"Dokter punya istri, benar?"Pertanyaan itu begitu lirih. Terlontar nada yang menyiratkan sebuah kekecewaan. Sejenak Arga tertegun. Jantungnya seperti mau lepas. Dari mana Kezia tahu? Tapi bukankah Arga memang akan memberi tahu kondisinya yang sebenarnya? Menceritakan bahwa dia sudah pernah menikah. Itupun kalau Kezia memberi kode bahwa dia bisa didekati lebih jauh lagi. Tunggu! Kalau Kezia mempermasalahkan hal ini, nampak sangat tersakiti akan kenyataan yang Arga belum ceritakan perihal rumah tangga awut-awutannya bersama Indira, apakah artinya ini ... "Ya!" Jawab Arga tegas, ia berusaha mengendalikan diri dan menata hati. Benarkah yang ada dalam pikirannya ini? Nampak wajah Kezia terkejut luar biasa. Air matanya menitik, sorot nya terlihat begitu tersakiti. Ah remaja labil! Tapi bukankah ini yang Arga harapkan? Gadis ini punya perasaan lain terhadapnya? Jemari lentik itu menyeka air mata, memaksakan diri tersenyum. "Harusnya kan kemarin Dok--.""Saya menang sudah punya istri, K
"Serius mau ikut ke rumah? Nggak aku pesenin kamar aja?" Rudi menoleh, menyakinkan sekali lagi Callista perihal keinginannya ikut ke rumah Rudi. Callista mencebik, kacamata hitam besar itu masih bertengger di telinga, menutupi sebagian wajah. Nampak wajah itu kesal mendengar pertanyaan yang Rudi lontarkan."Malu ajak aku ke rumah?" Tanya Callista dengan bibir mengerucut. Rudi menghela napas panjang, kenapa malah jadi sampai sana pikiran Callista? Tangan Rudi terulur, meriah tangan Callista dan menggenggam erat tangan Callista. Sebuah tindakan yang membuat Callista tersentak kaget dan melirik Rudi yang masih begitu tenang di belakang kemudi. "Ibu agak cerewet loh. Siapa jawab pertanyaan demi pertanyaan yang nanti ibu lontarkan ke kamu?" Tentu itu yang perlu Rudi ingatkan, terlebih dia tinggal di desa. Pasti bukan hanya ibu dan dua adiknya saja yang penawaran dengan Callista, tetangga kanan-kiri juga! Terlebih usia Rudi dibilang cukup matang. Teman-teman sekolah Rudi dulu sudah meni
"I-ini?"Rudi tersenyum, ia meraih tangah Callista, menggenggam erat tangan itu dan membawanya mendekat ke arah Halimah. Wanita paruh baya itu nampak tertegun di tempat dia berdiri, membuat senyum Rudi makin menjadi. "Ibu minta calon mantu, kan?" Tanya Rudi ketika ia dan Callista sudah berdiri tepat di hadapan Halimah. Wajah itu masih nampak tertegun, kepalanya mengangguk perlahan. Membuat tawa Rudi pecah. Ia terkekeh lalu melepaskan genggaman tangan dan menepuk dua bahu Callista dengan tangan. "Ini Rudi bawakan apa yang Ibu minta. Kenalkan, Bu, ini Callista!" Rudi mendorong Callista sedikit lebih kedepan. Membuat Callista tersenyum, lantas mengulurkan tangannya guna menyalami Halimah. "Saya Callista, Bu. Senang bisa bertemu dan berkenalan dengan Ibu."Suara lembut itu lantas membuyarkan Halimah dari rasa terkejutnya. Ia tersenyum, menepuk bahu Callista dengan begitu lembut. Matanya nampak tidak lepas memperhatikan wajah Callista dengan saksama. "Cantik banget, kamu pakai pelet
"Ta, kamu kenapa?"Tentu Rudi lihat betul perubahan wajah itu. Orang bodoh pun bisa tahu perubahan wajah itu terjadi karena ada sesuatu. Dia bisa lihat sorot ketakutan dari mata Callista. Sebuah sorot yang selalu dia tampilkan selama beberapa saat tinggal bersama Rudi. "Bagaimana kalo ....""Mbak!"Suara itu memotong kalimat Callista, nampak Ajeng turun dari tangga, menyunggingkan senyum manis pada Callista yang tengah duduk bersisian dengan Rudi. Callista menoleh, menatap Ajeng sambil berusaha tersenyum membalas senyum manis gadis dengan lesung pipit itu. "Ya? Kenapa, Jeng?""Kamar Mbak sudah siap. Mbak istirahat dulu gih!" Ajaknya yang kini sudah berdiri di dekat sofa. Callista menoleh, menatap Rudi yang lantas mengangguk pelan. Hal yang kemudian membuat Callista bangkit dan mengekor langkah Ajeng menapaki anak tangga. Baru beberapa langkah Callista naik, ia nampak menoleh menatap Rudi yang masih diam di tempatnya duduk. Rudi yang sejak tadi tidak lepas pandangan pun tersenyum, m
