Keesokan paginya Gilang sudah siap-siap ke kantor. Laki-laki itu sudah berpakaian rapi, menggunakan setelan jas berwarna abu muda. Apa pun yang dikenakan pewaris FaRiz Group itu selalu sedap dipandang mata.
“Pagi, Mi, Pi,” sapa Gilang pada kedua orang tuanya yang sudah duduk di kursi dengan meja persegi panjang di depannya yang sudah tersedia menu untuk sarapan pagi.
“Mi, pulang kerja aku mau ke apartemen, mau mengambil barang-barang penting yang tertingal di sana.” Gilang meminta izin kepada sang mami supaya maminya percaya kalau ia mau berubah.
“Nggak perlu,” sahut Papi Rizky dengan tegas. “Semua barang-barang kamu sudah diambil Haris dan sebentar lagi dia sampai.”
Benar saja apa yang dikatakan sang papi. Baru beberapa menit lalu ia berbicara, Haris sudah datang membawa barang-barang penting milik Gilang dari apartemennya.
Laki-laki muda yang berusia dua puluh lima tahun dengan alis yang tebal, ramb
Gilang bangun dari duduknya sembari menatap sang mami yang pergi begitu saja. "Mi!""Sudah lah, kamu pergi saja ke kantor!" titah sang papi pada Gilang. "Jadi lah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Papi akan pantau kamu terus, kalau selama tiga bulan ini masih belum berubah, kamu akan Papi coret dari daftar ahli waris."Sang papi pun pergi meninggalkan anaknya sendirian di meja makan. Kali ini Papi Rizky bersikap tegas pada Gilang.Gilang terduduk kembali di kursinya, ia benar-benar merenungi semua ucapan orang tuanya. "Aku akan berubah, Mi," gumamnya. Lalu, bangkit dari duduknya, merapikan jas, kemudian mengayunkan langkahnya keluar rumah.Haris sudah berdiri di samping mobil mewah berwarna hitam pekat. Mobil baru untuk mengantar atasannya.Gilang celingukan mencari keberadaan mobil kesayangannya. "Di mana mobil saya?" tanya Gilang pada laki-laki yang membukakan pintu mobil untuknya."Saya tidak tahu, Tuan," jawab Haris dengan sopan
Haris mendadak memberhentikan kendaraannya mendengar perintah sang bos. "Ada apa, Bos?" "Kamu ikuti gadis yang memakai seragam putih abu itu!" suruh Gilang pada Haris sembari menunjuk gadis berseragam sekolah yang sedang berjalan di trotoarjalan. "Baik, Bos." Haris memelankan laju kendaraannya mengikuti gadis berseragam itu. 'Aku kira anak itu udah lulus SMA,' batin Gilang sembari terus memerhatikan gadis yang dia kenal berjalan sembari menenteng kantung plastik berwarna merah. "Dia masuk jalanan kecil, Bos," ujar Haris yang menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. "Apa perlu saya ikuti?" 'Mau ke mana dia? Nggak mungkin 'kan ada sekolah di lingkungan kayak gitu,' Gilang bertanya-tanya dalam hatinya. "Tidak usah. Kita jalan saja! Biarkan dia pergi ke mana pun dia suka." Sebenarnya Gilang merasa penasaran dengan apa yang akan di lakukan gadis yang dijodohkan dengannya di tempat sepi seperti itu.
"Kita sudah sampai, Bos," ucap Haris dengan sopan setelah membukakan pintu untuk atasannya. CEO muda itu masih duduk termenung, entah apa yang dipikirkan oleh laki-laki tampan itu. Ucapan orang tuanya atau memikirkan gadis berseragam yang masuk ke daerah kumuh dan sepi. "Bos." Haris kembali memanggil atasannya setelah beberapa menit belum keluar juga. Gilang tersadar dari lamunannya, ia melihat kursi kemudi yang sudah kosong, lalu menoleh ke samping, ternyata asistennya sudah berdiri di samping mobil sembari memegangi daun pintu mobil yang sudah terbuka. "Maaf," ucap Gilang sebelum keluar dari mobil. "Tidak apa, Bos." Haris segera menutup pintu mobil setelah sang bos keluar. Mereka berjalan beriringan, semua pasang mata para pegawai kantor FaRiz Group terpesona kepada dua laki-laki tampan yang berjalan dengan gagahnya. Laki-laki bernama Haris yang menjadi pusat perhatian pagi itu. Kedatangannya untuk pertama kali ke perus
"Percayalah itu hanya nikmat sesaat, tapi dosanya akan terus mengejar lo sampai ke liang lahat," ujar Sisil dengan serius. Ia sengaja berbicara seperti itu karena Gilang bukan anak kecil lagi yang harus dinasihati pelan-pelan. Ucapan Sisil begitu membuat laki-laki brengsek itu ketakutan. Ia berharap Gilang mau merubah kelakuannya dan segera bertobat. "Serem banget omongan lo," sahut Gilang sembari mengedikkan bahunya. "Gue serius," sahut Sisil. "Coba senjata lo dibilangin jangan asal masuk lubang." "Bukan senjata gue yang asal masuk, tapi lubangnya sendiri yang manggilin," sahut Gilang sembari tertawa geli. "Emang sengklek lo," sergah Sisil. "Gue nggak yakin lo bisa berubah." "Makanya bantu gue," pinta Gilang pada sekretarisnya. "Kalau lo sendiri nggak mau berubah ya nggak bakal bisa berubah. Jangan cuma di bibir saja, ingin berubah, tapi lojuga harus menjauh dari lingkungan setan." Sisil sudah mulai emosi berbicara
