"Enak aja calon istri." Lura memukul kepala Adit yang sudah memakai helm. "Gue ini calon istri orang."
Mendengar jawaban Lura, Evans tersenyum bahagia. Setidaknya Lura masih mengakuinya sebagai calon suami.
"Iya, tahu. Gue ngaku kalah dah kalau saingannya Bang Evans. Dia mah udah mapan, lah gue masih kuliah, jajan aja masih minta emak gue."
"Dia bukan sekedar mapan, tapi juga bertanggung jawab, tapi sayang cemburunya gede."
"Hah burungnya gede?" Adit sampai membuka helmnya untuk memastikan ucapan mantan kekasihnya. "Lo udah pernah lihat?"
"Budeg banget lo! Cemburunya gede bukan burungnya yang gede!" teriak Lura di telinga Adit.
"Jadi burungnya kecil?" Adit terkekeh sambil memakai helmnya kembali. Lalu, seger menaiki kuda besinya.
"Biarin kecil juga, ntar gue rendem minyak tanah biar melar," jawab Lura sambil naik ke atas motor Adit.
"Yaelah lo kira perkakas calon laki lo terbuat dari karet."
Lura memukul bahu mantan paca
"Nyumpahin gue lo? Awas aja loh! Gue doain Lura nggak mau maafin lo!" teriak Gilang pada sahabatnya yang sudah berjalan menjauh."Naya, kamu udah menikah, kenapa kamu jalan sama laki-laki lain? Walau kalian nggak ada hubungan apa-apa, tapi aku cemburu, Hunny."Gilang berbicara sendiri sambil berjalan menuju mobilnya."Beginilah kalau menikah dengan gadis yang masih muda, aku jadi selalu khawatir dia akan mencari laki-laki yang lebih muda dari aku, jika sedang bertengkar. Aku akan selalu bersikap manis padanya walau kepalaku berasap."Gilang segera masuk ke dalam mobilnya, lalu kembali ke rumah sambil menunggu kabar dari sang istri.Ia menunggu istrinya di depan rumah dengan gelisah sambil mondar-mandir seperti setrikaan karena sudah sore Naya belum minta dijemput.Tidak lama kemudian motor matic berwarna hitam memasuki halaman rumahnya.Ternyata Naya diantar pulang oleh Topik, temannya sewaktu SMA."Pik, makasih ya
“Hati-hati, Pik” “Siap, Boss!” jawab Topik sambil memberikan hormat kepada sahabatnya. Topik segera pergi dari rumah Naya setelah berpamitan. "Aku masuk duluan, Mas." Gilang mencekal tangan istrinya saat wanita hamil itu hendak masuk ke dalam rumah. “Nay, kamu kenapa nggak minta jemput sama aku?” “Aku 'kan nggak ada hape, Mas. Hapeku nyemplung itu gara-gara kamu.” “Kamu kan bisa minjem hapu Lura!" balas Gilang dengan emosi. “Lura udah pulang dari siang dijemput Mas Haris … maksudku Haris.” “Kamu ‘kan bisa pinjem hape temenmu." “Aku nggak hafal nomor kamu." Naya mencoba menahan amarahnya. “Astaga menghafal dua belas angka aja kamu nggak bisa. Itu cuma alasan kamu aja.” “Jangankan nomor kamu, nomorku aja aku nggak hafal. Lagian kenapa sih kalau aku diantar Topik, dia itu sahabatku,” sahut Naya yang sudah tersulut emosi karena pertanyaan-pertanyaan sang suami selalu menyudutkannya. “Te
“Iya, Mi.” Naya segera mengemas beberapa setel pakaiannya, tak lupa dua ponsel yang ia beli siang tadi dimasukin juga ke dalam koper. “Aku udah siap, Mi.”“Ayo kita pergi!” Mami Tyas mengambil koper menantunya. “Biar Mami yang bawa, kamu lagi hamil, nggak boleh bawa yang berat-berat.”“Tapi, Mi … ini nggak berat kok, aku cuma bawa baju sedikit." Naya tidak enak hati kalau mertuanya yang harus menjinjing koper kecil itu, padahal dirinya masih sangat kuat untuk membawanya.“Udah ayo pergi.” Mami Tyas berjalan lebih dulu, ia membuka kunci pintu dengan perlahan. Sang mami melongok ke luar, lalu berkata, "Aman."“Aku pamit dulu sama Mas Gilang ya.” Naya hendak pergi mencari suaminya, tapi sang mertua melarang.“Loh masa kabur bilang-bilang, biarin aja biar dia nyariin.”“Gitu ya, Mi,” balas Naya sambil tersenyum kecil. ‘Ini mertua gu
