"Mas, brewok kamu cukur! Aku geli lihatnya. Tipis-tipis aja kayak Mas Gilang, jangan rimbun kayak gini. Kamu kayak om-om brewoknya tebel banget.Setelah beberapa minggu terakhir Evans sangat malas merawat wajahnya. Ia membiarkan rambut-rambut halus menutupi pipi belakang hingga dagunya."Kamu suka sama Gilang? Sejak kapan kamu suka sama dia?" Evans cemburu Lura memuji laki-laki lain, terlebih lagi laki-laki itu adalah Gilang."Ngaco!" Lura mendorong wajah laki-laki yang duduk di sampingnya dengan telapak tangannya.Ia tahu suaminya sedang cemburu, tapi mendengar pertanyaan itu, mengingatkan Lura pada kejadian dulu di apartemen Gilang. Namun, ia berusaha untuk bersikap biasa saja seolah tidak pernah ada kenangan buruk itu."Cukur semuanya juga nggak apa-apa kayak Mas Haris," ucap Lura untuk mengalihkan pembicaraan.Namun, ucapannya lagi-lagi membuat Evans cemburu."Kamu suka laki-laki yang nggak ada brewoknya seperti Haris? Jangan-jangan kamu mencintai kakakmu," tukas Evans.Lura bangu
Beberapa menit kemudian Lura kembali ke dalam kamar, saat itu Evans sedang rebahan sambil menatap ponsel dengan serius.“Mas, kamu nggak ke kantor?” tanya Lura sambil berjalan menuju ruang ganti.Ia mengambil baju dari lemari, lalu menggantinya dengan terusan selutut berwarna biru metalik. Setelah ganti baju Lura mendekati suaminya yang belum beranjak dari tempat tidur.“Mas, sebelum ke kantor, antar aku ke rumah mama dulu ya.” Sejak tadi Lura berbicara, tapi tidak sedikit pun direspons oleh suaminya. “Mas, kamu denger aku nggak sih?” Lura memukul kaki suaminya, hingga laki-laki itu terkejut.Evans bangun dan terduduk sambil memerhatikan istrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu mau ke mana?”"Dari tadi kamu nggak dengerin aku? Ada apaan sih tuh di hape sampai-sampai aku diabaikan dari tadi?""Aku cuma lihat ini." Evans menunjukkan ponselnya yang menampakan berbagai macam makanan khas Nusantara. "Kamu mau ke mana pagi-pagi?"“Aku mau ke rumah mama,” jawab Lura sambil menyamp
Lura menghentikan tangisnya, ia mengusap air mata yang membasahi wajah cantiknya. Matanya memicing dengan sinis menatap sang suami.'Waduh, tanduknya udah keluar.' Evans dengan susah payah menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering melihat aura panas dalam tubuh istrinya.Ia yakin akan ada ledakan yang dahsyat jika Nyonya muda Prasetyo sudah mengeluarkan tanduknya.'Perasaanku nggak enak,' ucap Evans dalam hatinya.“Kamu mau melakukan apa pun yang aku suruh?” tanya Lura dengan serius. Ia mempunyai rencana jahat supaya suaminya tidak berani mengabaikannya lagi.Evans mengangguk dengan cepat. “Aku akan melakukan apa pun supaya kamu tidak pergi meninggalkan aku dan anak-anak.” Ia mengacungkan dua jarinya sembari cengengesan. "Aku janji."“Baiklah kamu harus-”“Daddy …!” teriak Qenan dari ambang pintu kamar menghentikan ucapan Lura.Anak laki-laki itu berjalan cepat menghampiri kedua orang tuanya."Apa Daddy menyakiti Mommy?” tanya Qenan sambil bertolak pinggang.Evans melepask
"Apa yang kalian bicarakan? Apa Kalian sedang membicarakan Daddy? Evans curiga anak dan istrinya sedang membicarakan dirinya dari tingkah Qenan dan Lura sangat mencurigakan."Bukan apa-apa kok, Dad." Qenan melirik mommy-nya sambil tersenyum. "Iya kan, Mom?""Iya. Lagian PD banget, siapa yang ngomongin kamu. Ayo Sayang kita pergi." Lura berjalan cepat mengimbangi langkah Canon yang setengah berlari karena takut terlambat masuk sekolahCanon menoleh ke belakang melihat daddy-nya yang berjalan sangat santai. Ayo dong, Dad, aku udah terlambat ini.""Iya, sayang. Ini Daddy udah berjalan cepat kamunya aja yang jalan kayak orang lagi lomba lari.""Awas ya kalau sampai aku dimarahin sama Miss Clara, Daddy yang harus tanggung jawab.""Kamu tenang aja, Sayang, kita akan terlambat. Sekolah kamu kan dekat sepuluh menit doang juga sampai.""Mulai besok Om Bayu tinggal di sini aja, nganterin aku sekolah, kalau seperti ini terus aku bisa telat setiap hari." Qenan benar-benar marah kepada daddy-nya.
