pagi ini lumayan tegang dikit ya!
Setelahnya Anggala masuk ke mobil dan melajukan kendaraannya dengan cukup kencang, membuang ponsel yang dia pakai untuk menghubungi orang suruhannya itu ke jalan, lalu mengambil benda pipih lainnya untuk menghubungi Fredy. “Fredy, apa tugasmu sudah dilaksakan?” tanya Anggala saat panggilan tersebut terhubung. “Sudah selesai, semua sedang bekerja melakukannya. Ehm … Ang, apa kamu yakin El tidak akan–” “Aku sudah membereskan si sombong itu! Kamu tenang saja dan lakukan saja sesuai perintahku!” Anggala berkata dengan penuh penekanan dan mengangkat ujung bibirnya sebelah. “Baiklah, mungkin diatas jam 10 malam berita ini akan mulai mencuat dan dipastikan besok pagi akan menjadi berita viral.” Fredy berkata dengan suara yang cukup berat. Setelah mendengarkan hal tersebut Anggala mematikan sambungan teleponnya lalu berkata, “Setelah ini kita saksikan pertunjukan berikutnya!” *** Di kamarnya, Diva yang merasa sangat bahagia ini tidak bisa tidur karena memikirkan banyak hal manis bersa
Jantung Diva berpacu cepat, hal ini tidak sama saat dia jatuh cinta ketika mendengar nama Elvan. Dia benar-benar terkejut dengan berita yang baru saja dia dengar. “Ma-maksudmu apa?” tanya Diva sekali lagi dengan napas yang tercekat di tenggorokan, membuat tubuhnya mendadak lemas, persendiannya seolah mati rasa, tangannya mulai gemetar dan perasaannya menjadi sangat kalut. “Kak Elvan, dia mengalami luka yang ... sepertinya sedikit serius karena ditusuk seseorang di depan gedung Tekno In, tapi sekarang semuanya sedang bergerak dengan cepat untuk proses penyelidikan. Aku tahu kakak pasti akan bertanya-tanya kemana dia menghilang karena tidak memberikan kabar, jadi aku sudah mengatur agar kakak bisa pergi ke rumah sakit malam ini menemuinya.” Prisya berkata dengan cepat. Tatapan matanya yang tajam melihat ke arah Diva yang jelas terlihat bingung. Pikiran Diva saat ini penuh dengan banyak pertanyaan. Selain mengkhawatirkan Elvan, dia juga heran bagaimana bisa Prisya tahu tentang hal
Dalam perjalanannya yang membawa Elvan ke rumah sakit, pikiran Diva makin kacau, kepalanya berdenyut tak karuan, dalam perjalanan hidupnya baru kali ini dia merasakan hal seperti ini. Semua yang berkaitan dengan Elvan memang adalah hal yang baru dia rasakan, tapi dia juga jelas tidak ingin merasakan rasa khawatir karena Elvan terluka parah seperti sekarang. “Pak Bimo, apa masih lama?” tanya Diva pada Bimo. “Sebentar lagi, Bu. Sabar ya, Bu, dari yang dikatakan Pak Andi pada saya, Pak Elvan tidak terlalu parah, tetapi memang harus tetap dilakukan tindakan di rumah sakit.” Bimo berkata dengan tenang. “Tidak parah tapi harus dilarikan ke rumah sakit? Apa-apaan ini? Apa Bapak tidak salah bicara?!” Entah kenapa tiba-tiba suara Diva mulai meninggi, tetapi setelah itu dia segera sadar atas ucapannya barusan. “Ah, maaf, Pak, saya tidak bermaksud berkata seperti itu,” sesalnya. “Tidak apa-apa, Bu. Saya Paham, karena Ibu pasti sangat mengkhawatirkan Pak Elvan.” Dia menjawab dengan sopan. Di
Diva diam, suaranya jelas tertahan di mulutnya, seolah mulutnya terkunci rapat sekarang ini. Dia ingin menjawab tetapi entah bagaimana cara menyampaikannya. Akhirnya, hanya helaan napas berat yang terdengar.“Jelas Tante, kalau tidak karena Elvan membantu Diva dalam urusan keluarganya dia, pasti Elvan sekarang ini masih baik-baik saja.” Marissa kembali berkata dengan suara nyaring.Marissa menatap Diva dengan tajam dan kesal, Diva bisa merasakannya dengan jelas saat tatapan mereka bertemu, apalagi saat itu Marissa terlihat membuang napas dengan kasar.“Maaf,” ucap Diva dengan lemah tetapi terdengar tenang ketika Anita melihatnya kembali.Namun, Anita tersenyum dan meraih tangan Diva, entah kenapa rasanya sangat hangat hingga membuat Diva terkejut menatap wanita yang ada di depannya saat ini.‘Apa mama Elvan tidak marah padaku?’ tanya Diva dalam hati.“Kamu masuk saja dulu, Elvan ada di dalam.” Anita lalu menepuk ringan bahu Diva.“Tante, apa tante benar-benar ingin menyuruhnya masuk m
