Mendengar suara Naya, Gilang langsung membuka matanya dan perlahan bangun. Ia turun dari ranjang untuk menghampiri istrinya.
“Sayang ….” Gilang membelai wajah Naya dengan tangan kirinya.“Tanganmu kenapa?” Naya mencoba bangun, tapi tidak bisa. Gilang juga tidak bisa membantunya karena tulang siku lengan kanannya mengalami pergeseran.“Sayang kamu tidur aja ya. Aku nggak apa-apa,” jawab Gilang.“Tapi kenapa tanganmu pake penyanggah kayak gitu?”Melihat suaminya penuh luka di dahi dan tangannya membuat Naya merasa sedih karena ia tidak bisa merawatnya.“Tulang siku aku sedikit bergeser, tapi ini tidak apa-apa.” Gilang meraih tangan Naya, lalu menciumnya. “Sayang … maafkan aku.”Gilang tidak kuat menyampaikan kabar duka kepada istrinya. Ia juga merasa sangat terpukul apalagi Naya yang sudah merasakan kehadirannya di dalam perut, tapi sekarang tidak ada, pasti ia sangat sedih jika tahu kalau anaknya sudah tiada.“Ma"Aku juga mencintaimu, Sayang." Gilang mencium kening istrinya sambil menitikkan air mata."Mas, kok kamu nangis? Tanganmu sakit ya?" tanya Naya sambil mengelap keningnya yang kena tetesan air mata suaminya.Gilang memandang istrinya sambil tersenyum. "Aku bahagia, kamu mau memaafkanku."Naya mengusap air mata di pipi suaminya. "Malu ih, jadi laki cengeng banget.""Cuma kamu yang bisa membuatku jadi pengemis cinta," ucap Gilang sambil mencubit hidung Naya dengan tangan kirinya."Ada lagunya tuh, Mas. Lagu dangdut," kata Naya sambil tertawa. "Kamu nyanyi dong buat aku. Kamu mah bisa nyanyi, tapi nggak pernah nyanyiin aku.""Ya ampun, Sayang, aku nggak hafal lagu dangdut," sahut Gilang. "Mulai hari ini aku akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu, tapi lagunya terserah aku ya.""Ya udah, asal jangan lagu dangdut, soalnya lagu itu enak dinyanyiin sambil goyang," sahut Naya. "Yang ada bukannya tidur, malah asyik ngebor,
"Naya ... Sayang, maafin Mami ya. Kalian sedang kena musibah, Mami nggak bisa nemenin kalian." Raut wajah sang mami tampak sedih."Mami jangan sedih, di sini ada Tante Anin. Mami jaga Nenek aja. Salam sayang buat Nenek dari aku," ucap Naya."Iya, Sayang, nanti Mami sampaikan," kata sang Mami. "Nanti sore Mami pulang kalau Tante Aisyah sama Om Mahendra datang."Naya menatap wajah mertuanya dari layar ponsel sang tante. "Mi, maafin aku," kata Naya."Maaf kenapa?" Mami Tyas terlihat kebingungan. "Nay, Mami nggak mau denger kabar buruk lagi. Mami nggak akan setuju kalau kalian sampai pisah ""Bukan itu," sahut Naya."Lalu, apa?""Aku nggak bisa jagain cucu Mami. Maafkan aku nggak bisa menjaganya.""Naya ... Sayang dengerin Mami. Kalian masih muda, masih banyak kesempatan untuk mendapatkan anak. Jangan putus asa, Nak." Mami Tyas mencoba menenangkan menantunya. "Kalian nikmati saja masa-masa berdua.""Tapi, a
"Iya, Ayah. Saya akan pastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi. Teguran dari Tuhan membuat saya sadar dengan kesalahan saya." Gilang menunduk di hadapan mertuanya."Kalau sudah kejadian baru sadar," cibir sang ayah mertua."Yah ...." Bunda Maya menggelengkan kepalanya supaya sang suami tidak lagi berbicara kasar."Kamu juga Naya, suami istri itu saling melengkapi. Jika suami ada salah kamu wajib mengingatkan bukannya malah ikut melakukan kesalahan. Begitu pun denganmu Gilang. Kalian harus saling mengingatkan. Buang ego kalian.""Iya Ayah." Naya dan Gilang masih tertunduk mendengarkan setiap nasihat ayahnya."Yah, sudahlah. Kita ke sini untuk jenguk mereka bukan untuk memarahinya." Bunda Maya mengusap-usap lengan suaminya supaya tidak membahas masalah itu dulu."Mereka ini kalau tidak dibilangin pasti akan melakukan kesalahan yang sama. Gengsi mereka gede, nggak ada yang mau mengalah, kalau sudah kejadian seperti ini baru pa
