"Makan siang aku jemput!"
Clara yang hendak bersiap turun itu sontak melotot. Apa tadi Morgan bilang? Dia hendak menjemput dirinya untuk makan siang? Di rumah sakit? Yang benar saja!
"Gan ... ta-tapi ... aku-."
"Aku jemput nanti, jangan banyak membantah!" Morgan menarik kepala Clara dengan lembut, menjatuhkan kecupan di dahi Clara, lantas turun meraup bibir merona Clara yang begitu menggoda.
Clara membeku, hanya sepersekian detik, karena di detik selanjutnya, ia membalas dengan lembut pagutan bibir itu. Kenapa setiap sentuhan dan buaian laki-laki ini begitu memabukkan? Sangat berbeda dengan Arga!
Morgan melepaskan pagutan bibir mereka, menatap dalam-dalam mata itu dari jarak yang begitu dekat.
"Tolong jangan terlalu lama menyiksaku, Ra! Aku tidak sanggup jika harus membagimu dengan laki-laki itu." bisik Morgan begitu lirih.
Clara terpaku. Mata itu ... kenapa mata itu begitu menghipnotisnya? Clara mengangg
Morgan bergegas turun dari mobilnya ketika melihat sosok itu melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit. Kaca mata hitam sudah bertengger di telinganya, ia tentu tidak ingin Clara melihat keberadaannya. Dengan langkah tergesa, Morgan mengejar langkah Indira. Berhenti di belakang wanita itu ketika ia hendak meraih knop pintu."Dokter Indira." sapa Morgan dengan halus dan lirih.Indira menoleh, tersenyum dan mengangguk lantas membuka pintu lebar-lebar. "Silahkan masuk, Bro!"Bro. Itu adalah panggilan akrab Indira setelah mereka sepakat bersekongkol untuk misi penting yang beberapa waktu lalu mereka bahas bersama. Panggilan yang sepertinya hanya berlaku kalau mereka tatap muka karena ketika di Wh*tsApp, Morgan begitu formal sekali. Morgan segera melesat ke dalam, banyak sekali hal yang perlu mereka bicarakan berdua. Tentu saja perihal Clara dan Arga."Jadi apa yang membuatmu ingin segera menyerang, Bro?" Indira duduk, menyimak dengan serius maks
Clara dengan tergesa-gesa keluar dari gedung rumah sakit. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan bahwa Arga tidak menguntit dirinya. Bahwa dia bisa bebas bertemu dengan Morgan yang tadi sudah mengabari Clara bahwa Morgan sudah menanti Clara di depan rumah sakit.Benar saja! Mobil sport merah itu sudah menanti Clara di depan sana. Membuat beberapa pandangan mata tertuju pada mobil dengan lambang kuda itu."Yang benar saja, Gan! Kenapa harus pakai mobil itu sih?" Clara menghela nafas panjang, bisa ramai jadi perbincangan orang-orang nanti kalau ada pegawai rumah sakit yang melihat Clara masuk ke dalam mobil mewah itu.Clara mempercepat langkahnya, segera masuk ke dalam dan menutup pintu mobil. Tampak wajah Morgan begitu datar, kaku dan sedikit masam."Gan, kenapa pakai mo-.""Apa yang dia lakukan padamu?" potong Morgan tanpa menoleh ke arah Clara.Clara tercekat, ia menyandarkan tubuh di jok samping dan mengusap w
"Loh, tumben?" Begitulah reaksi menyebalkan yang Indira tunjukkan ketika Arga dan Profesor Dicky tiba di ruang prakteknya. Sebuah reaksi yang sontak mendapatkan pelototan mata dari Arga. Bisa-bisanya sang isteri berkata demikian? Sengaja ingin papanya tahu apa yang terjadi di antara mereka selama ini? Keterlaluan! "Sudahlah, ayo ikut. Nggak bosan apa makan siang di kantin mulu?" Dicky nampak tidak ingin dibantah, membuat Indira lantas bangkit dan meletakkan stetoskop miliknya di atas meja. "Ah okelah." desisnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi guna mengikat rambut, sebuah tindakan yang entah mengapa kini memancing Arga seketika. 'Sialan!' runtuk Arga kesal. Kenapa kini dia mudah sekali terpancing dengan Indira? Biasanya tidak pernah. Apakah efek Arga yang sudah mencicipi nikmat tubuhnya? "Kamu yang pilih mau makan di mana, In." ujar Dicky lantas memasukkan ponsel miliknya ke salam saku celana. Tampak
Arga membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya seperti di hantam sesuatu yang begitu kuat dan keras, sesuatu yang lantas sukses membuat nyawanya seperti hendak tercabut dari dalam tubuhnya.Tampak sosok itu tersenyum getir dan wajah masam ketika menatapnya, hanya sekilas, karena ia lantas menundukkan pandangannya, tidak berani menatap langsung ke arah Arga."Indira, Arga, kenapa kalian malah berdiri diam di sana? SIni!"Sebuah titah yang lantas membuat Indira meraih tangan Arga dan menyeretnya mendekati tiga orang yang nampak tengah berbincang di salah satu meja.Arga sekuat tenaga menahan diri. Rasanya dia ingin berteriak, mengamuk dan menghajar laki-laki yang berdiri di sebelah Clara-nya. Siapa laki-laki itu?"Ini residen anestesi tahun ke dua, kan?" sapa Indira sambil tersenyum dan mengulurkan tangan."Be-betul, Dokter." Clara menjabat tangan Indira, lantas mengulurkan tangan ke arah Arga.Arga mematung, air matanya hampir tumpah me
