haiiii, jangan lupa jejak ya
“Kamu kenapa sayang?” “Perut aku sakit, Bun.” Sussana meringis menahan sakit yang mendera, sambil menggigit bibirnya. Terlihat cairan bening mengalir di sela kaki Sussana. “Bun, aku pipis ya,” ujar Sussana malu juga khawatir. “Bukan pipis sayang, ini ketuban kamu pecah.” “Mamih panggil perawat dulu.” “Atur nafas kamu, sayang,” titah Halimah. Tidak lama kemudian Zudith kembali dengan seorang perawat yang sudah membawa kursi roda. “Kita ke ruang tindakan ya Bu, nanti diperiksa di sana,” ujar perawat yang dengan sabar membantu Sussana duduk di kursi roda. Awalnya Sussana menolak karena merasa nyeri itu hanya kontraksi palsu tapi setelah disarankan untuk memeriksakan kondisinya, Sussana pun patuh. “Aku nanti menyusul, menunggu Bira agar segera kembali ke sini,” ujar Zudith lalu menghubungi Bira. Sussana sudah merebahkan diri di brankar pasien di ruang tindakan melahirkan. Ternyata memang bukan kontraksi palsu karena rasa nyerinya makin sering. “Saya periksa dulu ya, Bu,” ujar Dokt
Pembaca, mohon maaf bab sebelumnya banyak typo dan ada kalimat tidak nyambung, saya juga bingung kenapa bisa begitu.=====“Aku mau bertemu Mas Akbar,” ujar Sussana. “Jangan dulu, sayang. Akbar masih dalam pemeriksaan dan pemantauan Dokter. Mamih takut kalau nanti Akbar malah menyakiti kamu,” sahut Zudith penuh kekhawatiran.“Nggak akan Mih, Mas Akbar baik sama aku. Dia cinta aku.” “Sussana, sabar sayang. Fokus pada bayi kamu dan kesehatan kamu dulu sambil kita tunggu kondisi Akbar yang lebih baik,” nasihat Halimah.“Tapi Bun?”“Kita semua paham jika kamu sangat peduli pada Akbar, tapi jika dipaksakan dan ternyata Akbar malah tidak nyaman akan berimbas pada kamu Sussana. Jika perlu, Akbar akan kita bawa ke Singapura untuk pengobatan yang lebih baik,” ungkap Ayah mertua Sussana dengan saran bijaknya.Semua berpendapat melarang Sussana bertemu Akbar, akhirnya dia pun mengalah untuk tidak memaksa bertemu dengan Akbar. Sudah diperbolehkan pulang setelah perawatan pasca melahirkan, Suss
“Sebenarnya siapa kalian? Mengapa bisa tinggal di sini?” tanya Akbar.Senyum di wajah Sussana langsung berubah menjadi tatapan sendu. Yuna yang sedang memeluk kaki Akbar sambil berteriak, “Daddy,” dilepaskan oleh Sussana. “Kemarilah sayang, Daddy sedang sakit,” ujar Sussana.Akbar menyorot tajam pada Sussana. “Daddy,” ujar Yuna dengan raut wajah siap menangis, tangannya terjulur seakan ingin diraih oleh Akbar.“Mbak Mer,” panggil Sussana.“Iya, Bu.”“Bawa Yuna ke kamarnya,” titah Sussana. Mer sempat menoleh pada Akbar yang dengan raut wajah datar menatap Sussana dan Yuna bergantian.“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujar Akbar sambil duduk di salah satu sofa.Sussana mengeratkan gendongan bayinya. “A-aku Sussana.”“Ahh, jadi kamu yang bernama Sussana.” Akbar duduk bersandar dengan menyilangkan kakinya menatap Sussana dengan pongah. Sussana merasakan dejavu, dengan sikap arrogant Akbar seperti saat mereka pertama kali bertemu.Akbar menatap foto pernikahannya dengan Sussana yang terp
“Benar dong, bukan cuma cinta doang tapi bucin. Bucin mampus ditambah protektif banget. Lo pasti nggak ingat Mas, kalau selama ini selalu menempatkan orang untuk melindungi Sussana. Asal tau aja, Sussana juga banyak yang suka. Secara dia masih muda, pasti masih gress. Ada pria yang sampai saat ini selalu mendekati Sussana. Namanya Aldi,” ujar Bira.Akbar memaksa otaknya untuk mengingat apa yang disampaikan Bira mengakibatkan rasa nyeri hebat membuat Akbar memejamkan mata sambil memegang kepalanya. "Akbar," panggil Zudith sambil menghampiri Akbar yang kemudian tidak sadarkan diri. Malam itu juga Akbar dilarikan ke Rumah Sakit untuk kembali mendapatkan perawatan. "Pasien terlalu memaksa diri untuk mengingat, ini berbahaya. Sebaiknya jangan lakukan hal ini, lebih baik terapi untuk mengembalikan ingatan," ujar Dokter. Sussana yang mendapatkan berita jika Akbar kembali mendapatkan perawatan kembali, memaksa untuk menyusul ke Rumah Sakit. "Jangan Bu, Nyonya Zudith bilang Ibu sebaiknya te
