~ Selamat Hari Raya Idul Adha ~
“Hai sayang,” sapa Maya pada Aldi yang baru saja tiba. Aldi mendengus kesal, sebenarnya dia tidak ingin menyanggupi pertemuan ini tapi Maya selalu memiliki cara untuk memaksanya. Maya yang mengenakan celana jeans dan atasan berjenis ruffled top terlihat berbeda karena tubuhnya yang lebih ramping. “Sejak kapan kamu bebas?” “Hei, kenapa pertanyaan kamu seakan tidak suka jika aku sudah bisa menikmati kebebasan ini.” Aldi menghela nafasnya, “Maya, aku sebenarnya enggan untuk menyanggupi pertemuan ini. Kenapa? Karena semua yang terjadi karena kamu, ulah kamu. Kalau saja aku tidak terpedaya oleh mulut manis kamu, mungkin aku tidak akan menghabiskan hampir dua tahun di hotel prodeo,” keluh Aldi. Maya terbahak, “Kenapa kamu malah menyalahkan aku, bukankah saat itu kamu sangat bersemangat ketika aku menyampaikan ide untuk mengerjai Sussana. Kamu sangat antusias untuk balas dendam.” “Tapi yang kita rencanakan tidak seekstrim yang terjadi. Kamu benar-benar psycho.” Maya hanya tersenyum, “
Sussana sudah berada di rumah. Bahkan sudah kembali bermain dengan Yuna. Barang dan perlengkapan yang dibeli sedang dirapikan oleh Mer di kamar bayi sebelah kamar tidur Akbar dan Sussana yang terhubungkan dengan connection door.“Mommy,” teriak Yuna sambil melompat-lompat saat melihat kucing yang berjalan mendekat.Sussana hanya tersenyum gemas melihat tingkah lucu putrinya. Tiba-tiba teringat Saka, lalu meraba liontin kalung atas nama putranya.“Sussana,” panggil Akbar menyadarkan dari lamunannya .“Loh, Mas Akbar sudah pulang?”“Hmm. Di mana Mer?”Sussana menoleh ke arah kamar, “Sepertinya masih membereskan perlengkapan.”“Mer,” panggil Akbar. Tidak lama kemudian, perempuan berumur hampir empat puluh tahunan itu pun muncul. “Iya, Pak.”“Jaga, Yuna. Ada yang harus saya bicarakan dengan Sussana,” titah Akbar.“Baik, Pak.”Akbar membantu Sussana bangun dari duduknya. “Ada apa sih Mas?” tanya Sussana bingung saat berjalan menuju kamarnya dalam rangkulan Akbar.“Duduklah,” pinta Akbar
Akbar sudah tiba di kediaman Yudha Mahesa, berjalan melalui jalan samping menuju paviliun tempat tinggalnya dengan sedikit tergesa. Pertemuan dengan Maya sungguh membuat moodnya berantakan.“Mas Akbar sudah pulang? bukannya tadi bilang hari ini sibuk,” ucap Sussana saat melihat Akbar sudah bergabung di ruang keluarga. Belum menjawab pertanyaan Sussana, karena saat ini memilih meraih Yuna ke dalam gendongannya dan menggesekkan hidungnya di perut Yuna membuat bocah itu tertawa kegelian.Setelah puas menggoda Yuna, lalu diserahkan pada Mer pengasuhnya, “Ikut aku,” ajak Akbar sambil meraih tangan Sussana agar berjalan mengikutinya menuju kamar mereka. Mengunci pintu setelah keduanya sudah berada di dalam, “Kenapa di kunci?” tanya Sussana.Akbar bergeming, lebih memilih melepaskan jas dan ikatan dasi di lehernya termasuk sepatu yang membungkus kedua kakinya. Sussana hanya bisa menatap aneh sikap Akbar, bahkan kini suaminya sudah membukan satu persatu kancing kemeja.“Mas Akbar kenapa?”Akb
“Hmm. Pastikan kalian mengawasi pergerakannya. Termasuk pelajari orang-orang yang dia temui. Saya tidak percaya kalau wanita itu sudah sadar dan benar-benar tulus minta maaf,” ucap Akbar lewat panggilan telepon.Akbar menoleh pada Sussana yang sudah terlelap, setelah mengakhiri panggilan telepon. Beranjak keluar dari kamarnya menuju kamar Yuna. Mengusap kepala putrinya yang telah terlelap lalu mengecup lama keningnya.“Sleep tight, princess.”Akbar kembali ke kamarnya, merebah di samping Sussana dengan posisi berbaring miring berhadapan. “Kamu terlalu baik, sayang. Mudah percaya dengan hasutan orang. Aku pastikan Maya tidak akan bisa melukaimu lagi,” ucap Akbar lalu merengkuh Sussana ke dalam pelukannya dan mencoba terlelap.***“Aku akan bawa target ke lokasi, kalian cukup melaju dengan kencang. Jika berhasil wanita itu akan mati, kalaupun meleset aku yakin dia akan luka parah. Apalagi saat ini dia sedang hamil, akan sangat sulit menghindar. Kalau perlu biarkan dia hidup menderita ka
