Lura menatap laki-laki di hadapannya sambil tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.
"Aku belum sempat melakukan itu dengan Mas Gilang karena dia berkali-kali menolakku dengan kasar sebelum obat perangsang itu bereaksi. Dan aku bersyukur Naya datang tepat waktu."Lura merasa sedih dan menyesal jika mengingatnya, tapi ia juga merasa bersyukur atas hikmah di balik kejadian itu."Maaf, selama ini aku menganggap kamu udah nggak suci lagi," kata Evans dengan sangat menyesal. "Maafkan aku, Sayang."Lura berusaha untuk bangun, tapi rasa perih di pusat intinya membuat ia kembali berbaring.Evans mendekati istrinya, lalu mengganjal punggung sang istri dengan beberapa bantal supaya ia bisa lebih nyaman."Sayang, apa sangat sakit?" Evans membelai wajah istrinya. "Maafkan aku." Laki-laki itu mengecup kening istrinya dengan lembut."Mas, apa kamu mencintaiku?" Lura tidak menjawab pertanyaan Evans, tapi ia malah balik bertanya.Naya terbangun tengah malam karena perutnya terasa lapar. Sejak hamil nafsu makannya bertambah, walau masih di trimester pertama wanita hamil itu tidak merasakan morning sickness yang mempengaruhi nafsu makannya.Wanita hamil itu pergi ke dapur mencari makanan untuk mengisi perutnya."Adanya cemilan aja," gumam Naya saat membuka lemari pendingin.Naya kembali menutup pintu lemari pendingin itu, lalu mengambil air minum hangat dari dispenser dan meminumnya."Nyonya ...." Pelayan baru itu menyapa sang majikan. "Maksud saya, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita paruh baya yang usianya tidak beda jauh dari Bi Darmi.Walaupun sudah menikah, tapi Naya tidak mau dipanggil Nyonya. Menurutnya panggilan itu tidak cocok untuknya yang masih berusia dua puluh tahun."Bibi kenapa belum tidur?" tanya Naya sambil menaruh gelas bekasnya minum di atas meja."Tadinya saya mau ke kamar mandi, saya lihat lampu dapur menyala, jad
Saat Naya hendak membangunkan suaminya terdengar suara ketukan di pintu kamar.Naya pergi untuk membuka pintu. "Ini nasi gorengnya, Nona." Bi Darna memberikan nampan berisi nasi goreng dan segelas air putih hangat sesuai permintaan majikannya.Naya menerima nampan itu. "Bi, tolong ambilkan obat demam sama air panas untuk mengompres suamiku," kata Naya."Baik, Nona." Naya kembali menghampiri suaminya tanpa menutup pintu terlebih dulu. Ia menaruh nasi gorengnya di atas nakas, lalu membangunkan Gilang yang masih saja mengigau."Mas, bangun, Mas!" Naya menepuk pipi suaminya dengan pelan supaya laki-laki itu membuka mata.Perlahan Gilang membuka matanya, lalu bangun dan terduduk saat melihat istrinya duduk di pinggiran tempat tidur."Nay, maafkan aku!" Gilang meraih tangan Naya dan menggenggamnya dengan erat.Tangan Gilang terasa panas saat menyentuh lengannya. 'Maafkan aku, Mas,' batin Naya."Mas
"Nanti aja, kamu minum dulu obatnya," kata Naya.Naya tetap tidak mau makan. Mana mungkin ia bisa makan dengan tenang saat sang suami sedang demam tinggi."Aku nggak mau minum obat sebelum kamu makan," ulang Gilang. "Mas, aku nggak akan makan kalau kamu nggak mau minum obat!" Naya balik mengancam suaminya."Setelah aku minum obat, kamu harus makan ya." Akhirnya Gilang yang mengalah.Naya mengangguk, lalu memberikan obat dan segelas air putih pada suaminya. Ia terus memerhatikan Gilang untuk memastikan kalau suaminya meminum obat."Kamu makanlah!" titah Gilang setelah minum obat. Ia memberikan gelas bekas minumnya pada Naya."Iya aku pasti makan, kamu tiduran ya biar aku kompres supaya demamnya cepat turun."Naya mengambil gelas dari tangan suaminya, lalu menaruhnya di atas nampan. Kemudian mengambil handuk dan wadah berisi air hangat."Nay, aku udah minum obat, kamu makan dulu, biar aku yang mengo
Lama menunggu Naya kembali, akhirnya Gilang memejamkan matanya karena ia sangat mengantuk setelah meminum obat.Naya baru kembali ke kamar setelah membuat teh hangat untuk suaminya. Namun, saat ia masuk ke dalam kamar Gilang sudah kembali tertidur.Ia menaruh teh hangat itu di atas nakas. Kemudian, menempelkan telapak tangannya di kening sang suami untuk memeriksa suhu tubuh laki-laki itu."Syukurlah demamnya udah bener-bener turun," gumam Naya sembari tersenyum. "Kamu sakit karena aku, Mas. Maafin aku ya."Naya mengecup kening suaminya, lalu naik ke tempat tidur. Rasa kenyang membuatnya sangat mengantuk.Naya memejamkan matanya setelah menyelimuti Gilang. Mereka tertidur pulas hingga mentari menampakkan rupanya.Gilang bangun lebih awal karena pagi-pagi ia akan meeting dengan investor baru di perusahaannya sedangkan Naya baru membuka matanya setelah Gilang sudah siap untuk berangkat ke kantor.Naya mengucek matanya