"Gan ... kamu itu ... ah!" Clara menjatuhkan dirinya di jok, bersandar dengan lemas di jok sambil memijit pelipisnya. Sementara Morgan tertawa terbahak-bahak di balik kemudinya jika dia ingat bagaimana merah padamnya wajah Arga tadi. Benar-benar di luar dugaan mereka bisa bertemu, bukan? Sebuah rencana dadakan hasil pemikiran Indira yang begitu top markotop. "Sudahlah, jangan khawatirkan apapun. Kamu punya aku, Sayang!" Morgan rasa Arga bukan lawan yang sebanding untuknya, dia jauh berada di bawah Morgan. "Ya tapi kan ...," Clara mendadak pening, apa yang Arga lakukan ketika dia mendatangi Clara nanti? "Percaya padaku, dia tidak akan berani macam-macam, Ra. Dan setelah semua ini usai, aku pastikan aku akan segera menikahimu." ***Clara menatap nanar kepergian mobil sport mewah itu dari depan gerbang rumah sakit. Mimpi buruk apa lagi ini? Bisa Clara lihat bagaimana wajah Arga tadi, dia pasti tidak akan tinggal diam nanti malam. Clara
Selepas makan siang, Arga jadi uring-uringan. Wajahnya begitu masam, sangat tidak ramah. Beberapa kali dia tidak segan membentak sang asisten dan beberapa koas yang ikut dia praktek siang ini. Ruangan Arga begitu mencekam, membuat siapa saja kecuali para pasien, rasanya ingin pergi dan lenyap dari hadapan dokter jantung satu itu. "Masih berapa pasien?" tanya Arga pada Arestya, asisten pribadinya. "Ba-banyak, Dok." jawab Arestya tanpa berani menatap sosok itu. Satu tengah tahun dia menjadi salah satu perawat poli jantung, baru kali ini dia melihat dokter satu ini begitu murka, ada apa? "YA SAYA TAU MASIH BANYAK, TAPI BERAPA JUMLAHNYA? NGGAK BISA NGITUNG?!" kembali suara Arga melengking, membuat jantung siapa saja yang mendengar suara itu rasanya hendak rontok dari tempatnya. "Du-dua belas lagi, Dok." kembali Arestya menjawab, keringat dingin mengucur, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Arga tid
Setelah selesai visiting Arga melangkah dengan begitu tergesa menuju parkiran. Sesekali dia melirik smartwatch yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu dengan wajah ditekuk terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit.Indira yang juga sudah selesai dan hendak pulang sontak menghentikan langkah melihat bagaimana sang suami tergesa macam itu. Dia melipat kedua tangan di dada, berdiri sambil tersenyum penuh kemenangan.Bisa saja dia melarang dan menyeret Arga kerumah, lelaki itu sudah tidak punya kuasa apapun di hadapan Indira, jadi dia bisa melakukan apapun terhadap Arga. Tapi seperti yang sudah dia dan Morgan rencanakan, malam ini adalah klimaksnya! Malam ini adalah puncak dari semua rencana yang sudah mereka susun matang-matang dan Indira akan menang telak malam ini juga!"Hah, selamat menikmati kejutan spesialku, Mas. Semoga mentalmu sekuat mentalku!"Indira kembali tersenyum sinis, menurunkan tangannya dari dada dan melangkah de
"BRAKKK!!"Pintu unit apartemen Clara terhempas dengan begitu kasar, Clara sampai tersedak teh yang tengah dia nikmati. Tampak Arga dengan wajah dan mata memerah mendekati dirinya, meraih cangkir di tangan Clara, melemparkan cangkir itu ke tembok hingga pecah berkeping-keping."Ah!" Clara memekik, wajahnya memucat.Arga menatapnya dengan sorot mata tajam, menariknya bangun dari sofa lantas melayangkan tangannya tinggi-tinggi."PLAKKK!!!"Tamparan keras itu mendarat di pipi sebelah kanan Clara, begitu keras hingga Clara terhuyung hampir jatuh kalau saja Arga tidak menarik tangannya."BARU DUA HARI AKU TIDAK MENGUNJUNGIMU, KAMU SUDAH HAMPIR MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI LAIN? DASAR MURAHAN!""PLAKKK!"Kembali Arga menampar pipi Clara, sebuah tamparan yang langsung membekas merah di pipi Clara. Clara kembali terhuyung, kali ini dia jatuh di sofa, meringis kesakitan sambil memegang pipinya yang terasa panas dan m
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la