Lura menaruh kembali piring berisi daging dan sosis. Ia buru-buru menghampiri Azzam.
"Kakak kenapa? Kakak sakit?" Lura membantu Azzam bangun.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya sang oma yang merasa khawatir dengan cucunya.
"Kakak nggak apa-apa, Oma, Mom," jawab Azzam sambil menatap Lura dan omanya.
“Mom, apa aku boleh tidur duluan?” tanya Azzam pelan.
“Ya ampun, kamu jatuh karena kamu ngantuk?” Lura mengusap kepala anak laki-laki itu sambil tersenyum. “Kamu tidur sama adekmu sana!”
“Iya, Mom,” jawabnya. “Om, Tante, semuanya, Azzam masuk dulu ya.”
Anak laki-laki yang menginjak remaja itu berpamitan kepada yang lainnya sebelum pergi ke kamar.
“Iya, Nak."
"Mas Bayu tolong antar Azzam ke kamar ya!" titah Lura pada sopir pribadi sang kakak.
"Siap, Nona."
"Mi, aku ke Mas Evans dulu ya, dia masih lemas katanya, jadi nggak bisa gabung di sini," pamit Lu
“Mas, aku ambilkan air minum dulu ya.” Lura buru-buru bangun. Ia tidak mau Evans memaksanya untuk menyatakan cinta.“Kenapa dia harus bertanya kayak gitu? Harusnya dia udah tahu ‘kan perasaanku padanya. Jadi cowok kurang peka," gerutu Lura sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.“Nona Lura perlu apa? Biar Bibi yang ambilkan.” Bi Nia muncul tiba-tiba yang membuat Lura terkejut. “Eh maafkan bibi ya. Bibi nggak bermaskud mengejutkan Nona.”“Nggak apa-apa, Bi.” Lura tersenyum sambil mengelus dadanya. “Bibi istirahat aja, ini udah larut banget.”“Iya, Nona. Ini juga mau istirahat,” sahut Bi Nia. “Tapi, beneran Nona nggak mau saya bantu.”“Nggak apa-apa, Bi, cuma mau ngambil air aja kok.”“Ya udah, Bibi permisi ya.”“Iya, Bi.”Lura segera mengambil air mineral hangat untuk cal
"Hantu?" Evans bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekati Lura dan berdiri di belakang wanitanya. "Mana hantunya?""Hahaha ... kamu takut hantu?" Padahal Lura hanya menakutinya aja, tapi sungguh di luar dugaan, calon suaminya ketakutan seperti anak kecil."Jangan bercanda kamu!" Evans mendorong bahu Lura dengan jari telunjuknya."Saiton kok takut sama hantu," sahut Lura sambil tertawa terbahak-bahak.Ia tidak menyangka iblis mesum kayak Evans takut hantu. Sungguh sangat menggelikan melihat laki-laki tegap berotot takut dengan hantu."Apa kamu bilang?" Evans memeluk Lura sambil menggelitiki pinggang calon istrinya. "Calon suamimu sendiri dibilang saiton.""Saiton mesum," sahut Lura sambil tertawa.Evans tidak mau melepaskan Lura, ia hanya menggelitik kekasihnya sesekali. Ia juga tidak tega melihat gadisnya kecapekan tertawa."Ampun, Mas! Lepasin dong!" rengek Lura si sela-sela tawanya."Kalian lagi ng
“Iya, Sayang, satu bulan lagi kita akan menikah," jawab Evans sembari memainkan alisnya naik turun.Lagi-lagi Lura memukul Evans. “Kamu jangan asal ngomong! kamu kira nyiapin pernikahan itu gampang? Orang tuaku pasti ribet kalau menyiapkan pernikahan dadakan kayak gini. Nanti dikira orang, aku hamil duluan.”“Nggak usah dengerin omongan orang. Tapi, kalau kamu mau, mari kita menabung lebih dulu.”“Evans Prasetyo!" Lura menggertakkan giginya. "Kamu kapan sih tobatnya. Kayaknya otak mesum kamu nggak bisa ilang deh.” Lura memukuli dada kekasihnya berkali-kali.“Lura, apa kamu dulu jadi tukang pukul bayaran?” tanya Evans sambil memegangi lengan wanitanya. “Belum menikah aja badanku udah pada lebam, apalagi kalau udah menikah.”“Aku pembunuh bayaran,” jawab Lura asal. “Pokoknya undurkan pernikahannya! Aku nggak mau membebani orang tuaku. Ingat Evans, mereka itu cuma oran
“Sebagai warga yang baik, ayo kita menabung anak!” ajak Evans sambil tertawa pelan setelah berhasil menyamakan langkahnya dengan Lura.“Silakan aja kalau kamu mau adikmu pulang tanpa kepala,” sahut Haris yang sedang duduk di ruang tamu dalam keadaan gelap. Yang membuat Lura dan Evans terkejut tiba-tiba mendengar suara."Haris, apa kamu sedang melakukan ritual pesugihan? Kenapa kamu duduk di tempat gelap kayak gitu?”“Sejak tadi saya memantau kalian,” ucap Haris sambil bangun dari duduknya, lalu berjalan menghampiri pasangan calon pengantin itu. “Lura, kamu tidur di kamar atas.”“Iya, Mas.”Lura segera berlari menaiki tangga menuju kamar pribadi Haris.“Kamu tidur dengan anak-anakmu saja!” titah Haris kepada Evans.“Siap, Kakak ipar.”Evans melangkahkan kakinya menuju kamar yang ditempati anak-anaknya. Namun, baru beberapa langkah, ia