Naya mengambil ponselnya, lalu melakukan video call pada Lura."Ada apa, Nay, tumben pagi-pagi udah nelepon? Apa ada masalah dengan suami lo?" tanya Wanita yang masih berada di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga dada."Berapa ronde lo semalam?" tanya Naya sambil tertawa."Astaga, gue pikir lo nelepon ada yang penting.""Hahaha ... gimana rasanya? Nano nano kan?" Naya tambah terbahak saat melihat dada bagian atas Lura terdapat banyak tanda merah. "Bener. Manis, asam, asin," jawab Lura tak kalah heboh. "Lo lihat badan gue penuh dengan tato." Lura sedikit menurunkan selimutnya menunjukkan stempel kepemilikan buaya mesum."Batik cap bibir buaya rawa," sahut Naya yang tak bisa menghentikan tawanya. "Eh ada laki lo nggak?" Naya khawatir Evans mendengar ucapannya."Dia lagi di kamar mandi," jawab Lura."Kenapa lo nggak mandi bareng? Enak Mi, mandi bareng suami. Nanti disabunin sambil dibela
"Ini!" tunjuk Naya pada daerah sensitifnya sambil tersenyum."Sayang, maafkan aku ya. Aku nggak tahu kalau kamu masih perawan. Pasti kamu sangat kesakitan." Evans mengecup kening Lura. "Aku pakai baju dulu ya, nanti aku bantu ke kamar mandi."Evans segera berganti pakaian, kemudian ia membantu istrinya untuk membersihkan diri."Sayang, apa masih sakit?" tanya Evans setelah membantu Lura memakai bajunya.Wanita cantik itu menggeleng sambil tersenyum. "Cuma masih perih aja. Tapi, kalau dipake jalan sakit juga sih.""Ya udah kamu di sini aja, biar aku yang ambilkan sarapan untukmu." Evans membelai pipi Lura, lalu mengecup keningnya dengan lembut."Makasih ya, Dad." Lura tertawa sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, hingga suaranya teredam."Sama-sama, Mommy cantik."Saat Evans membuka pintu kamar, kedua anaknya sedang duduk sambil bersandar pada dinding di pinggir pintu sambil menangkup kedua lututnya.
Lura membelalakkan matanya mendengar ucapan Qenan. Lalu tersenyum pada anak laki-laki yang masih balita itu. "Iya, Sayang. Kamu doain aja, Mommy dan Daddy sehat-sehat terus.""Iya, Mom. Semoga Mommy dan Daddy sehat-sehat selalu sampai aku dan Qenan menikah nanti," kata Azam sambil tersenyum.Azam bertekad untuk menjadi pengusaha sukses seperti sang daddy. Ia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah mengangkatnya sebagai anak. Ia berjanji tidak akan membuat sang mommy marah, apalagi menyakiti hatinya. Ia harus membalas kebaikan orang tua angkatnya dengan menjadi anak yang baik dan penurut."Ih Kakak, udah mikirin nikah aja, emangnya kamu udah punya pacar?" Lura menggoda anaknya yang sudah beranjak remaja.Azam menggeleng dengan cepat. "Belum, kok, Mom. Aku mau sekolah dulu, kalau urusan menikah, aku serahkan sama Mommy dan Daddy.""Ternyata anak Mommy udah gede ya, udah bisa mikirin masa depan juga." Lura mengacak-aca
"Kalian mau ke mana?" tanya Evans pada kedua anaknya saat berpapasan di tangga."Kami mau sarapan dulu, Dad," jawab Azam.Evans melirik jam di tangannya. "Jam segini kalian belum sarapan?""Tadinya kami menunggu Mommy dan Daddy," jawab Azam."Ya sudah nanti Daddy temani kalian makan. Maafin Mommy dan Daddy ya sudah menelantarkan kalian."Evans jadi merasa bersalah karena mengabaikan kedua anaknya. "Nggak kok, Dad. Mommy dan Daddy pasti masih kelelahan," kata Azam."Kalian duluan aja, Daddy mau ngantar makanan untuk Mommy dulu.""Nanti Mommy sendiri dong?" tanya Qenan. "Daddy temani Mommy aja, kasihan kan lagi sakit.""Iya, Daddy temani Mommy aja," timpal Azam. "Kami nggak mau kalau Mommy merasa sendiri terus nggak betah tinggal di sini.""Mommy bisa makan sendiri," sahutnya. "Kalian duluan aja, Daddy mau antar makanan Mommy dulu.""Aku makan sama Adek aja, Daddy jangan tinggalin Mommy
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te