"Ng-nggak, Mi," jawab Hanna gugup sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. "Itu koper Haris ada di situ."
Hanna menunjuk kopernya dan koper sang suami yang belum dibereskan.
"Kenapa kamarnya seperti ini? Apa dia nggak sakit mata melihat kamar yang terlalu berwarna? Biasanya laki-laki kamarnya berwarna gelap atau putih saja."
'Benar juga, kamarnya kan nuansa abu,' batin Hanna.
"Terus aku harus gimana, Mi?"
Hanna juga tidak mau kalau suaminya merasa tidak nyaman dengan nuansa kamar yang berwarna merah muda sangat kontras dengan karakter suaminya yang dingin.
"Kamu bicarakan dengan suamimu aja," jawab sang mami. "Jadi istri jangan egois Hanna. Mungkin juga dia melakukannya karena terpaksa."
"Terpaksa?"
"Maksud Mama, dia terpaksa menyukai sesuatu yang kamu sukai supaya kamu nyaman bersamanya."
"Aku nggak pernah minta kamarku harus gini. Dia nggak pernah tanya aku juga."
"Dia berusaha menyenangkan
Hanna menyiapkan pakaian dan keperluan suaminya selama di luar kota. Walau ia merasa sedih karena merasa tak dianggap oleh suaminya, Hanna tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri."Bayu, ini udah semua, cepat antarkan! Nanti Haris terlalu lama menunggu." Hanna memberikan koper berwarna hitam itu pada sopir pribadi suaminya."Iya, Nona. Sepulang mengantar ini, saya akan membereskan semuanya.""Nggak apa-apa biar saya suruh yang lain aja.""Baiklah, Nona, saya berangkat dulu!"Bayu pun pergi sambil menenteng koper kecil berisi keperluan bosnya.Setelah Bayu pergi, Hanna memanggil pelayan di rumahnya untuk memindahkan barang-barang ke kamar yang lainnya.Hanna membuka pintu kamar sebelahnya yang bernuansa abu tua dan putih."Mungkin ini kamar pribadinya," gumam Hanna sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan."Biar saya bantu, Nona!" kata Bi Nia ketika melihat sang nona membereskan
"Aku udah salah sangka sama suamiku sendiri. Maafkan aku Haris," ucapnya sambil menatap wajah sang suami yang terpampang di layar ponselnya. "Apa aku telepon balik aja ya? Tapi takut mengganggu istirahatnya, pasti dia capek banget."Hanna merebahkan tubuhnya sambil terus menatap wajah tampan suaminya."Haris, aku-"Ponselnya kembali berdering, ada panggilan video dari sang suami. Tanpa berpikir lagi ia langsung menggulir ikon telepon berwarna hijau.“Sayang, kamu dari mana aja? Kenapa sejak pagi tidak bisa dihubungi?”“Maafkan aku, Haris, tadi aku beresin pakaian kita, abis itu ngobrol sama Lura.”“Jangan terlalu capek, kamu istirahat saja, biarkan pelayan yang melakukan pekerjaan itu.”“Sayang … maafkan aku ya, tadi aku udah berburuk sangka sama kamu. Saat kamu menelepon Bayu untuk menyuruhnya menyiapkan pakaianmu, aku marah sama kamu, kenapa kamu nggak meminta aku untuk menyiapkannya,
“Sayang, kamu jangan panik ya, selama kamu berada di rumah itu, kalian akan aman-aman saja.”“Iya, tapi ada apa?”“Evans bilang kalau ada orang yang mengancamnya. Dia khawatir Lura juga menjadi sasaran orang itu. Tapi, kalian tidak usah khawatir dia sudah lapor polisi. Orang-orangnya juga sudah berjaga di rumah.”“Iya, Lura memang sedang ketakutan, tapi dia belum mau cerita.” Hanna melirik adik iparnya yang sedang menatapnya sambil memeluk guling.Lura bangun dan terduduk, lalu berkata, “Mbak, apa itu Mas Haris?”Hanna mengangguk sambil tersenyum .”Apa kamu mau ngomong sama dia?” tanya Hanna yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh gadis itu.Lura memberikan ponsel itu kepada adik iparnya sambil mengagngguk. "Katakan pada Haris supaya kamu bisa lebih tenang."Lura mengangguk, lalu berkata, “Mas Haris, aku takut.”“Lura, jangan takut! Kamu