“Aku nggak mau seperti itu, tapi kamu kakaknya, kalau kamu tidak mengizinkan adikmu berada di sampingku karena akan membahayakan dirinya, aku ikhlas menerimanya.”“Sejujurnya saya mengkhawatirkan keadaan Lura, tapi saya tidak bisa memaksa atau mengambil keputusan sendiri. Ini hidupnya, walaupun saya ini kakaknya, tapi yang berhak menentukan ya dirinya sendiri. Saya yakin kamu mampu menjaganya.”Haris mematikan televisi, lalu bangun dan berdiri. “Saya akan mendukung apa pun keputusan Lura.”"Baiklah, besok aku bicarakan dengan Lura." Evans juga berdiri. "Aku sangat mencintainya, tapi kalau berada di sisiku membuatnya terancam, aku rela melepasnya."Haris pergi meninggalkan Evans tanpa berkata-kata lagi. Bukannya ia tidak peduli dengan adiknya, tapi ia tidak mau mencampuri terlalu jauh karena ia tahu adiknya mencintai Evans sejak lama."Kamu kenapa?" tanya Hanna kepada suaminya yang terlihat sangat bingung.
"Bukan itu maksudku," elak Hanna. Padahal ia malu kalau Haris sudah mengetahui maksudnya."Lura memang bukan adik yang lahir dari rahim Mama, tapi dia adik istimewa yang Tuhan titipkan dengan cara yang berbeda.""Jujur aku cemburu," ucap Hanna. "Tapi, bukan cemburu yang kayak kemarin. Aku cemburu karena nggak punya seorang kakak yang baik sepertimu.""Sejak awal kamu memang sudah cemburu padanya." Haris tertawa pelan sambil mencubit hidung istrinya. "Kamu tidak perlu khawatir karena cinta saya hanya untuk wanita jutek ini.""Apa aku terlihat sangat jutek?" Hanna mendorong tubuh suaminya."Itu ada cermin, silakan kamu bercermin," tunjuk Haris pada meja rias sang istri sambil terkekeh."Apa aku harus tersenyum kepada semua orang?" Hanna menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan jari-jarinya."Itu tidak perlu. Tetaplah menjadi wanita jutek, senyummu hanya untuk suamimu ini."Hanna mengangguk-anguk sambil tersenyum. "Sayang, pe
"Saya juga mencintaimu dan tidak mau kehilanganmu. Begitupun dengan Lura, dia sangat mencintai Evans. Pastinya dia juga tidak akan mau berpisah dengan calon suaminya.""Tapi, kalau Evans sendiri menyerah begitu aja, Lura pasti merasa nggak diperjuangkan. Walaupun dia cinta sama Evans, tapi kalau Evans kayak gitu, jadi terkesan nggak ingin memperjuangkan cinta mereka.""Kamu benar juga," sahut Haris. "Setelah menyatakan cinta, lalu dibuang begitu saja. Itu pasti sakit.""Lalu, apa yang kamu katakan saat Evans berkata seperti tadi?""Saya bilang, apa pun keputusan Lura, saya akan mendukungnya.""Aku yakin dia tidak akan mau meninggalkan Evans, apa pun yang terjadi," kata Hanna."Itu benar. Walaupun kami bukan saudara kandung, tapi kami sangat mirip. Dia tidak mungkin menyerah begitu saja.""Apanya yang mirip?"Hanna melirik suaminya dengan sinis. "Eh tapi, Lura beneran mirip sama Mama Riska.""Kami sama-sama keras kepala," jawab H
“Kenapa kamu berbicara seperti itu? Apa kamu yang bosan dengan saya? Apa permainan saya kurang memuaskan? Bicaralah biar tahu kesalahan saya apa?”"Bukan itu maksudku. Tadi siang kita udah melakukannya. Aku nggak tahu kamu emang menginginkan seorang anak atau emang kamu hobi ngelakuin itu, tapi yang jelas walaupun sesering mungkin kita melakukannya, kalau Tuhan belum berkehendak, tetap aja sia-sia.”“Ya sudah kita tidur saja.” Haris merebahkan tubuhnya, lalu menarik selimut hingga lehernya.Hanna malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah suaminya. “Kamu marah?”Wanita itu menarik selimut yang menutupi tubuh suaminya. "Kamu lucu banget kalau lagi marah, aku suka melihat kamu marah."Haris kembali menarik selimutnya, lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Hanna. "Saya sudah sangat mengantuk, jangan mengganggu saya!""Haris, apa nggak ada yang bisa kamu lakuin selain marah? Apa ini jalan ninjamu supa
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te