"Kamu mah modus." Hanna mengerucutkan bibirnya. "Kalau cuma ingin dicium nggak usah bohongin aku kayak gitu."
"Saya senang menjahili kamu." Haris tertawa geli melihat wajah jutek istrinya.Hanna menegakkan duduknya, lalu bertanya. "Yang, kok kamu bisa kecelakaan sih? Kamu nggak hati-hati ya bawa mobilnya.""Saya sudah hati-hati, tapi yang namanya mau celaka siapa yang tahu," sahut Haris. "Tadi tuh tiba-tiba ada kecelakaan di depan. Dan saya tidak bisa menghindarinya.""Kamu kecelakaan beruntun?"Haris mengangguk sambil tersenyum. "Beruntungnya di belakang kendaraan saya, tidak ada lagi mobil yang berjarak dekat.""Memang musibah itu nggak bisa dihindari, tapi kalau kamu fokus dan berhati-hati kan bisa menghindari cedera parah?" sahut Hanna. "Waktu kalian dibawa ke rumah sakit, kamu sadar nggak?""Haris menggeleng. Saya tidak ingat apa-apa. Saya sadar setelah mendapat penanganan dari Dokter.""Waktu dapat kabar dPak Hartono masuk ke dalam ruang perawatan anaknya. Sebenarnya ia tidak mau mengganggu, tapi ia harus pamit terlebih dulu kepada anak dan menantunya.“Papa dan Tuan Rizki mau ke kantor, kalian tidak apa-apa kan kami tinggal?” tanya sang papa kepada anak dan menantunya. “Mama kalian sudah di perjalanan. Nyonya Anin sudah datang untuk menunggu keponakannya.”“Iya nggak apa-apa, Pa,” sahut Hanna sembari tersenyum tanpa berani menatap mertuanya. Tentu saja sang papa tidak akan melihat senyum indah di wajah juteknya.“Papa pergi saja, kami tidak apa-apa.” Haris menimpali. "Semua berkasnya sudah disiapkan sekretaris Boss Gilang.Seharusnya hari ini ia dan boss-nya meeting bersama investor baru. “Baiklah. Kalian harus jaga sikap ini di rumah sakit bukan rumahmu sendiri,” kata Pak Hartono sebelum keluar dari ruang perawatan anaknya.“Baik, Pa,” jawab Haris, sedangkan Hanna hanya diam saja karena merasa malu kepada mertuanya itu.
“Eh itu udah ada perawat yang ke ruangan Haris,” gumam Hanna ketika ia hendak kembali ke ruangan suaminya. “Aku akan menemui Mas Gilang dulu, kenapa dia menunggu di situ? Kenapa nggak beristirahat di ruang perawatan aja?”Hanna tidak jadi kembali ke ruang perawatan suaminya karena ia penasaran dengan keadaan Naya, bayangan jelek melintas dalam pikirannya. “Semoga Naya tidak apa-apa,” gumamnya sambil berjalan cepat menghampiri Gilang dan tantenya.“Hanna, bagaimana keadaan Haris?” tanya Gilang saat wanita itu menghampirinya.“Mas Haris baik-baik aja kok, Mas,” jawab Hanna. “Mas Gilang istirahat di ruang perawatan aja, biar saya dan Tante Anin yang menunggu Naya.” titah Hanna pada laki-laki yang sedang bersandar pada dinding.Laki-laki yang memakai alat penyangga di tangan kanannya tampak menahan air mata. Ia terlihat sangat sedih. Perlahan tubuhnya luruh dan terduduk di lantai.Sang tante berjongkok di hadapan keponakannya. “Saya
“Mas, jangan bicara seperti itu. Tuhan lebih sayang kepada anak kalian,” kata Hanna.“Iya, kamu benar. Tuhan lebih sayang pada calon anak kami, untuk itulah Tuhan mengambilnya kembali karena kami bukan orang tua yang tepat yang mampu merawat titipan-Nya.”“Lang, kamu jangan bicara seperti itu.” Sang tante kembali duduk di samping Gilang, lalu memeluk keponakannya. “Kamu harus kuat.”“Iya, Tante.” Gilang menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia melakukannya berulang-ulang.“Han, maafkan Tante. Bukannya Tante mengusir, tapi Haris juga butuh kamu, Sayang. Kamu temani suamimu aja, ada kami yang menunggu Naya.”Hanna mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Iya, Tante. Aku lupa, tadi aku keluar untuk memanggil perawat karena ada darah di selang infus Mas Haris.”“Sayang, kan ada alat panggil perawat,” kata Tante Anin mengingatkan.“Iya, Tante, tadi aku lupa saking paniknya melihat darah di selang infus.”