“Maafkan aku, Mi.” Naya memeluk mertuanya. “Aku nggak bermaksud bikin Mami sedih.”"Nggak apa-apa, Sayang. Om Farel walaupun dia kayak Gilang, tapi setelah kami pacaran dia nggak pernah nyakitin Mami, dia laki-laki yang baik, makanya Mami kesel kalau Gilang kayak gitu sama kamu.”“Aku yang salah, Mi.” Naya sadar memang dia juga bersalah, tapi cara suaminya bertanya membuat ia sedih dan kesal."Dia itu udah tua, tapi dia nggak bisa bersikap bijak sama kamu. Mami nggak suka kalau melihat laki-laki kasar terhadap wanita.”“Mami, terima kasih sudah baik banget sama aku.” Naya memeluk mertuanya dengan erat. “Padahal dulu aku suka takut mempunyai mertua yang jahat kayak di tivi-tivi.”“Kamu kebanyakan nonton sinetron.” Mami Tyas tertawa sambil membelai rambut menantunya.Sementara di rumah, Gilang tampak bersantai di halaman belakang. Ia tidak tahu kalau istrinya s
"Gue coba tanya Gilang aja." Evans segera menelepon sahabatnya. "Lang, nomor Naya kenapa nggak aktif? Apa Lura ada di rumah lo? Istri lo udah pulang 'kan?"Laki-laki itu langsung mencecar Gilang setelah sambungan teleponnya terhubung."Ngapain lo nelepon istri gue?" tanya Gilang dari seberang telepon. "Naya udah pulang, tapi istri lo nggak ada di sini."Walau ia tahu kalau sahabatnya sudah bukan laki-laki brengsek lagi, tapi ia masih cemburu kalau Evans menelpon istrinya langsung tanpa memberitahu padanya terlebih dulu."Gue mau bertanya tentang Lura," sahut Evans. "Gue nggak bakal gangguin istri lo. Tadi gue nelepon Lura, tapi malah dimatiin. Gue mau nanya sama Naya kali aja bini gue curhat sama dia.""Kasihan deh lo!" Gilang tertawa terbahak-bahak, lalu menutup teleponnya. "Kehilangan jejak kan lo?" Siapa suruh diajak nyusul mereka malah nggak mau.""Baru digituin sama calon istri aja udah kebakaran jenggot. Nggak bisa bayangin si Evans ba
“Kita ke kantor aja!” titah Evans kepada sang pengawal.“Sepertinya pemuda itu berjalan ke sini,” kata laki-laki yang duduk di bangku kemudi. “Apa kita pergi saja?”“Tunggu sebentar!” sahut Evans.Adit berjalan cepat menghampiri mobil Evans, lalu mengetuk kaca jendela mobil.Evans terpaksa keluar dari mobil. “Ada apa?”“Maaf, Bang, saya mau nitip hape Mia. Kemarin ketinggalan di rumah saya.” Adit menyodorkan ponselnya pada Evans.Evans menerimanya dan mencoba menyalakan ponsel, tapi tidak bisa. “Kenapa mati?”“Iya, Bang, saya nggak punya charger yang sama dengan hape Mia, kemarin pas Bang Evans nelepon hapenya mati.”“Kenapa kamu nggak menjawab panggilannya, bukannya saya menelpon berkali-kali?”“Saya takut Bang Evans salah paham kalau saya menjawab panggilan itu.” Adit berbicara dengan sangat sopan kar
"Lang, lo tahu nggak alamat rumah neneknya Haris?"Evans langsung menelpon Gilang saat kekasihnya tidak mau memberikan alamat rumah neneknya."Mau ngapain lo?" tanya Gilang dari balik telepon."Gue mau nyusulin Lura ke sana," jawab Evans. "Udah cepetan kirim alamatnya. Cuma begitu aja, apa susahnya sih?"Gilang langsung menutup teleponnya untuk mengirimkan alamat rumah nenek asistennya melalui pesan singkat.Namun Evans menyangka sahabatnya tidak mau membantunya. Ia kembali menghubungi Gilang.“Lang, kampret banget lo! Lo tahu 'kan alamat rumahnya?” Evans langsung marah-marah ketika sambungan teleponnya kembali terhubung.Alih-alih sakit hati dimarahin sahabatnya, Gilang malah bertanya kepada sahabatnya. "Lo belum sarapan?"“Udah,” jawab Evans cepat."Kirain belum, gue ada pepes buaya nih buat lo," balas Gilang sambil terkekeh.“Buaya kok makan buaya.” Evans ju
“Kamu kenapa balik lagi?” tanya sang mami kepada anaknya yang berjalan dengan terburu-buru.“Aku nggak jadi pergi ke kantor. Aku mau ke Jogja, Mi, mau nyusul Lura.” Evans berbicara sambil berjalan menuju kamarnya.Ia segera berganti pakaian dan mengemas dua setel pakaian yang ada di rumah sang mami. Setelah selesai ia kembali menghampiri maminya. “Anak-anak mana, Mi?”“Mereka sekolah belum pada pulang," jawab sang mami. "Memangnya mereka mau diajak?"“Nggak, Mi, aku cuma mau pamit aja sama mereka. Nanti tolong bilangin sama Qenan dan Azzam, aku pergi nyusulin mommy-nya dulu.”“Iya,” jawab sang mommy. "Kamu hati-hati, Nak! Jangan bertengkar terus dengan Lura, kamu lebih tua, harusnya kamu yang lebih mengerti dia.""Iya, Mi."Evans segera pergi menuju bandara setelah berpamitan. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan calon istrinya. "Cepat sedikit!" titahny
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te