Rudi meletakkan ponselnya dengan lemas. Sudah tidak ada tiket tersisa dan ngotot mau ikut? Ini tentu jadi masalah serius! "Ah bawa mobil aja lah!" Gumam Rudi sambil memijit pelipisnya. Kenapa semuanya jadi rumit begini sih? Semua berawal dari niatnya menolong Callista. Tapi apakah Rudi salah? Gadis itu hanya dimanfaatkan orang tuanya saja dan dia tidak jahat. Hampir seminggu lebih tinggal bersama Rudi, belum ada hal-hal aneh nan berbahaya yang Callista lakukan.Rudi meraih ponselnya kembali, hendak menghubungi nomor telepon unit apartemennya. Tentu memberi Callista kabar bahwa dia harus mulai berkemas jika benar ingin ikut esok pagi. Tidak perlu menunggu lama, telepon itu sudah tersambung. Sapaan suara itu begitu lembur dan jangan lupa, sedikit antusias dari biasanya. "Halo? Gimana, besok boleh ikut, kan, Mas?" Tanyanya penuh semangat. Sebuah pertanyaan yang entah mengapa memberi getar lain di dalam relung hati Rudi. Kenapa Rudi begitu bahagia mendengar ceria suara itu? "Iya, ke
Gadis dengan perawakan mungil itu dengan tergesa-gesa menuju poli jantung, sikunya sedikit sakit bertabrakan dengan seseorang tadi, tapi dia sama sekali tidak peduli. Fokusnya sekarang hanyalah mencari sosok itu, sosok yang saat ini sangat dibutuhkan ayahnya yang terbaring di IGD sebuah rumah sakit swasta langganan keluarganya. Baginya, tidak ada yang lebih penting di dunia ini kecuali sang ayah. Cinta pertama dan satu-satunya yang dia miliki di dunia ini sekarang.Ayahnya mendadak demam, sesak napas dan nyeri dada. Belum lagi rasa sakit kepala, jantung berdegup kencang dan masih banyak lagi yang akhirnya membuat dia dengan mantab mengantarkan sang ayah ke IGD rumah sakit ini. Keluhan itu memang sudah lama ayahnya idap. Sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan, gejala sudah lebih ringan namun hari ini, sakit yang ayahnya derita makin parah. "Dokter Arga Yoga Saputra!" Desisnya sembari terus mengingat nama dokter yang harus dia cari. Dokter jantung itu adalah dokter ayahnya, dia y
Callista menoleh, ia segera bangkit dari sofa dan tersenyum lebar melihat kedatangan Rudi. Tentu dia tidak sabar membahas bagaimana rencana keberangkatan mereka besok. Callista sudah cukup bosan di unit ini! Sangat bosan sekali. "Kenapa?" Tanya Rudi dengan alis berkerut. Senyum lebar yang tergambar di wajah Callista sontak lenyap. Ia mengerucutkan bibir lalu kembali menjatuhkan tubuh di atas sofa. "Katanya tadi mau bahas rencana besok berangkat mudiknya. Aku nungguin dari tadi, Mas!" Desis Callista dengan wajah cemberut. Nampak Rudi ikut tersenyum, meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk di sofa yang tak jauh dari tempat Callista duduk. Callista menoleh, nampak wajah itu tengah mengamatinya. Senyum tipis di wajah itu membuat Rudi terlihat begitu indah dan enak dilihat. "Jadi, kamu serius mau ikut pulang?"Mata Callista melotot, jadi rengekan lewat sambungan telepon tadi masih membuat Rudi meragukan niatnya untuk ikut Rudi mudik? Astaga! "Mas, aku serius!" Tegas Callista dengan
Rudi melepaskan tautan bibir mereka setelah sepersekian detik bibir mereka beradu. Mata mereka begitu dekat, saking tatap tanpa sekalipun berkedip. Rudi kini bisa sedikit bernapas setelah beberapa detik yang lalu dia hampir kehabisan napas. "Bilang apa kamu tadi, Ta?" Tanya Rudi lirih, ia belum mau menjauhkan wajah. Jemarinya mengelus lembut bibir yang masih mengkilap basah itu. "Harusnya aku yang tanya ke kamu, Mas. Punya power apa kamu sampai-sampai aku bisa secepat ini luluh?"Rudi tidak menjawab, ia hendak menjauhkan wajah ketika tangan Callista malah melingkar ke lehernya. Menekan kepala Rudi agar Callista kembali meraih bibirnya dengan begitu lembut. Bibir mereka kembali bertaut, nampak tangan Callista bergitu posesif mempertahankan kepala Rudi semata-mata agar dia bisa dengan mudah menikmati bibir itu. Hingga pada detik selanjutnya, Rudi melepaskan bibir mereka, tangannya melepaskan tangan Callista yang menahan kepalanya. "Sudah malam, cepat tidur. Kita berangkat pagi-pagi
