Diva terdiam untuk beberapa saat, lalu segera mengambil kartu yang pernah diserahkan oleh Elvan padanya waktu itu. Kasir itu kembali mengulangi prosesnya dan transaksi disetujui dengan mulus tanpa drama.Setelah semua selesai Elvan langsung mengambil alih troli yang sudah berisi belanjaan Diva, lalu menyerahkannya pada Andi yang mengikutinya dari belakang.“Itu ….” Diva ingin berkata sesuatu tapi tertahan karena Elvan memberikan isyarat untuk tidak bertanya dulu.Setelah mereka berjalan jauh dari tempat itu, handphone Elvan berbunyi, Prisya menghubunginya.“Kakak ipar, apa kamu sedang bersama dengan Kakakku sekarang?” tanya Prisya saat panggilan tersebut terhubung.“Iya aku sudah bersama kakakmu.” Elvan lalu menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Diva.“Apa aku bisa bicara dengannya?” tanya Prisya lagi.Elvan lalu memberikan handphone yang dia pegang pada Diva.“Prisya,” ucapnya pada Diva, hal itu sontak membuat Diva mengingat sesuatu yang penting.Diva lalu menepuk keningnya dan
Diva merasa beruntung karena sekarang dia ada di luar bersama Elvan, entah bagaimana jadinya kalau tadi dia masih bersedih ria di kamar meratapi ayahnya yang tak kunjung memberikan restu. Kalimat Elvan ini bagaikan sebuah obat penenang yang dia dapatkan saat menghadapi masalah seperti ini. Dulu, dia selalu saja melakukan sesuatu sesuai dengan pikirannya saja tanpa banyak pertimbangan dan tanpa mendengar arahan yang menenangkan seperti ini. “Sayang, apa kamu mendengarkanku?” tanya Elvan dengan suara lembutnya itu, menyadarkan Diva dari banyak pikiran yang ada dalam otaknya itu. “Ah, iya aku dengar. Terima kasih, Van.” Diva berkata dengan menatap Elvan, membuat pandangan mereka bertemu dan menciptakan satu momen yang sangat hangat untuk keduanya. Elvan lalu mencium pucuk kepala Diva dengan lembut. Makin membuat Diva merasa nyaman dan sangat dilindungi. Pria ini benar-benar mampu menaklukan hati Diva tanpa bersisa sedikitpun. “Sayang, sekarang saatnya tunjukkan pada orang tuamu kalau
Sesaat Diva benar-benar terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut Elvan. Dia tidak menyangka dengan apa yang dikatakan Elvan, darimana pria ini punya ide gila semacam ini, bukankah secara tidak langsung dia menyuruhnya boros? Atau secara tidak langsung menyuruhnya menjadi wanita matre?“Ka-kamu yakin?” Diva berkata dengan suara tercekat. “Ya, beli saja apa yang ingin kamu beli, gunakan kartu yang kuberikan padamu, jangan pakai uangmu.” Elvan menegaskan kalimatnya itu. Sekali lagi, andai kata Diva adalah wanita matre, maka dia akan sangat senang hati mendengar kalimat Elvan ini, tapi ... ini bahkan seperti sebuah beban yang diberikan Elvan padanya.'Apa ini memang sudah saatnya?' batin Diva.Diva menarik napas saat Elvan mempertegas kalimatnya itu.“Van, tapi ….”“Tidak perlu ada kata tapi, latihan saja perlahan-lahan.” Elvan berkata seolah tidak ada beban di sana. Namun, berbeda dengan Diva.Diva terpikir kalau yang dikatakan Elvan tidak ada yang salah, lingkungannya setelah ini
Tidak lama berselang, terdengar kaca di sebelah Diva diketuk dari arah luar. Diva melihat yang mengetuknya adalah Prisya. Lagi-lagi dia melupakan kalau saat ini dia sedang bersama adiknya!Diva lalu menurunkan kacanya dan tersenyum tidak enak hati melihat adiknya ini. Tidak perlu ditanya siapa yang bisa membawa Elvan sampai kemari, sudah barang tentu jawabannya adalah Prisya. Adiknya memang sangat mengerti apa yang dia inginkan dan butuhkan saat ini.“Maaf,” ucap Diva dengan tersenyum lebar melihat wajah adiknya yang saat ini bertekuk masam.“Sudah lebih dari lima belas menit kalian di dalam, apa sudah selesai dan kami boleh masuk?” tanya Prisya dengan tatapan tajam pada Diva sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.“Bo-boleh, salah sendiri siapa yang menyuruhmu menunggu di luar.” Diva berkata tanpa rasa bersalahnya.“Menyebalkan,” gerutu Prisya lalu membuka pintu di sebelah pengemudi dan masuk ke dalamnya.Hal ini membuat Elvan tersenyum ringan melihat kelakuan dua
