pada tubuh Sussana. Terasa bagian tubuh Akbar yang mengeras menempel pada bokong Sussana. "Ayolah, jangan buat aku tersiksa." Sussana berbalik, posisi mereka kini berhadapan. Mengalungkan kedua tangannya pada leher Akbar, "Nanti malam aku mau keluar, kita jalan-jalan ya," ajak Sussana. Akbar hanya mengangguk mengiyakan. "Aku butuh amunisi untuk temani kamu nanti malam,” jawab Akbar lalu melumat rakus bibir yang tersaji dihadapannya. Suara decapan keluar dari aktifitas keduanya, Akbar menyesap bergantian bibir atas dan bawah membuat bibir wanita itu sedikit bengkak. “Mas Akbar,” ucap Sussana saat pagutan mereka terlepas. “Maaf, aku terbawa suasana dan udah enggak tahan,” sahut Akbar sedangkan Sussana masih terengah. “Tapi ini masih siang, kita ...” Akbar segera mengajak istrinya masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh yang terlihat semakin berisi. Pakaian Sussana s
“Akbar, sebaiknya kamu cepat ke Jakarta. Profesional dong, ini masalah serius. Istri kamu manja banget sih enggak paham kondisi perusahaan suaminya. Makanya jangan menikah dengan bocah yang ...” Sussana mengakhiri panggilan tersebut tanpa mengatakan bahwa ia yang menjawab telpon dan meninggalkan ruang kerja Akbar. "Sudah siap?" tanya Akbar setelah memasukan koper dan tas mereka ke dalam bagasi mobil. Sussana hanya mengangguk dan tersenyum. Akbar merengkuh tubuh Sussana dan mencium keningnya, "Lain kali aku akan berikan liburan yang lebih baik dari ini," ucapnya. Akbar yang semalam kurang tidur dan saat masih masih terus berkomunikasi dengan Bowo via telpon serta tablet yang terus menampilkan data-data entah apa yang Sussana sendiri tidak paham, jadi tidak memungkinkan dia mengemudi. Akhirnya mendapatkan pengemudi rekomendasi dari penjaga villanya. Selama perjalanan Sussana memandang ke luar jendela mobil, sementara Akbar sibuk dengan gadgetnya. Tidak ada rengkuhan atau rangkul
Sampai di apartement, Sussana menumpahkan tangisnya yang sejak tadi ia tahan. Bukan karena cengeng, tapi rasanya tidak akan ada wanita yang rela suaminya didekati wanita lain. Sussana pun tidak merasa ia melakukan kesalahan jika ia cemburu. Bukankah cemburu tanda ia cinta. Meskipun kini Akbar dalam kondisi tertekan, seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti itu pada Sussana. Terlebih saat ini Sussana dalam kondisi hamil. Ponsel Sussana berdering, ia menghapus kasar air matanya. Lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia pikir Akbar yang menelpon untuk minta maaf atau menyelesaikan kesalahpahaman mereka. "Halo, Bun," Sussana berusaha menormalkan suaranya agar Halimah tidak mengetahui kalau ia baru saja menangis. Menghela nafasnya, setelah mengakhiri panggilan. Masih menunggu Akbar menghubunginya. Bahkan sampai sore menjelang, ponsel Sussana tidak ada aktivitas yang berhubungan dengan Akbar. Ponselnya ramai grup chat terkait persiapan sidang skripsi besok. Malam harinya, Sussana
Sussana duduk di depan ruang sidang kelompoknya. Terpisah kelompok dengan Reni dan Irgi, tetapi kedua sahabatnya itu sudah menemui Sussana tadi. Mencoba fokus tapi kegundahan hati Sussana membuatnya pecah konsentrasi. Beruntung ia kebagian presentasi dengan nomor urut ketiga, masih ada waktu untuk menenangkan pikirannya sejenak. Menitipkan ransel berisi dokumen dan laptop pada rekannya yang sedang menunggu giliran sidang, Sussana berjalan menyusuri koridor kampus. Ia pun menyadari bahwa kampus tempatnya berada saat ini masih milik keluarga Mahesa. Matanya kembali berembun dengan air mata yang siap menganak sungai. Bergegas menuju toilet, duduk pada closet yang tertutup Sussana kembali terisak. Diakuinya ia memang manja tapi tidak pernah cengeng dan kondisi saat ini membuatnya entah sentimentil atau memang hormon kehamilannya. Membuat Sussana merasa kerdil dengan kecengenangan. “Sshhh,” mulutnya mendesis halus merasakan gerakan bayinya yang sangat aktif. Seakan tau kegalauan wanita y
Sussana berada di balkon kamarnya, duduk sambil memandang kosong ke depan. Selama ini Akbar selalu membiarkan ia bangun siang, tetapi akhir-akhir ini Sussana sulit tidur dan bangun selalu lebih awal. Seperti saat ini, bahkan matahari belum sepenuhnya terbit. Duduk pada kursi yang ada di balkon, sambil memegang ponselnya. Meskipun hatinya kecewa, mulutnya terucap sumpah, tetapi Akbar masih suaminya dan Sussana memang mencintai pria itu. Bahkan mereka sedang menantikan kelahiran buah cinta mereka. Menunggu Akbar menghubunginya, akhirnya Sussana membawa ponselnya ke mana pun. Terdengar pintu kamarnya di ketuk, Sussana bergeming. Suara langkah kaki yang semakin dekat, “Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Halimah melebarkan pintu balkon. “Jangan melamun di sini, ayo masuk.” Halimah membawa Sussana masuk ke kamarnya. “Udaranya masih dingin, kamu dari kapan di luar?” tanya Halimah lagi. “Belum lama,” jawab Sussana sambil perlahan merebahkan tubuhnya untuk berbaring miring. “Hari ini jadwal k
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A