"Nona Naya keguguran?" ulang Haris. "Boss Gilang pasti merasa terpukul."Hanna langsung memukul lengan Haris karena kesal dengan suaminya. "Kenapa Mas Gilang yang dikasihani? Yang paling terpukul itu pasti Naya.""Iya iya, maaf. Maksudnya selama ini Boss Gilang telah menyakiti hati Nona Naya, pasti dia merasa sangat bersalah."Haris meralat ucapannya supaya Hanna tidak memukulnya lagi. Padahal ia berbicara seperti itu supaya Hanna tidak merasa kalau dirinya terlalu perhatian pada sang nona. Haris ingin selalu menjaga hati wanita yang dicintainya."Jangan mentang-mentang dia Boss kamu, dibela terus walau salah," ketus Hanna."Bukan seperti itu, Sayang. Mungkin tadi kepala saya terbentur, jadi belum sinkron. Makanya jadi salah ucap." Haris mencoba menjelaskannya dengan sedikit guyonan supaya suasananya kembali mencair. Ia sangat tidak ingin istrinya marah lagi."Hahaha ... kamu ini ada-ada aja." Hanna tertawa mendengar uc
Hanna dan Haris terdiam, mereka hanya saling pandang tanpa berani berkomentar apa pun tentang ucapan sang mama.Mama Riska mendekati menantunya. "Sayang, bukannya Mama nggak mau punya cucu dari kamu, tapi hanya menunda. Mama cuma khawatir kamu belum siap menjadi seorang ibu di usiamu yang masih muda." Hanna hanya diam saja, ia mencari jawaban yang tepat supaya tidak menyinggung perasaan mertuanya karena ia tahu maksud sang mama itu baik.Mama Riska membingkai wajah menantunya. "Bukannya nggak percaya sama kamu dalam mengurus bayi. Mama cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, Sayang.""Iya, Ma, aku ngerti kok," jawab Hanna sambil tersenyum. "Aku dan Mas Haris nggak terlalu ngotot pengin anak secepatnya. Kami akan menikmati masa pacaran setelah menikah terlebih dulu." Hanna tidak menolak ataupun mengiyakan ucapan sang mama. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak Tuhan.'Dia memang sangat manja, tapi cara berpikirnya sangat dewasa. Saya jadi sem
"Naya masih tertidur," jawab Tante Anin.Hanna menoleh pada Gilang yang sedang mengusap air matanya. "Mas, kamu harus kuat. Cuma kamu kekuatan Naya saat ini." Hanna mencoba menenangkan Boss suaminya yang sejak tadi terus menyalahkan diri sendiri."Hanna benar," timpal Tante Anin. "Harusnya kamu pikirkan bagaimana caranya mengatakan pada istrimu kalau bayi kalian sudah tidak ada."Tanpa mereka ketahui, Naya sudah terbangun, namun ketika mendengar ucapan sang tante, ia kembali memejamkan matanya.Air matanya tak terasa merembes dari sudut matanya. Naya merasa gagal menjadi seorang ibu. Harapan satu-satunya untuk mempertahankan pernikahannya kini sudah tiada."Aku nggak sanggup menyampaikan semua ini pada Naya." Gilang meringis sambil memegangi kepalanya."Lang, kamu kenapa? Apa kepalamu pusing lagi?" Tante Anin menghampiri keponakannya. "Kamu istirahat aja." Sang tante membantu Gilang untuk berbaring di ranjang ruma
Mendengar suara Naya, Gilang langsung membuka matanya dan perlahan bangun. Ia turun dari ranjang untuk menghampiri istrinya.“Sayang ….” Gilang membelai wajah Naya dengan tangan kirinya.“Tanganmu kenapa?” Naya mencoba bangun, tapi tidak bisa. Gilang juga tidak bisa membantunya karena tulang siku lengan kanannya mengalami pergeseran.“Sayang kamu tidur aja ya. Aku nggak apa-apa,” jawab Gilang.“Tapi kenapa tanganmu pake penyanggah kayak gitu?”Melihat suaminya penuh luka di dahi dan tangannya membuat Naya merasa sedih karena ia tidak bisa merawatnya.“Tulang siku aku sedikit bergeser, tapi ini tidak apa-apa.” Gilang meraih tangan Naya, lalu menciumnya. “Sayang … maafkan aku.”Gilang tidak kuat menyampaikan kabar duka kepada istrinya. Ia juga merasa sangat terpukul apalagi Naya yang sudah merasakan kehadirannya di dalam perut, tapi sekarang tidak ada, pasti ia sangat sedih jika tahu kalau anaknya sudah tiada.“Ma
"Aku juga mencintaimu, Sayang." Gilang mencium kening istrinya sambil menitikkan air mata."Mas, kok kamu nangis? Tanganmu sakit ya?" tanya Naya sambil mengelap keningnya yang kena tetesan air mata suaminya.Gilang memandang istrinya sambil tersenyum. "Aku bahagia, kamu mau memaafkanku."Naya mengusap air mata di pipi suaminya. "Malu ih, jadi laki cengeng banget.""Cuma kamu yang bisa membuatku jadi pengemis cinta," ucap Gilang sambil mencubit hidung Naya dengan tangan kirinya."Ada lagunya tuh, Mas. Lagu dangdut," kata Naya sambil tertawa. "Kamu nyanyi dong buat aku. Kamu mah bisa nyanyi, tapi nggak pernah nyanyiin aku.""Ya ampun, Sayang, aku nggak hafal lagu dangdut," sahut Gilang. "Mulai hari ini aku akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu, tapi lagunya terserah aku ya.""Ya udah, asal jangan lagu dangdut, soalnya lagu itu enak dinyanyiin sambil goyang," sahut Naya. "Yang ada bukannya tidur, malah asyik ngebor,
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te