Bukan hanya Callista yang memucat, Rudi pun sama! Tidak pernah ia duga Morgan akan muncul di sini. Bukankah dia kemarin bilang tidak akan hadir di acara Ajeng hari ini? Akan hadir ketika pesta pernikahannya nanti? Tapi kenapa ... Ah! Rudi lupa, Morgan memang orang yang penuh kejutan. Dan uang yang dia miliki bisa membuatnya melakukan apa saja! "Mas ... Gimana ini?" Nada itu terdengar panik. Sepanik ekspresi yang Callista tunjukkan. Tapi memangnya hanya Callista yang panik? Rudi juga! Hanya saja dia bisa lebih mengontrol dan menyembunyikan rasa panik yang kini menyergap dan menguasai dirinya. Rudi menghela napas panjang, segera kembali menginjak gas guna memarkirkan mobilnya. Setelah mobil terparkir sempurna dia segera melepas seat belt-nya dan mematikan mesin mobil. "Turun, Ta!" Desisnya perlahan. Tangan Rudi yang hendak membuka pintu mobil otomatis dicekal oleh Callista. Membuat Rudi lantas menoleh, menatap wajah yang memucat itu dengan alis berkerut. "Apapun yang terjadi nanti
Callista sejak tadi benar-benar tidak tenang. Dia mengabaikan perias yang tengah mempercantik penampilannya untuk mendampingi Rudi malam ini. Pikirannya fokus pada dua lelaki yang tadi nampak hendak mengobrol di depan rumah. Bagaimana kabar mereka sekarang? Tentu Callista mengerti, masalah apa yang mungkin bisa Rudi alami karena terlalu baik hati menolongnya keluar dari circle toxic orang tua Callista sendiri. Morgan bukan orang yang bisa diremehkan. Dia tidak hanya punya kuasa, tetapi juga punya uang! Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi para Rudi? Terlebih Rudi bilang sendiri kalau dia berhutang nyawa ibunya dan banyak hal pada Morgan! Secara tidak langsung Rudi bergantung penuh pada lelaki itu. Dan semuanya bisa terjadi malam ini! "Ta, kebaya kamu nanti yang ini ya? Ibu gantung di sini."Callista menoleh, nampak Halimah menggantungkan kebaya lengkap dengan kain jarik dan kamisol warna senada. Warna nude pink adalah warna yang Ajeng pilih untuk acara istimewanya hari ini. "Ter
"Ah masa belum elu celupin sih, Rud? Lu normal, kan?"Hampir Morgan berteriak, untung dia masih bisa mengendalikan diri. Mereka sudah ada di tengah-tengah anggota keluarga Rudi yang sudah siap menantikan tamu besar hadir. Dan pengakuan Rudi yang mengatakan bahwa dia belum pernah menyentuh Callista (kecuali bibirnya-red), tentu sangat mengejutkan Morgan. Bagaimana tidak? Morgan dan Callista tinggal satu atap di apartemen! Bagaimana bisa Rudi tahan tidak memangsa 'daging segar' di hadapannya itu? "Belum, Bos. Mau saya keep dulu lah, biar nikah dulu." Jawab Rudi apa adanya dengan wajah memerah. Morgan mendesah, nampak dia prihatin pada tangan kanannya ini. Ia menepuk punggung Rudi dengan sedikit keras. "Kau yakin dia masih perawan, Rud? Sampai-sampai harus banget elu nahan sampai nanti kalian nikah?" Tanya Morgan dengan sangat hati-hati. Tentu dia tidak ingin menyakiti perasaan Rudi, bukan? Kembali Rudi tersenyum, "Perawan atau tidak, itu bukan alasan saya buat bisa 'make' dia sebe
Beberapa minggu kemudian. Morgan melangkah dengan sedikit tergesa menuju ruangan Rudi. Wajahnya nampak tegang dan langkahnya sedikit panik. Ia menggenggam iPad di tangan, seperti ada sesuatu di dalam benda itu yang hendak ia tunjukkan ke Rudi. Tanpa mengetuk atau apapun, Morgan menerjang pintu itu. Nampak Rudi tengah duduk dengan laptop terbuka di depannya. Wajah itu mendongak, menatap Morgan yang langsung melenggang masuk tanpa menunggu dipersilahkan. "Baca, Rud!" Titah Morgan sambil menyodorkan iPad yang tadi dia bawa melangkah. Rudi segera menerima benda itu, matanya nampak serius mengamati deretan kata dan kalimat yang berjejer rapi di dalam sana. Wajahnya menegang, ia lantas mendongakkan wajah menatap Morgan yang sudah duduk di kursi yang ada di depan meja Rudi. "Lantas dia kemana, Bos?" Tentu itu yang Rudi tanyakan, ia menyodorkan balik iPad pada sang pemilik. "Anak buah lu nggak ada yang tau?" Bukannya menjawab, Morgan malah balik bertanya.Rudi menggeleng perlahan. "Mere