Sementara itu di rumah Diva.Terlihat Lukman menatap layar televisi dengan tatapan kosong, istrinya menghampiri pria itu dengan membawakan ubi rebus dan teh hangat.“Diminum dulu, Yah, tehnya.” Indah berkata dengan suara lembut pada suaminya, secara tidak langsung membuyarkan pikiran Lukman tentang Diva yang menurutnya sangat terobsesi dengan Elvan.“Mikirin Diva, ya?” tanya Indah pada pria itu. Lukman hanya tersenyum singkat.“Yah, sepertinya anak kita memang sangat menyukai pria itu.” Indah berkata sembari menghela napas berat, seolah ada beban yang menghimpit di dadanya itu.“Benar, Bu, tapi … ibu tahu sendiri, kita tidak bisa prediksi kapan hati orang lain akan berbalik.” Lukman mengeluarkan kekhawatirannya itu.Indah hanya diam, dia belum merespon kalimat suaminya ini.“Lagipula kali ini adalah pewarisnya L Tekno.” Lukman menunjuk logo di remote televisi mereka yang berlambang L Tekno.Indah mengangguk perlahan. “Betul, Yah, tapi kalau dilihat lagi, si Elvan ini cukup berbeda dari
Lukman melihat ke arah istrinya dengan tatapan yang mengisyaratkan kalau dirinya masih saja belum mempercayai hal itu.“Seperti yang Ibu dengar saat Ayah bicara dengan anak itu, Ayah hanya ingin melihat dulu, ingin membuktikan sejauh apa pria itu memperlakukan Diva.” Lukman berkata dengan berat.Indah masih diam, dia tahu suaminya pasti akan merasa sangat sedih kalau sampai dia kali ini salah memutuskan.“Yah, Ibu tahu ini berat, tapi kita juga tidak bisa menutup mata atas perlakuan baiknya pada anak kita, Diva … dan juga Ratri.” Indah menghela napas saat menyebutkan nama Ratri, rasa sakit seakan tercurah ke sana ketika dia mengingat sosok anaknya itu, melahirkan anak spesial tanpa seorang suami, belum lagi penghinaan lain yang diterimanya di usia yang masih muda.“Itulah kenapa ayah bilang, jangan sampai kita ada hutang budi dengan orang lain, tapi sepertinya Diva ini ….” Lukman diam, dia merasakan sekali beban berat itu.“Sepertinya Diva melakukan hal ini sudah mempertimbangkan selu
“Selamat malam, Tante,” sapa Elvan pada Indah.Wanita ini memperlihatkan wajah datarnya dan mengangguk lalu melihat ke arah kedua anaknya. Mereka membawa barang belanjaan yang cukup banyak membuat Indah mengerutkan keningnya. Kejadian ini persis seperti belum lama ini saat mantan Diva itu menikah dengan sahabatnya sendiri. Tebakannya benar kalau anaknya ini pergi berbelanja.Lalu, Elvan … pria ini cukup berani untuk turun mengantar kedua putrinya. Seharusnya Elvan bisa mendapatkan penilaian berbeda dari suaminya, secara singkat dia melihat ke dalam. Walau tidak melihat suaminya, dia yakin kalau ayah Diva ini pasti sudah tahu Elvan ada di sini.“Hai, Bu.” Prisya berkata dengan santai sambil tersenyum lebar melihat ibunya.“Tadi Prisya yang menghubungi kakak ipar untuk menjemput kami, belanjaan kami sungguh banyak, Bu.” Prisya berkata masih dengan memamerkan senyumnya, bakan sekarang Prisya sudah memanggil Elvan dengan sebutan Kakak Ipar.Prisya yang jarang mau tahu urusan orang lain se
Tidak hanya Elvan yang terkejut dengan pernyataan Indah ini, melainkan Diva dan juga Prisya yang saling tatap. Baru kali ini juga Elvan merasa kalau saat ini segala tindakannya bisa ditebak oleh orang lain.“Kami sudah makan sebelum menjemput Bu Diva dan Prisya, Bu,” jawab Andi cepat. Respon cepat Andi ini membuat kelegaan tersendiri untuk Elvan dan tentunya Diva, karena ucapan Indah terasa seperti sedang menguji sesuatu.“Apa benar begitu?” tanya Indah pada Elvan untuk memastikan.Elvan tersenyum cepat dan menganggukkan kepalanya.“Benar Tante, tadi sebelum mendapat telepon dari Prisya, saya sedang ada di luar bersama dengan klien.” Elvan kembali berbohong.Berbeda dari biasanya ketika menghadapi klien-kliennya, saat mengatakan kebohongan kecil untuk menyukseskan misinya, Elvan tidak pernah dilanda rasa khawatir. Kali ini Elvan merasa sedikit gugup kalau saja kebohongan kecilnya ini kembali terbongkar, karena sorot tajam dari mata ibunya Diva ini sangat mengulik masuk ke dalam dirin