Rudi tersenyum, mengangguk pelan sambil menatap wajah terkejut Callista yang termangu di depan pintu dengan plastik yang masih di tangan. "Iya buat kamu." Rudi tersenyum, menikmati wajah kebingungan Callista yang entah mengapa di mata Rudi jadi makin cantik dan menggemaskan. "Mas serius ngasih aku ini?"Rudi menghela napas panjang, "Ya serius dong! Kalo enggak, kenapa aku beliin kamu ini?" Rudi melipat dua tangannya di dada. Kenapa rasanya dia ingin menerkam gadis ini? "Tapikan katanya aku nggak bo--.""Kamu nggak boleh hubungin orang lain selain aku. Peraturannya jadi itu, Sayang!" Potong Rudi cepat. "Aku kesiksa banget kalo pas kerja nggak bisa hubungin kamu, Ta!" Jelas Rudi kemudian. Tawa Callista lantas pecah, ia terkekeh, menatap benda dalam plastik itu lalu kembali menatap Rudi yang diam di tempatnya berdirinya. "Kan Mas sering telpon aku! Selama Mas kerja hampir tiga sampai lima kali Mas nelpon aku!"Tentu Callista ingat dan hapal betul dengan kebiasaan Rudi. Beberapa kali
"Mbak, kok mau sih sama mas Rudi?"Malam itu, setelah pergi lapor ke rumah Pak RT dan mendapat izin menginap, Callista dan Ajeng serta si bungsu Reva duduk di depan teras. Setoples kacang telur, sebungkus besar kripik singkong pedas dan tidak lupa tiga gelas es teh menemani mereka bersantai dan mengawasi orang-orang dari EO yang tengah mendekorasi ruang tamu. "Kamu sendiri, kenapa mau sama calon suamimu?" Callista balik bertanya, sebuah pertanyaan yang membuat Ajeng tersedak kripik singkong dalam mulutnya.Sementara Reva? Dia terkikik dengan segelas es teh di pangkuan. "Ya karena cinta lah, Mbak. Kalo nggak cinta ngapain mau sampai dinikahi?" Jawab Ajeng setelah meneguk es teh miliknya. Callista tersebut, menjentikkan jari dan menatap dua gadis yang duduk di sebelahnya itu. "Nah sama! Jawaban aku juga itu!" Ujarnya dengan mulut penuh kacang telur. "Reva pikir dulu nggak bakalan ada cewek yang mau dan cinta sama mas Rudi, eh ternyata ada juga. Mana cantik banget lagi."Callista ter
Rudi duduk di balkon lantai atas seorang diri. Lampu sengaja tidak dia nyalakan. Asap rokok mengepul. Rudi jarang merokok, ia baru akan merokok ketika otaknya sudah terasa begitu lelah dan ketika dia tengah di dera permasalahan yang cukup pelik. Dan masalah yang kini dia hadapi, bukan hanya pelik, tetapi luar biasa pelik. Rudi menyesap rokoknya kuat-kuat, menghembuskan asapnya ke udara. Tentu berapa nominal hutang yang keluarga Callista miliki masih terbayang jelas di otak dan mata Rudi. Dan uang sebanyak itu? Mana Rudi punya?Bagaimana kalau ... "Mas?"Panggilan itu mengejutkan Rudi dengan begitu luar biasa. Suara lirih dan halus itu Rudi kenal betul milik siapa. Rudi menoleh mendapati Callista berdiri di dekat pintu dengan wajah setengah mengantuk. "Loh, kamu kebangun? Kamarnya kurang nyaman atau kenapa, Sayang?" Tanya Rudi yang lantas mematikan putung rokoknya. Dalam remang-remang, Rudi bisa melihat dengan jelas Callista melangkah mendekatinya, menjatuhkan diri tepat di sisi Ru
"Loh mau kemana?"Tentu Clara bertanya-tanya dengan pakaian santai yang dikenakan suaminya ini. Terlebih dia sudah mempersiapkan tas ransel miliknya. Sebuah tanda bahwa Morgan tidak akan berangkat kerja, tetapi akan pergi ke suatu tempat. Morgan menatap istrinya, senyumnya merekah dengan sempurna. "Sayang kamu masuk dan nggak bisa libur. Aku mau kasih kejutan ke Rudi, Sayang!" Jawabnya lalu menyisir rambut. Mata Clara membelalak. Apa tadi suaminya ini bilang? Dia mau memberi kejutan untuk Rudi? Astaga! Jangan bilang kalau .... "Kemarin kan aku sengaja bilang kalau aku nggak bisa ikut ke acara adiknya, padahal sih rencana aku mau mendadak ke sana tanpa bilang dulu ke dia. Sekalian mau ketemu ibu, udah lama juga nggak mampir ke rumah sana.""JANGAN!" sontak Clara berteriak, tentu dia ingat ketika Rudi berpamitan hendak pulang padanya. Rudi bilang akan membawa gadis itu turut serta bersamanya dan Morgan malah hendak akan menyusul ke sana? Petaka! Alis Morgan berkerut, ia mendesah la
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la