TOK TOK TOK TOKPemuda tampan yang terlihat seperti eksekutif muda muncul dari balik pintu setelah pintu ruangan CEO terbuka. Ia melangkah menghampiri bosnya dan berdiri di hadapan Gilang dan Sisil.Sisil bangun dari duduknya sembari terus menatap wajah tampan sang asisten. "Dia siapa, Lang? Cakep bener," ucap Sisil tanpa menoleh pada bosnya karena tatapannya tidak lepas dari pemuda tampan yang berdiri di hadapannya."Inget Aldin, Sil! Lo udah punya suami, jangan macam-macam!" Gilang menoleh pada Sisil yang terus memandang Haris sembari mengusap wajah cantik sang sekretaris dengan telapak tangannya."Astaga, Lang. Gue 'kan cuma nanya," ujar Sisil sembari mendelikkan matanya kepada adik sepupu suaminya."Tatapannya biasa aja dong!" ujar Gilang sembari terkekeh melihat Sisil yang terpesona dengan ketampanan asistennya."Wajar, Lang. Gue 'kan masih normal," bela Sisil sembari terkekeh."Kenalin, ini sekretaris saya. Namanya Sisil."
Beberapa jam telah berlalu, Gilang dan Sisil bekerja dengan serius tanpa ada perdebatan seperti ketika mereka sedang membahas masalah pribadi. Kini tiba waktunya untuk beristirahat. "Sil, lo mau makan siang di mana?" tanya Gilang sembari bangun dari duduknya. "Gue mau makan siang bareng suami tercinta," sahut Sisil sembari tersenyum. Gilang tergelak mendengar ucapan Sisil, "Ya sudah, gue duluan ya." Gilang dengan tergesa-gesa keluar dari ruang kerjanya. Laki-laki itu hendak menemui sahabatnya, mereka berencana makan siang bersama. Gilang menemui Evans karena ingin meminta maaf, sudah mengacaukan pesta nikmatnya. "Saya mau makan siang bersama teman saya, silakan kamu istirahat dan makan siang di mana pun kamu suka," ujar Gilang kepada asisten barunya saat berpapasan di depan ruang kerja sang asisten. "Baik, Tuan," jawab Haris dengan sopan sembari menganggukkan kepalanya. Gilang mengayunkan langkahnya dengan cepat karena te
Makan siang special itu benar-benar terjadi. Laki-laki yang sudah berjanji kepada sang mami, terbuai dengan sentuhan-sentuhan menggairahkan dari pramusaji yang begitu cantik dan seksi.Para pramusaji itu lebih hot dari hidangan yang ia bawa. Mereka begitu profesional melayani pelanggannya. Sehingga kedua laki-laki itu melupakan perutnya yang belum terisi makanan.Beberapa meja makan di restoran dengan cahaya remang-remang itu menjadi tempat mereka memadu kasih.Gilang si lelaki yang baru saja berucap ingin berubah demi maaf dari sang mami, kini hati dan pikirannya telah dikuasai nafsu setan. Sehingga laki-laki itu seolah-olah hilang ingatan saat bertemu dengan daging mentah yang menjadi candu para laki-laki.CEO tampan itu begitu lahap menikmati pramusaji seksi yang begitu menggairahkan. Jari tengahnya ia gesekan di liang keramat sang pramusaji, lalu menjilatnya dengan begitu nikmat.Baru kali ini Gilang melakukan hal yang menjijikan seperti
Gilang pulang ke apartemennya lebih dulu sebelum kembali lagi ke kantor. Pemuda tampan yang mempunyai lesung pipi itu membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian kerja yang telah lusuh.Setelah selesai pemuda tampan itu segera pergi ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang hari, CEO muda yang mempunyai sejuta pesona itu baru tiba di kantornya.Sisil bangun dari duduknya, lalu melangkah menuju pintu saat kenop pintu ruangan itu berputar pertanda ada seseorang yang hendak masuk ke dalam ruangan sang CEO."Dari mana, Bos?" tanya Sisil sembari memutari tubuh bosnya saat laki-laki itu masuk ke dalam ruangannya. "Kayaknya kamu segar banget, bajunya juga ganti, abis nganu lo ya!" Sisil menarik-narik ujung jas CEO muda di perusahaan tempatnya bekerja."Gue emang selalu segar, selalu tampan sepanjang hari," jawab Gilang dengan jumawa. "Gue ganti baju karena mau meeting dengan klien baru, supaya gue tidak kalah pesona sama asisten baru," lanjutnya men
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te