“Cemburu? Mana ada aku cemburu. Cinta juga enggak, jadi tidak mungkin aku cemburu,” ujar Akbar masih dengan sikap pongah dan menatap lekat pada Sussana yang berdiri di depan mejanya. Mendengar pengakuan Akbar yang mengatakan tidak mencintainya, membuat Sussana harus menghela nafas panjang. ‘Sabar, namanya juga orang sakit ya begitu. Kalau sudah sehat mungkin tadi aku sudah ditarik diajak pulang,’ batin Sussana. Sussana meletakan makan siang yang dibawanya untuk Akbar. “Ini makan siang Mas Akbar, dihabiskan. Menunya sudah sesuai dengan yang direkomendasikan oleh Dokter. Jangan lupa juga obatnya,” titah Sussana lalu berbalik dan meninggalkan Akbar. “Hei, mau kemana kamu?” tanya Akbar. Sussana menghentikan langkahnya lalu menoleh, “Mau ke bawah, temui para senior aku waktu masih magang di sini. Udah lama nggak ketemu, kangen juga sih,” sahut Sussana. “Sebaiknya kamu pulang. Dari pada melakukan kegiatan tidak jelas, lebih baik urus anak-anak kamu,” sindir Akbar. “Ya nggak apa-apa do
“Mas Akbar,” ujar Sussana. “Kalian saling kenal?” tanya Akbar pada Aldi dan Sussana. Sussana menghela nafasnya karena Akbar kembali menunjukan kekurangannya karena amnesia. Aldi yang tidak mengetahui situasi Akbar menoleh pada Sussana penuh tanya. “Mas Akbar, baiknya kita masuk. Makanannya pasti sudah siap,” ajak Sussana pada Akbar sembari menarik tangan Akbar agar masuk ke dalam restoran. “Tunggu, aku belum selesai bicara. Laki-laki itu, kamu ....” “Stt, sudah. Ayo masuk,” ajak Sussana lagi. Sussana dan Bowo sedang menikmati hidangan di hadapan mereka. Hanya Akbar yang saat ini malah bersedekap sambil menatap Sussana di hadapannya. Belum mengingat dan merasakan cinta yang luar biasa pada Sussana tapi melihat Sussana yang berinteraksi dengan pria lain sungguh membuat hatinya tidak nyaman. Akbar benar-benar tidak menyukai hal itu. “Nggak usah segitunya ngeliatin aku. Yang ada nanti jatuh cinta sebelum sembuh dari amnesia,” ujar Sussana tanpa menatap Akbar. Bowo hanya terkekeh mende
Akbar berdecak lalu menarik tangan Sussana dan membuat wanita itu jatuh duduk pada pangkuan Akbar. Akbar refleks menempelkan kedua tangannya pada meja seraya mengatakan “Tenang saja, anak-anakmu di rumah dipastikan oleh Mamih aman.” Akbar semakin mendekatkan tubuhnya dan salah satu tangan menahan tengkuk Sussana. Wajah Akbar semakin dekat dengan wajah Sussana, bahkan hembusan nafasnya terasa di wajah Sussana. Sussana menahan dada Akbar, "Anak-anakku itu anak-anakmu juga," ucap Sussana ketus. Akbar kembali mendekatkan tubuhnya, menatap dengan jelas wajah Sussana. ‘Shitt, dia memang cantik dan menggemaskan. Apa hal ini yang membuat aku jatuh cinta sampai akhirnya menikah dengannya,’ batin Akbar. "Harusnya Mas Akbar mphhh ...." ucapan Sussana terhenti karena Akbar mempertemukan bibir mereka. Pagutan bibir yang dilakukan oleh Akbar sangat lembut dan dalam dengan penuh perasaan. Sussana yang terkejut dengan sentuhan Akbar berusaha melepaskan diri tapi tidak berhasil karena memang tengk
Akbar mengurai pagutannya karena merasakan getaran dari ponsel Sussana. Menatap lekat wajah Sussana, karena sinyal di tubuhnya mengharapkan lebih dari sekedar penyatuan bibir. Tangan Akbar mulai berpindah pada blouse yang Sussana kenakan, meraba kancing dan mulai melepaskannya. “Mas Akbar mau ngapain?” tanya Sussana, lebih tepatnya bertanya yakin kita mau lakukan sekarang. Karena sejujurnya Sussana pun sangat merindukan Akbar, tapi dia ragu jika harus tetap menenuhi tugasnya sebagai seorang istri mengingat Akbar yang belum mengingat sepenuhnya tentang kisah cinta dan pernikahan mereka. Gerakan tangan Akbar terhenti karena memandang liontin dari kalung yang dikenakan Sussana. “Aska,” ucap Akbar. "Dasar Om-om gila, gue sumpahin loe menikah sama berondong atau pasangan loe selingkuh sama berondong dan loe bucin akut. Ingat ya bucin!" “Ahhhh.” Akbar memegang kepalanya yang tetiba sakit, setelah sekelibat bayangan seorang gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Sussana menyumpahinya. “
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A