Pagi itu, kegiatan Sussana berjalan seperti biasa. Menyiapkan keperluan Akbar lalu mengurus Yuna yang tentu saja dibantu Mbak Mer, pengasuhnya. Setelah Akbar berangkat ke kantor, Sussana mengajak Yuna ke taman tidak jauh dari kediaman mertuanya.Berada di komplek pemukiman mewah yang memiliki fasilitas yang cukup mendukung. Seperti saat ini, Yuna yang berada di taman komplek asyik bermain dengan arena yang ada disana. Sussana hanya mengawasi sambil duduk pada kursi taman.Ponsel yang berada dalam sakunya bergetar, ternyata ada pesan masuk. Pesan yang dikirim oleh Maya. Sekilas Sussana heran dari mana Maya mendapatkan kontaknya, sedangkan mereka tidak pernah saling tukar informasi kontak.‘Sussana, aku mengundangmu hadir untuk perayaan kecil-kecilan atas dibukanya butik aku.’‘Aku berharap kamu datang.’‘Ini aku share lokasinya’Sussana menghela nafasnya, ingin memenuhi undangan Maya tapi Akbar pasti tidak akan mengijinkan. Menjelang siang, Sussana sudah bersiap berangkat. “Mbak Mer,
Akbar sudah berada dalam kamar rawat inap. Sussana duduk di kursi yang berada di samping brankar Akbar. Dokter mengatakan kondisi Akbar hanya menunggu dia sadar dan operasi berjalan lancar. “Sussana, kalau kamu nggak nurut dengan arahan Mamih lebih baik kamu tunggu di rumah. Kamu harus makan lalu istirahat. Bukan hanya kamu yang khawatir, kita semua sama khawatir tapi ingat kondisi kamu saat ini.” Menjelang tengah malam, Akbar masih juga belum sadarkan diri. Sussana sudah terbaring di ranjang khusus keluarga. Zudith yang menunggu Akbar di samping brankarnya. Sedangkan Yudha dan Bira sejak sore menemui pengacara keluarga untuk membicarakan terkait kecelakaan Akbar. Sampai esok hari, Akbar masih belum sadarkan diri. Sussana semakin sedih, kedua matanya sembab. Saat ini sedang ada pemeriksaan dari Dokter karena Akbar tak kunjung sadar. “Semua alat vital tidak ada masalah. Bekas luka pun tidak ada pendarahan atau tanda-tanda infeksi,” jelas Dokter. “Jadi, bagaimana Dok?” “Kita harus
“Kamu kenapa sayang?” “Perut aku sakit, Bun.” Sussana meringis menahan sakit yang mendera, sambil menggigit bibirnya. Terlihat cairan bening mengalir di sela kaki Sussana. “Bun, aku pipis ya,” ujar Sussana malu juga khawatir. “Bukan pipis sayang, ini ketuban kamu pecah.” “Mamih panggil perawat dulu.” “Atur nafas kamu, sayang,” titah Halimah. Tidak lama kemudian Zudith kembali dengan seorang perawat yang sudah membawa kursi roda. “Kita ke ruang tindakan ya Bu, nanti diperiksa di sana,” ujar perawat yang dengan sabar membantu Sussana duduk di kursi roda. Awalnya Sussana menolak karena merasa nyeri itu hanya kontraksi palsu tapi setelah disarankan untuk memeriksakan kondisinya, Sussana pun patuh. “Aku nanti menyusul, menunggu Bira agar segera kembali ke sini,” ujar Zudith lalu menghubungi Bira. Sussana sudah merebahkan diri di brankar pasien di ruang tindakan melahirkan. Ternyata memang bukan kontraksi palsu karena rasa nyerinya makin sering. “Saya periksa dulu ya, Bu,” ujar Dokt
Pembaca, mohon maaf bab sebelumnya banyak typo dan ada kalimat tidak nyambung, saya juga bingung kenapa bisa begitu.=====“Aku mau bertemu Mas Akbar,” ujar Sussana. “Jangan dulu, sayang. Akbar masih dalam pemeriksaan dan pemantauan Dokter. Mamih takut kalau nanti Akbar malah menyakiti kamu,” sahut Zudith penuh kekhawatiran.“Nggak akan Mih, Mas Akbar baik sama aku. Dia cinta aku.” “Sussana, sabar sayang. Fokus pada bayi kamu dan kesehatan kamu dulu sambil kita tunggu kondisi Akbar yang lebih baik,” nasihat Halimah.“Tapi Bun?”“Kita semua paham jika kamu sangat peduli pada Akbar, tapi jika dipaksakan dan ternyata Akbar malah tidak nyaman akan berimbas pada kamu Sussana. Jika perlu, Akbar akan kita bawa ke Singapura untuk pengobatan yang lebih baik,” ungkap Ayah mertua Sussana dengan saran bijaknya.Semua berpendapat melarang Sussana bertemu Akbar, akhirnya dia pun mengalah untuk tidak memaksa bertemu dengan Akbar. Sudah diperbolehkan pulang setelah perawatan pasca melahirkan, Suss
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A