Setelah dua jam berada di rumah sakit, Tante Anin menyuruh Pak Agis dan Bunda Maya untuk pulang."Maaf, Pak, Bu, bukannya saya mengusir, tapi sebaiknya Bapak dan Ibu pulang untuk beristirahat. Perjalanan dari kampung ke sini kan lumayan memakan waktu. Pasti sangat melelahkan.""Tapi, Bu Anin ...."Tubuhnya memang sangat lelah, tapi ia tidak enak hati kalau harus beristirahat di rumah, sedangkan anaknya ditunggui orang lain."Bu, istirahatlah di rumah. Nanti Bapak dan Ibu bisa bergantian dengan saya untuk jagain mereka," pinta Tante Anin lagi."Iya, Bu. Kalau kita di sini semua, siapa yang akan menggantikan Bu Anin." Pak Agis ikut berkomentar."Baiklah, Pak, ayo kita pulang." Bunda Maya dan suaminya pulang untuk beristirahat. Mereka tidak berpamitan pada anak dan menantunya karena Naya dan Gilang sedang tidur.Beberapa menit setelah kedua orang tua Naya pulang, ponsel Gilang berdering.Bunda Anin mengam
"Lura, jangan bicara seperti itu. Kalian kan baru aja menikah, mungkin mereka nggak mau mengganggu malam pertama kamu," kata Tante Anin sambil tersenyum. "Sekarang aja kalian masih di kamar.""Hahaha ... iya sih Tante, tapi kan Mas Evans bisa ke sana, walau aku nggak bisa datang.""Memangnya kamu kenapa?" tanya Tante Anin. "Ah iya, kamu pasti lelah abis malam pertama."Tante Anin menjawab sendiri pertanyaannya sambil tertawa."Nggak kok Tante," elak Lura. "Aku ke sana sekarang. Naya pasti lagi butuh teman berbagi kesedihannya.""Iya, Sayang, Tante tunggu."Sang tante segera menutup panggilan teleponnya. Lalu, menaruh kembali ponsel Gilang di atas nakas.Setelah menelepon Tante Anin, Lura segera menelepon kakak iparnya."Mbak, kabar Mas Haris gimana? Kenapa nggak ngabarin aku kalau Mas Haris kecelakaan? Kalian jahat banget sama aku." Lura mencecar kakak iparnya dengan pertanyaan."Maafin aku Lura. Aku ng
"Iya, Mas." Lura tertunduk sedih karena tidak bisa menjenguk kakak dan sahabatnya."Aku beliin obat dulu ya biar kamu nggak sakit." Evans mencium kening istrinya dengan lembut. "Tunggu sebentar ya.""Jangan, Mas. Malu-maluin aja ih." Lura menarik tangan suaminya yang hendak pergi."Terus gimana?" Evans berlutut di depan istrinya. "Maafkan aku ya, Sayang. Aku nggak bermaksud menyakitimu." Evans mencium jemari lentik istrinya berkali-kali."Nggak apa-apa Mas." Lura menangkup wajah suaminya. "Antar aku ke kamar mandi, Mas. Aku mau berendam air hangat aja, mungkin bisa mengurangi sakitnya.""Baiklah Nyonya muda." Evans segera membopong istrinya ke dalam kamar mandi untuk berendam."Kamu bisa sendiri?" tanya Evans setelah menurunkan istrinya di dalam kamar mandi."Bisa, Mas.""Ya sudah aku antar anak-anak ke rumah Mami dulu ya. Nanti kita ke rumah sakit, mereka nggak ada temennya.""Iya, Mas."Eva
“Kalian sudah siap?” tanya Evans kepada kedua anaknya saat mereka sudah masuk ke dalam mobil siap berangkat ke rumah sang nenek.“Siap, Dad,” jawab Qenan dan Azzam bersama-sama.“Kalian kok bawa tas segala?" Evans melihat kedua anaknya yang sedang sibuk dengan tas ransel yang mereka bawa dari balik spion dalam.“Aku sama Adek mau menginap di rumah Nenek aja,” kata Azzam.Evans menoleh ke belakang. “Kenapa tiba-tiba mau menginap?”“Daddy dan Mommy pasti capek kalau harus mondar mandir jemput kami. Lagian Nenek pasti nggak bolehin kami pulang, masa main sebentar doang."“Ya sudah terserah kalian aja, kita berangkat sekarang?”“Siap, Dad.”“Kalian semangat banget mau ke rumah Nenek,” kata Evans sambil melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.“Nenek udah beliin aku es krim.” kini Qenan yang menjawabnya.“Kalau boleh, aku ingin tinggal bersama Nenek aja, Dad.” Azam berbicara dengan sangat pe
"Untuk sementara aja sampai usia Lura sudah cukup matang. Mami takut kandungannya lemah kayak Naya, kasihan dia."Mami Mala bukan tidak mau mempunyai cucu dari Lura, tapi ia terlalu menyayangi menantunya. Tidak ingin wanita yang dinikahi anaknya itu terluka."Iya, Mi." Evans mengangguk mengerti. "Aku pulang dulu ya."Evans segera pulang setelah berpamitan dengan Mami dan anak-anaknya.Sesampainya di rumah, ternyata Lura sudah siap-siap berangkat ke rumah sakit."Sayang, kamu udah bisa jalan?" Evans memandang istrinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Istriku cantik banget.""Dari tadi juga bisa jalan cuma perih aja jadi ngilu, tapi sekarang udah mendingan kok, cuma sedikit perih aja." Lura mengambil tas selempang berwarna hitam, lalu menyampirkannya di bahu. "Ayo kita berangkat!" Lura berjalan pelan menuju mobil.Evans mengikutinya dari belakang. Ia senyum-senyum sendiri melihat cara berjalan Lura
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te