"Apa? Dia mengundang kita makan malam bertiga?" Tentu Morgan terkejut. Seorang Arga mengundang dia dan Clara makan malam? Ada angin apa sampai-sampai lelaki itu ingin bertemu bertiga malam nanti? "Begitulah. Tadi dia ngomong gitu ke aku. Katanya ada hal penting yang pengen dia omongin sama kamu, Sayang."Morgan melongo, dia makin tidak mengerti. Ini diluar kebiasaan dan bukankah sudah cukup lama mereka tidak bertemu atau saling bertegur sapa? Dan Morgan rasa, mereka sudah tidak ada masalah lagi yang perlu dibicarakan. Jadi apa yang hendak Arga bicarakan dengannya nanti? "Kau nggak tanya soal apa, Sayang?" Morgan memutar kursinya, dia jadi bertanya-tanya perihal apa yang dokter itu ingin bicarakan dengannya. "Nggak mau jawab. Intinya nanti malam dia ingin ketemu kita dan tadi kasih kartu nama ke aku, Sayang."Morgan mendecih, "Fotokan kartu namanya, akan aku hubungi dia secara langsung."Tentu Morgan akan segera mencari kejelasan dan jawaban yang akan membuat rasa penasaran nya ini
"Rud, lu kemana sih?"Rudi sontak memijit pelipisnya perlahan. Dia lupa belum izin pada Morgan! Bukan salah Morgan kalau kemudian lelaki itu uring-uringan meneleponnya seperti ini. "Aduh, Bos! Maaf saya lupa pamit sama Bos. Saya izin keluar sebentar, ada urusan penting."Hening, tidak ada jawaban membuat Rudi sedikit risau. Apakah lelaki itu marah? Atau bagaimana? Rudi menghela napas panjang, menantikan jawaban dari izin yang mendadak dia minta pada Morgan barusan. "Ya udah. Tapi begitu urusan lu beres cepetan balik. Gue ada perlu nih, Rud. Penting banget." Titah lelaki itu tegas. "Baik, Bos! Terima kasih banyak. Saya segera balik begitu urusannya selesai."Hati Rudi lega luar biasa, kini dia sudah duduk di bangku belakang. Ada Ferdi yang menggantikan dirinya menyetir. Dua anak buahnya yang lain sedang pergi ke suatu tempat guna melancarkan perintah yang Rudi berikan. Dia dan Ferdi tinggal menunggu dan memantau dua orang itu dari dalam mobil. Cukup mudah, bukan? "Bos, langsung mas
Rudi mendesah ketika Morgan kembali menghubungi dirinya. Dia kenapa sih? Hendak melahirkan? Atau bagaimana? Rudi segera mengangkat panggilan itu. Selain gemas, dia juga penasaran dengan apa yang membuat bosnya itu kembali mengubungi dirinya. "Ya, Bos?"Wajah gemas Rudi berubah menjadi tegang dan panik. Matanya membelalak dengan mulut setengah terbuka. Dia tidak sedang salah dengar, bukan? Dan bosnya itu tidak sedang mabuk, kan? Semua yang dia katakan itu benar atau hanya hoax semata? "Yang bener, Bos?" Tentu Rudi belum percaya, namun apa untungnya juta Morgan berbohong dan menyebarkan berita hoax itu? Wajah Rudi kembali tegang, ia menyimak dengan serius apa yang bosnya itu katakan lewat sambungan telepon. Otaknya spontan memvisualisasikan sosok gadis yang begitu dia cintai, gadis yang membuat hidup dan harinya jadi jauh kebugaran berwarna sekarang. "Ba-baik. Saya kesana, Bos."Rudi menutup panggilan telepon, bersamaan dengan itu mobil hitam muncul dan berhenti di depan mobil yang
Clara dengan begitu tergesa melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Suara denting sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar sedikit menganggu. Namun Clara sama sekali tidak peduli, di depan sang suami sudah menunggunya. Mereka harus segera pergi mengingat ada dua jadwal penting. Yang pertama, pergi ke rumah duka, menemui dan menyampaikan kabar duka cita dan yang kedua, mendatangi Arga untuk tahu hal penting apa yang hendak dia bicarakan bersama dengan dia dan Morgan. Clara segera menarik pintu mobil, naik dan memakai seat belt. "Lama, Sayang?" Tanya Clara begitu ia menoleh dan mendapati wajah Morgan nampak datar dan kaku. "Tidak-tidak, aku juga baru sampai kok. Don't much worry, Sayang." Mobil itu segera melaju, meninggalkan depan rumah sakit berbaur dengan jalanan yang cukup padat sore ini. Clara menyandarkan tubuhnya di jok, jujur kepalanya sedikit pusing, tetapi dia tidak bisa mengabaikan rencananya untuk sekedar datang dan mengucapkan bela sungkawa pada Callista. "Bagaim
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la