Evan menambah kecepatan mobilnya supaya cepat sampai di tempat yang dituju.Tidak lama kemudian ia sampai di salon khusus pria. Lura segera keluar dari mobil dan berjalan lebih dulu, sedangkan Evans masih ragu-ragu. Sejujurnya ia tidak mau digunduli, tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku harus meminta bantuan Robby." Laki-laki tampan itu mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celana, kemudian menghubungi asisten pribadinya"Halo, Bos. Anda di mana? Saya ada di rumah Anda, ada berkas yang harus ditandatangani sekarang juga." Robby yang berbicara lebih dulu setelah sambungan teleponnya terhubung."Kenapa kamu tidak meneleponku lebih dulu? Aku sekarang ada di salon," jawab Evans sambil terus memperhatikan istrinya yang berjalan masuk ke dalam salon."Salon?" Alis Robby bertaut kebingungan. "Apa Anda sedang mengantar Nyonya? Tumben sekali Anda mau menemaninya.""Sudahlah jangan banyak bertanya sekarang cepat ke sini saya tidak bisa pulang, ini baru sampai salon." Evans berbicara samb
"Sudahlah jangan banyak alasan. Ayo cepat ikutin Mas itu!" titah Lura sampai menunjuk pegawai salon itu."Mari, Tuan, ikut saya." Pegawai salon itu berjalan lebih dulu, lalu mempersilakan Evans untuk duduk. "Silakan, Tuan, duduk di sini." Laki-laki yang memakai kaus berwarna merah itu memasangkan kain kip pada Evans."Laki-laki jangkung kurus itu mulai mencukur rambut Evans hingga habis. Lura sejak tadi memperhatikan suaminya sembari menahan senyum.'Semoga kamu nggak marah sama aku ya, Mas,' ucap Lura dalam hati sambil tertawa tanpa suara. 'Tersiksa banget tertawa kayak gini. Sumpah pengin banget ngakak.'Evans memejamkan mata, ia tidak berani menatap cermin yang ada di depannya.'Ya Tuhan, begini amat nasib gua,' batin Evans.Sejak tadi Lura terus menahan tawa melihat suaminya yang sudah tidak berambut lagi. 'Asli ... sakit banget pipi gue nahan ketawa,' ucapnya dalam hati. 'Durhaka nggak ya gue sama laki sendiri? Tapi kalau nggak gini, dia bakal seenaknya aja.'"Ya ampun, kok kamu
"Aku banyak kutunya makanya dicukur habis sampai botak," jawab Evans asal sambil menadahkan tangan meminta berkas yang akan ia tanda tangani. "Mana berkasnya? Cepat berikan! Aku mau jemput Qenan."'Pantas aja banyak kutunya, rambut sama brewoknya rimbun banget nggak pernah diurus,' ucap Robby dalam hatinya sambil memberikan berkas yang ia bawa dari kantor."Ini, Tuan." Robby menyerahkan berkas yang akan ditandatangani oleh bosnya.Evan segera menandatangani berkas itu. "Terima kasih sudah setia padaku," ucapnya sebelum menyerahkan kembali berkas itu."Sama-sama." Robby tersenyum senang mendengar ucapan bosnya. "Saya akan selalu setia padamu, Bos.""Terima kasih." Evans menepuk-nepuk bahu asistennya. Robby masih berdiri sembari melihat bosnya masuk ke dalam mobil."Robby kami pulang duluan," pamit Lura kepada asisten suaminya sambil melambaikan tangan.Robby menjepit berkas di antara lututnya, lalu mengacungkan dua jempol tangannya kepada Lura."Anda hebat, Nyonya," ucap Robi dengan
"Ya ampun, Mas, kamu sensitif banget sih." Lura mendorong pipi suaminya sembari tertawa. "Aku sangat mencintaimu, Mas, tapi kamu bisa kena masalah kalau sampai telat jemput anakmu. Udah nganterin telat, jemput juga telat."Laki-laki botak itu tersenyum bahagia. "Kamu benar, Sayang. Bos kecil pasti bakal tambah marah."Mobil mewah berwarna hitam mengilat itu kembali melaju."Mas kayaknya itu mobil Robby deh." Lura melihat mobil asisten suaminya dari spion samping. Dia mau ke kantor apa emang sengaja nyusulin kita?"Evans menoleh pada spion. "Iya, itu mobil Robby, tapi ini kan bukan jalan arah ke kantor.""Mungkin masih ada perlu sama kamu, Mas atau jangan-jangan tanda tangannya belum lengkap."Seketika Evan menghentikan mobilnya di bahu jalan ketika teringat dengan rambut palsu yang dipesan kepada asistennya."Jangan ngerem mendadak gini dong, Mas!" Protes Lura sembari memukul lengan suaminya."Maaf, Sayang." Evans mengelus-elus tangan Lura, lalu menoleh ke belakang. "Dia pasti mau mem
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te