“Mas … Mas … Mas Evans!” Lura berteriak sambil menangis saat sambungan teleponnya tiba-tiba terputus. Ia sangat mengkhawatirkan calon suaminya.“Lura, Evans kenapa?”Melihat adik iparnya menangis, Hanna menjadi panik.“Sambungannya tiba-tiba mati,” jawab Lura sambil terisak.Ia terasa lemas, hingga benda pipih yang ia pegang terjatuh ke dalam pangkuan.Hanna segera mengambil ponselnya untuk mencoba menghubungi Evans kembali. “Lura, ini cuma hapeku aja yang mati. Sejak pagi nggak aku isi daya," kata Hanna setelah melihat ponselnya tidak bisa hidup lagi.“Jadi, Mas Evans nggak apa-apa ‘kan? Aku takut dia kenapa-kenapa?”“Kamu jangan khawatir ya! Dia pasti baik-baik aja."Lura menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya.“Pantas saja tadi pagi dia buru-buru pulang, dia tidak memberitahuku kalau ada masalah kayak
“Nona … stop, Nona! Apa yang anda lakukan pada Tuan Evans!” Bayu berteriak sambil berlari menghampiri majikannya.“Apa?!”Hanna dan Lura menghentikan aksinya, lalu saling tatap. Lura menarik jaket Evans supaya menghadapnya.“Kenapa kamu diam aja?” Lura melempar payung itu dari tangannya. Begitu pun dengan Hanna ia mengalungkan tali tambang itu pada leher Bayu.Evans berusaha menelan makanannya, dengan susah payah, lalu berkata, “Mulutku penuh dengan makanan, bagaimana bisa aku berteriak."“Astaga, Mas, maafkan aku.”“Aku nggak ikut-ikutan ya.” Hanna mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum.“Ih … kan ini ide dari Mbak Hanna.” Lura menatap kakak iparnya sambil mengerucutkan bibir.“Hahaha … dari pada kita yang diserang lebih baik kita menyerang duluan. Lagian kenapa dia keluyuran di rumah orang tanpa izin? Ngambil makanank
"Mas Bayu, senyumnya aku tarik lagi ya. Nanti aku senyum lagi kalau Mas Evans nggak ada.""Mana bisa begitu? Walaupun aku nggak ada, kamu nggak boleh senyum kepada laki-laki lain!" tegas Evans sekali lagi.Lura menatap calon suaminya sambil bertanya, "Ini bibir siapa?" tanya Lura sambil menunjuk bibirnya."Ya bibir kamu lah."Lura mengangguk. "Jadi terserah aku dong, nih bibir mau menyon ke kiri atau ke kanan. Mau nyengir ke siapa juga terserah aku.""Ok. Jadi aku bisa juga dong senyum sama cewek lain," kata Evans."Ya nggak boleh lah!" tegas Lura."Masa gitu?""Ini bibir hanya milikku, jadi senyumlah kepadaku, jangan senyum kepada cewek lain," jawab Lura sambil mencomot bibir Evans."Harusnya tadi aku juga jawab begitu," gumam Evans dengan sangat pelan sambil mendelikkan matanya pada Lura.Ketika Lura ingin membalas gumaman kekasihnya. Bayu menyelanya."Sebaiknya Nona Lura dan Tuan Evans jangan senyum kepa
“Sayang, apa kamu tertarik dengan tubuhku yang seksi ini?” Evans membuka tangan Lura yang menutupi wajah. “Tataplah aku sepuasnya. Hari ini aku sedang berbaik hati pada calon istriku.”"Mas Evans kamu apa-apaan sih?" Lura memukul dada bidang suaminya."Kalau kamu tidak puas hanya menatapnya aja, dipeluk juga boleh." Evans tersenyum sambil memainkan alisnya.“Apa kamu ingin aku melaporkan perbuatan kalian kepada suamiku?” ucap Hanna tanpa menoleh kepada kedua pasanagn itu. Ia memang sudah memejamkan matanya, tapi ia tidak bisa tidur karena merindukan suaminya.“Tuh ‘kan, kamu nggak tahu kalau satpamku sekarang lebih menyeramkan,” kata Lura tanpa berani memandang tubuh kekar suaminya. “Cepatlah berbalik, aku akan mengobatimu.”“Obatilah dadaku dulu.” Evans meraih tangan Lura dan menempelkan di dadanya.“Aku tadi cuma memukul lengan dan punggungmu, aku nggak mem
Haris langsung menutup teleponnya tanpa mendengarkan dulu penjelasan Evans.“Yah gimana ini? Mas Haris pasti marah besar, dia pasti udah berpikir yang nggak-nggak.”“Kamu sih Sayang, pakai nongol segala,” ucap Evans yang mendapat pukulan lagi di punggungnya.“Astaga, apa dulunya kamu tukang pukul?” Evans memegangi tangannya yang dipukul Lura. “Aku nggak bisa ngebayangin kalau melakukan kesalahan setelah menikah nanti.”“Sekarang kan kita belum menikah, ya udah kita batalin aja, toh Mas Haris juga udah menarik restunya.”“Sayang, maafkan aku. Aku hanya bercanda. Mati di tanganmu pun aku rela, asal kamu menjadi istriku,” ucap Evans dengan serius, lalu menoleh kepada Hanna. “Kakak ipar tolong bantulah aku! Aku bisa stress kalau begini, satu masalahku belum selesai, Haris dan Lura marah padaku. Hari ini aku benar-benar sial.”Mendengar ucapan calon suaminya, Lura
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te