Callista menyambar masker yang sudah dia siapkan. Suara bel itu berdenting dan Rudi berkali-kali memperingatkan agar ketika pengantar makanan tadid tiba mengantarkan makanan, tidak ada yang boleh melihat wajah Callista. Jadi kacamata dan masker ini tentu akan sangat membantu Callista untuk menyembunyikan wajah.
Sebelum membuka pintu, Callista mengintip di pintu guna memastikan orang tersebut memang orang suruhan Rudi, bukan orang yang dia kenal atau mamanya! Jangan! Callista tidak mau kembali ke mamanya, apapun itu ia merasa begitu nyaman, damai dan terlindungi di sini, meskipun harus terisolasi di dalam apartemen milik Rudi.
Callista membuka pintu, nampak lelaki dengan jersey bola itu tersenyum ke arahnya.
“Dengan Mbak Tata, ya? Ini saya disuruh Pak Rudi antar makan siang!”
Tata adalah nama samaran yang sudah mereka sepakati bersama. Callista meraih beberapa kantong plastik dari tangan lelaki itu, mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Ia
Rudi meletakkan ponsel di meja. Seketika kepalanya jadi begitu pusing. Calon? Kapan memangnya Rudi punya waktu luang untuk leha-leha, mejeng sana-sini mencari calon istri? Sebenarnya Morgan juga tidak terlalu menekan Rudi, toh Rudi juga punya anak buah sendiri. Pekerjaanya menyediakan waktu juga kalau Rudi berniat hendak santai dan memburu jodoh, tetapi Rudi yang tidak mau. Ah ... bukan tidak mau, tetapi belum mau.Sekarang ... ibunya tidak hanya meminta dia pulang untuk acara sang adik, tetapi juga pulang sambil membawakan calon mantu! Di mana Rudi bisa nemu calon mantu untuk dia bawa pulang menemui ibunya nanti?Rudi tengah berpikir keras ketika pintu ruangannya terbuka, nampak Morgan muncul dan melangkah masuk menghampiri mejanya.“Rud? Lu kenapa?” Morgan segera duduk di kursi, menatap wajah tangan kanannya yang tengah ditekuk itu.Rudi tersenyum getir, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Nampak ia menghela napas sambil menengadahkan kep
Callista melangkah dengan penuh ragu mendekati telepon. Ia dalam kebimbangan, perlukah dia angkat? Atau diamkan saja? Tapi bagaimana kalau Rudi yang menelepon dan hendak memberinya kabar? Callista menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan guna meraih gagang itu. Ia segera mendekatkan benda itu ke telinga. Dengan begitu lirih dan takut-takut ia mulai bersuara.“Ha-halo?”“Astaga, Ta! Kemana aja sih? Aku sempet ngira kamu kenapa-kenapa karena lama angkat telepon!”Fiuh!Lega sekali hati Callista ketika suara Rudi yang menyapanya. Ketakutan Callista sontak lenyap tidak bersisa. Senyum Callista merekah, kenapa tiap dia mendengar suara Rudi, rasanya begitu gembira? Padahal suara itu begitu kaku, dingin dan begitu datar.“Maaf. Jujur aku lagi parno banget, Mas. Rasanya kayak dihantui.” Desis Callista jujur.“Mana ada hantu siang-siang, Ta? Apa sih yang kamu takutkan?” tanya suara itu yang entah m
Clara segera membuka pintu mobil, masuk ke jok belakang dan meletakkan tas di di samping. Tanpa banyak bicara Rudi segera membawa mobilnya melaju. Ia nampak melirik Clara yang asyik dengan ponselnya. Menghela napas panjang lalu perlahan-lahan mulai bersuara. "Mbak ... Boleh tanya nggak?"Clara sontak mengangkat wajah, menatap Rudi dari pantulan kaca mobil lalu tersenyum dan mengangguk pelan. "Tanya apa? Kok kayaknya penting banget?" Senyum merekah di wajah Clara, dari kacamatanya, ia tahu kalau Rudi tengah galau. "Mbak, kalau kita tiba-tiba merasa nyaman, seneng pas ada di dekat seseorang, benci lihat dia sedih dan nangis, itu artinya apa, Mbak?"Clara melongo, ia menatap nanar Rudi dari kaca. Wajah itu nampak serius dan tidak terlihat main-main. Sebenarnya Clara ingin tertawa mendengar kalimat pertanyaan itu. Konyol sekali kalau Rudi menanyakan hal macam itu, padahal anak kemarin sore saja paham dan ngerti apa jawaban dari pertanyaan
“Jadi begitu ceritanya, Mbak.” Rudi bersandar di jok depan, matanya menatap Clara yang duduk di jok belakang lewat kaca mobil. “Mbak janji jangan cerita ke Bos kalau aku cerita semua ini sama Mbak, ya?” mohon Rudi dengan suara lirih.Clara menghela napas panjang. Jadi begitu? Dulu sekali, mama mertuanya sempat tidak setuju Clara menikahi anaknya dan hendak menjodohkan Morgan dengan gadis bernama Callista itu? Hingga kemudian rahasia besar keluarga itu kenapa begitu bernafsu hendak mengadakan perjodohan itu terungkap. Yaitu surat tagihan hutang yang mencapai angka puluhan trilliun yang menjerat keluarga gadis itu. Hal yang lantas membuat Feni membatalkan rencana awalnya dan lebih memilih menyetujui Morgan menikahi Clara. Ah ... rasanya mendadak dada Clara menjadi sesak.“Jangan khawatir, Mas. Aku bisa jaga rahasia kok. Makasih sudah mau cerita banyak hal yang selama ini bahkan Morgan rahasiakan dari aku.” Gumam Clara dengan suara sama