“Aku perlu mengumpulkan tenaga untuk mengatakannya padamu.” Bibir Elvan menyunggingkan senyumnya. Diva tak kuasa untuk tidak memeluk Pria itu, rasa lega menyelimuti dirinya. “Terima kasih kamu bisa bertahan, Van.” bisik Diva lalu tak kuasa menahan laju tangisnya lagi dan terisak dengan jelas kali ini. “Bukankah seperti ini bisa lebih lega?” Elvan berkata pada Diva saat wanita itu merenggangkan tubuh mereka. Diva diam, entah kenapa di saat seperti ini pun, pria ini tetap mengutamakan dirinya. Apa dia benar-benar seberharga itu untuk Elvan? Ah, kalau memikirkan hal ini, rasa bersalahnya makin memuncak saja pada Elvan. “Kenapa diam? Aku malah senang kalau kamu memperlihatkan kelemahanmu itu.” Kembali Elvan tersenyum untuknya. Padahal Diva tahu untuk bicara saja pasti Elvan sudah sangat kesusahan, sekarang pria ini malah berusaha menghiburnya. Apa tidak terbalik? “Jangan banyak bicara dulu, aku panggilkan dokter. Jangan membantah, patuhlah sebentar.” Setelah mengatakan hal itu, Diva
Sementara itu di tempat lain. “Sial! Kenapa kalian tidak bisa bertindak cepat?! Fred, apa begini cara kerjamu itu?!” Anggala membanting barangnya dengan kekuatan penuh. Fredy yang ada bersama Anggala sekarang hanya diam. Dia tahu kalau Anggala pasti akan sangat marah karena pekerjaan untuk menjatuhkan Ratri kali ini menemui jalan buntu. Kejadian ini sama persis seperti saat Anggala berusaha untuk menjatuhkan Elvan, bedanya kali ini tidak ada serangan balasan untuk Anggala. Baik Fredy maupun Randi, sudah tahu kalau Elvan sudah bisa menakar tindakan mereka ini, tetapi untuk bicara dengan Anggala yang sedang diliputi amarah yang memuncak, rasanya sia-sia. “Ang, menurutku daripada kita menghamburkan uang untuk menjatuhkan Ratri, lebih baik kita menggunakan sisa yang ada ini untuk membangun citramu kembali.” Randi kali ini angkat bicara dengan suara tenang. “Apa kamu bilang?!” tunjuk Anggala pada Randi, matanya menyala karena marah, tidak terima dengan ucapan yang terlontar di mulut t
Hari sudah pagi, Diva masih menemani Elvan yang sudah dipindah ke ruangan perawatan biasa. “Van, kamu sudah bangun?” tanya Diva saat pria itu membuka matanya. Elvan tersenyum saat tahu kalau Diva masih ada di sana menemaninya. “Pukul berapa sekarang?” tanya Elvan. Diva melihat ke pergelangan tangannya. “Tujuh kurang lima menit.” Mendengar hal itu Elvan mengerutkan keningnya, lalu melihat ke arah jendela yang sudah mulai terang tetapi masih tertutup oleh vertical blind, sehingga cahayanya tidak langsung masuk menerangi kamar ini. “Kenapa belum dibuka?” tanya Elvan pada Diva dengan suara yang masih sedikit serak. “Ah, itu … aku tidak mau nanti kamu terbangun karena silau, jadi kubiarkan tetap tertutup saja.” Diva tersenyum padanya. “Kamu bilang ini pukul tujuh kurang lima menit, kan? Kenapa kamu masih ada di sini? Kamu gak ke kantor?” tanya Elvan pada Diva membuat wanita itu mengerutkan keningnya. ‘Saat seperti ini bisa-bisanya pria ini mengatakan hal tentang kantor?! Apa dia
“Ah! Maaf, Kakek datang di waktu yang kurang tepat ya!” Hartono muncul dari balik pintu membuat keduanya terkejut. Diva yang menyadari hal itu langsung cepat berdiri dan menunduk, jelas sangat malu sekali karena aksinya kepergok orang lain, apalagi orang tersebut adalah Hartono Wongso! Kalau saja dia punya ilmu menghilang, maka dia akan menggunakan jurus itu sekarang juga. Beda dengan Elvan yang tersenyum melihat reaksi Diva, dia malah terlihat santai seolah tidak ada hal besar yang baru saja terjadi diantara mereka. “Sebelum masuk bukannya harus ketuk pintu dulu, Kek?” ucap Elvan melirik ke arah Diva yang masih tertunduk. “Kakek itu khawatir sama kamu! Kakek baru tahu kalau kamu mengalami hal buruk ini! Kalau saja Marissa tidak memberitahu kakek, mereka tidak akan bilang ke kakek!” Pria itu merujuk kata mereka pada keluarga inti Elvan. Mendengar nama Marissa disebut membuat Elvan mengerutkan keningnya. “Marissa yang bilang?” “Ya, tentu saja! Hal ini harusnya tidak perlu ditu
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk