Rudi tertegun. Bukan hanya karena jarak mereka yang begitu dekat, tetapi juga karena kulit mereka bersentuhan secara langsung. Lengan Callista bisa Rudi rasakan begitu lembut dan halus. Sentuhan yang menjalarkan sebuah sensasi aneh ke sekujur tubuh Rudi. Wajah itu tersenyum ketika Rudi terdiam menatapnya. Sorot matanya begitu lembut, membuat Rudi makin betah menatap wajah cantik yang ada di hadapannya ini. "Mas? Bengong?"Rudi tersentak, ia tergagap dan sedikit memberi jarak untuk lengannya yang masih menempel pada lengan Callista itu. "A-aku ... Aku menolong mu karena aku kasihan, Ta. Kamu tidak seharusnya melakukan semua itu hanya karena kesalahan yang tidak kamu lakukan!" Jawab Rudi berusaha menekan perasaan gugupnya.Baru beberapa detik Rudi terbebas dari sentuhan kulit Callista yang mampu membakarnya dengan begitu singkat, Callista kembali menggeser duduknya. Membuat kulit halus dan lembut itu kembali menyapa permukaan kulit Rudi. Napas Rudi kembali sesak terlebih sedetik kemud
Clara menghela napas panjang melihat suaminya terlelap juga akhirnya! Itu artinya tidak akan ada lagi pembahasan soal sikap Rudi yang menurut Morgan aneh setidaknya sampai kemudian Morgan bangun tidur. Clara menatap langit-langit kamarnya. Besok agaknya dia harus bicara dengan Rudi perihal kecurigaan Morgan terhadap dirinya. Meminta Rudi supaya hati-hati jika tidak ingin Morgan tahu rahasia apa yang Rudi sembunyikan dari bosnya ini. Mendadak Clara begitu penasaran dengan Callista ini. Ia segera meraih ponselnya, membuka akun I**tagram pribadinya dan mencoba mencari nama Callista di sana. Tak perlu waktu lama, muncul banyak sekali akun dengan nama Callista. Kini kepala Clara mendadak pusing. Callista yang mana? Dia tidak tahu nama lengkap gadis itu dan tidak tahu juga bagaimana wajah gadis yang dulu hendak disodorkan mama mertuanya untuk berada di posisinya saat ini. Senyum Clara merekah, gadis itu pasti mem-follow akun milik Morgan, kan? Dengan segera Clara mengetik nama Morgan, men
Callista mengerjapkan matanya, ia terkejut ketika mendapati dirinya sudah terbaring di atas ranjang. Dia berada di dalam kamarnya! Padahal seingat Callista, kemarin dia tertidur di depan televisi. Lantas bagaimana dia bisa berada di sini? Callista sontak bangkit, ia memperhatikan dirinya. Tidak ada yang aneh, semua nampak biasa saja. Dia tidak merasakan apa-apa. Itu artinya tidak ada hal-hal buruk yang terjadi padanya, siapapun itu yang kemarin membawanya masuk ke kamar. Senyum Callista merekah, "Kau benar-benar laki-laki yang luar biasa baik, Mas!" Desis Callista memuji Rudi. Siapa lagi kalau bukan Rudi yang melakukan semua ini? Memindahkan dia dari depan TV ke kamarnya? Sekali lagi Rudi bisa melakukan apapun terhadap Callista, tapi lihat ... Rudi tidak melakukan apapun terhadapnya tidak peduli Callista tengah tertidur pulas dan tidak berdaya sama sekali. "Jangan salahkan aku kalau kemudian aku tidak ingin menyingkir dari sini." Desis Callista yang mendadak enggan pergi dari sin
"Gawat, Mas!" Desis Clara ketika mobil Rudi bawa meninggalkan halaman rumah mewah milik bosnya itu. Rudi yang tadinya begitu tenang di jok depan sontak terkejut, dari kaca mobil bisa dia lihat wajah Clara begitu panik, membuat Rudi lantas berpikir keras, apanya yang gawat? "Gawat apanya, Mbak? Dokter Arga ganggu Mbak lagi?" Tentu itu yang ada dipikiran Rudi saat ini. Apalagi memangnya? Yang perlu dikhawatirkan sekarang tinggal Arga, walaupun jujur ia masih was-was juga dengan Rebecca Wijoyo yang sampai sekarang belum terlihat batang hidungnya. "Morgan curiga sama kamu, Mas. Katanya dia ngerasa kalo Mas nyembunyiin sesuatu dari dia. Dia bahkan minta tolong aku suruh banyak ngobrol sama kamu biar bisa ngorek informasi tentang kamu."Rudi tertegun, sudah dia duga! Rudi menghela napas panjang. Sejak awal dia tahu, cukup sulit menyembunyikan sesuatu dari bosnya ini. Mereka sudah macam saudara kandung. Punya telepati yang entah dari mana datangnya kemampuan itu. "Terus enaknya aku har
"Besok lu mau naik apa, Rud?"Rudi tersentak, Morgan entah sejak kapan sudah duduk di depannya. Agaknya dia terlalu serius melamun sampai tidak menyadari kalau-kalau bosnya itu sudah berada tepat di hadapannya."Kereta, Bos. Saya sudah reservasi tiket." jawab Rudi berusaha menghilangkan gugup yang selalu menyergapnya ketika ia tengah berhadapan dengan Morgan.Morgan sudah tahu bahwa Rudi menyembunyikan sesuatu darinya. Bukankah tadi Clara mengatakan hal itu pada Rudi? Memperingatkan Rudi agar berhati-hati? Dan untuk keberangkatan besok pagi, Rudi memang sudah memesan satu tiket. Sekarang kepalanya pusing, mendadak Callista ingin ikut! Bagaimana dia tidak pening sekarang?"Salam buat ibu sama adek-adek, Rud. Sorry untuk acara kali ini gue nggak bisa ikut balik. Ntar pas nikahan aja, ya?"Rudi tersenyum, ia menganggukkan kepala tanda mengerti. Kehadiran Morgan merupakan suatu kehormatan, tapi beruntung sekali kalau untuk acara besok ia tidak bisa ikut Rudi balik. Kalau ikut? Bisa remuk
Rudi meletakkan ponselnya dengan lemas. Sudah tidak ada tiket tersisa dan ngotot mau ikut? Ini tentu jadi masalah serius! "Ah bawa mobil aja lah!" Gumam Rudi sambil memijit pelipisnya. Kenapa semuanya jadi rumit begini sih? Semua berawal dari niatnya menolong Callista. Tapi apakah Rudi salah? Gadis itu hanya dimanfaatkan orang tuanya saja dan dia tidak jahat. Hampir seminggu lebih tinggal bersama Rudi, belum ada hal-hal aneh nan berbahaya yang Callista lakukan.Rudi meraih ponselnya kembali, hendak menghubungi nomor telepon unit apartemennya. Tentu memberi Callista kabar bahwa dia harus mulai berkemas jika benar ingin ikut esok pagi. Tidak perlu menunggu lama, telepon itu sudah tersambung. Sapaan suara itu begitu lembur dan jangan lupa, sedikit antusias dari biasanya. "Halo? Gimana, besok boleh ikut, kan, Mas?" Tanyanya penuh semangat. Sebuah pertanyaan yang entah mengapa memberi getar lain di dalam relung hati Rudi. Kenapa Rudi begitu bahagia mendengar ceria suara itu? "Iya, ke
Gadis dengan perawakan mungil itu dengan tergesa-gesa menuju poli jantung, sikunya sedikit sakit bertabrakan dengan seseorang tadi, tapi dia sama sekali tidak peduli. Fokusnya sekarang hanyalah mencari sosok itu, sosok yang saat ini sangat dibutuhkan ayahnya yang terbaring di IGD sebuah rumah sakit swasta langganan keluarganya. Baginya, tidak ada yang lebih penting di dunia ini kecuali sang ayah. Cinta pertama dan satu-satunya yang dia miliki di dunia ini sekarang.Ayahnya mendadak demam, sesak napas dan nyeri dada. Belum lagi rasa sakit kepala, jantung berdegup kencang dan masih banyak lagi yang akhirnya membuat dia dengan mantab mengantarkan sang ayah ke IGD rumah sakit ini. Keluhan itu memang sudah lama ayahnya idap. Sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan, gejala sudah lebih ringan namun hari ini, sakit yang ayahnya derita makin parah. "Dokter Arga Yoga Saputra!" Desisnya sembari terus mengingat nama dokter yang harus dia cari. Dokter jantung itu adalah dokter ayahnya, dia y
Callista menoleh, ia segera bangkit dari sofa dan tersenyum lebar melihat kedatangan Rudi. Tentu dia tidak sabar membahas bagaimana rencana keberangkatan mereka besok. Callista sudah cukup bosan di unit ini! Sangat bosan sekali. "Kenapa?" Tanya Rudi dengan alis berkerut. Senyum lebar yang tergambar di wajah Callista sontak lenyap. Ia mengerucutkan bibir lalu kembali menjatuhkan tubuh di atas sofa. "Katanya tadi mau bahas rencana besok berangkat mudiknya. Aku nungguin dari tadi, Mas!" Desis Callista dengan wajah cemberut. Nampak Rudi ikut tersenyum, meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk di sofa yang tak jauh dari tempat Callista duduk. Callista menoleh, nampak wajah itu tengah mengamatinya. Senyum tipis di wajah itu membuat Rudi terlihat begitu indah dan enak dilihat. "Jadi, kamu serius mau ikut pulang?"Mata Callista melotot, jadi rengekan lewat sambungan telepon tadi masih membuat Rudi meragukan niatnya untuk ikut Rudi mudik? Astaga! "Mas, aku serius!" Tegas Callista dengan
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la