"Sore Sayangku!"Clara tersenyum ketika Morgan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. Dia baru saja pulang. Sedangkan Clara, ia sudah sejak tadi sampai rumah meskipun harus berhenti beberapa saat untuk sekedar mendengarkan curhatan Rudi dan tentu saja cerita tentang rahasia besar yang Morgan simpan dirinya. "Udah kelar semua urusannya?" Tanya Clara ketika Morgan menjatuhkan diri tepat di sisi Clara. "Sudah. Semua sudah beres. Kenapa?" Morgan melingkarkan tangan ke tubuh sang istri, rasanya bersandar di tubuh Clara adalah pelepas penat terbaik! "Malam ini aku pengen sama kamu terus, Sayang. Besok aku jaga malam. Pulang pagi." Desis Clara manja. Tentu jaga malam adalah hal yang tidak bisa Clara hindari selama dia masih menjadi residen. Morgan mendengus. Sebuah resiko dan konsekuensi yang harus dia terima, Clara sudah menjelaskan dari awal. Jadi dia tidak bisa protes dan merajuk perkara jaga malam di IGD yang harus Clara jalani. "Besok aku antar paginya biar Rudi jemput nanti." Gu
"Papa memang begitu, Ga. Maklumi saja, ya?"Arga mendengus, ia menoleh dan mendapati mamanya tersenyum simpul sambil menepuk bahunya. Maklumi? Sikap ayahnya yang sudah sangat keterlaluan itu dia suruh memaklumi? Gila saja! "Papa keterlaluan, Ma! Dia lebih mementingkan materi dari perasaan anak sendiri dan Mama suruh Arga maklumi?" Tentu Arga protes, ada apa ini? Terdengar helaan napas panjang. Arga pun ikut menghela napas. Hatinya mendadak kembali perih teringat semua hal yang sudah Arga lalu dan apa-apa saja yang hancur karena ayahnya sendiri. "Mama ngerti, tapi mau bagaimana lagi? Sudah watak papamu kayak gini." Kembali suara itu bergumam begitu lembut. Arga mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tidak berniat membalas atau membantah. Dia hanya menundukkan wajah sambil berusaha mengusir rasa sakit yang kembali menyeruak menyiksa hatinya. Membuat lukanya yang belum kering kembali berdarah. "Kamu juga kenapa nggak cerita soal kekasihmu itu, Ga?" Kembali suara itu menyapa Arga den
Rudi tertegun. Bukan hanya karena jarak mereka yang begitu dekat, tetapi juga karena kulit mereka bersentuhan secara langsung. Lengan Callista bisa Rudi rasakan begitu lembut dan halus. Sentuhan yang menjalarkan sebuah sensasi aneh ke sekujur tubuh Rudi. Wajah itu tersenyum ketika Rudi terdiam menatapnya. Sorot matanya begitu lembut, membuat Rudi makin betah menatap wajah cantik yang ada di hadapannya ini. "Mas? Bengong?"Rudi tersentak, ia tergagap dan sedikit memberi jarak untuk lengannya yang masih menempel pada lengan Callista itu. "A-aku ... Aku menolong mu karena aku kasihan, Ta. Kamu tidak seharusnya melakukan semua itu hanya karena kesalahan yang tidak kamu lakukan!" Jawab Rudi berusaha menekan perasaan gugupnya.Baru beberapa detik Rudi terbebas dari sentuhan kulit Callista yang mampu membakarnya dengan begitu singkat, Callista kembali menggeser duduknya. Membuat kulit halus dan lembut itu kembali menyapa permukaan kulit Rudi. Napas Rudi kembali sesak terlebih sedetik kemud
Clara menghela napas panjang melihat suaminya terlelap juga akhirnya! Itu artinya tidak akan ada lagi pembahasan soal sikap Rudi yang menurut Morgan aneh setidaknya sampai kemudian Morgan bangun tidur. Clara menatap langit-langit kamarnya. Besok agaknya dia harus bicara dengan Rudi perihal kecurigaan Morgan terhadap dirinya. Meminta Rudi supaya hati-hati jika tidak ingin Morgan tahu rahasia apa yang Rudi sembunyikan dari bosnya ini. Mendadak Clara begitu penasaran dengan Callista ini. Ia segera meraih ponselnya, membuka akun I**tagram pribadinya dan mencoba mencari nama Callista di sana. Tak perlu waktu lama, muncul banyak sekali akun dengan nama Callista. Kini kepala Clara mendadak pusing. Callista yang mana? Dia tidak tahu nama lengkap gadis itu dan tidak tahu juga bagaimana wajah gadis yang dulu hendak disodorkan mama mertuanya untuk berada di posisinya saat ini. Senyum Clara merekah, gadis itu pasti mem-follow akun milik Morgan, kan? Dengan segera Clara mengetik nama Morgan, men
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la