"Jangan lupa Dod, kirim terus follow up kamu ke saya. Saya bakal pantau terus!" Titah Arga pada salah satu residennya. "Baik siap, Dokter!" Dody, residen jantung tahun ke 3 itu mengangguk dengan mantab, mana bisa dia menolak perintah yang sudah Arga berikan kepadanya? "Ingat, awasi betul-betul. Kalau sampai kenapa-kenapa kita berdua juga yang kena, Dod!" Tegas Arga mengingatkan residennya itu. "Saya mengerti, Dokter."Arga mengangguk, menepuk pundak residennya itu. Ia lantas melangkahkan kaki keluar dari IGD. Resiko jadi dokter seperti ini! Tengah malam pun kalau mereka diperlukan, mereka harus datang! Dan itu yang Arga lakukan sekarang. Arga hendak melangkahkan kaki menuju mobilnya ketika sudut matanya menatap sosok itu. Gadis itu nampak mengenakan jaket pink dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat tinggi-tinggi, membuat wajah itu terlihat jelas begitu menggemaskan di mata Arga. "Key?" sapa Arga yang entah dari mana keberanian itu datang. Tapi apa salahnya? Dia dokter ayah ga
Arga menyusut air matanya, memaksakan diri tersenyum sambil menghela napas panjang-panjang. Kepalanya lantas menggeleng. Berusaha meyakinkan Kezia bahwa tidak ada hal penting dibalik lelehan air matanya. "Saya nggak yakin kalau Dokter baik-baik saja." Gumam suara itu lirih. "Lelaki biasanya paling jago menyembunyikan apa yang dia rasa. Menutupi kesedihannya, kalau sampai dia lantas menitikkan air mata, itu tandanya ada sesuatu."Arga terkekeh, entah keberanian dari mana tangan Arga lantas terulur dan mengacak gemas rambut Kezia. Macam mereka sudah kenal saja, dan sungguh itu semua di luar kendali Arga! "Agaknya pacar kamu banyak nih? Tau banget soal itu?" Goda Arga yang jujur juga merasa terkejut kenapa tangannya bisa seberani itu menyentuh Kezia. Kini tawa Kezia pecah, "Nggak! Saya belum berani pacaran malah. Saya bisa tau dari ayah, Dok. Ayah sering cerita dan bilang ke saya kalau sampai ayah itu nangis, artinya dia benar-benar udah nggak bisa lagi menyembunyikan perasaan dan mas
"Kamu semangat ya, Sayang. Aku balik duluan. Besok aku yang jemput karena Rudi udah balik kampung." Morgan tersenyum, tangannya mengelus pipi Clara dengan begitu lembut. Clara hanya mengangguk pelan, ia berdiri di depan pintu IGD yang untungnya malam ini aman. Morgan mengulurkan tangan, memberi kode Clara agar mencium tangannya seperti biasa. "Makasih, Sayang. Kamu hati-hati di jalan."Morgan tersenyum, ia lantas mendapatkan kecupan di puncak kepala Clara. Segera ia membalikkan badan, melangkah menuju di mana mobilnya berada. Morgan hendak masuk ke dalam mobilnya ketika kemudian ia melihat mobil itu berhenti. Itu kan .... Morgan bersembunyi di salah satu sisi mobil, itu mobil Arga! Untuk apa dia kemari? Ah ... Morgan lupa, ini rumah sakit! Arga dokter dan dia bekerja di sini. Jadi sudah jelas apa alasan yang membuat Arga lantas kemari. "Mau apa dia? Agaknya aku harus pastikan dulu!" Ujar Morgan para dirinya sendiri. Benar saja! Arga nampak keluar dari mobil dan yang lebih mengej
"Ta, bangun! Jadi mau ikut, kan?"Callista mengerjapkan mata, terlebih dia merasakan ada tangan yang membelai lembut pipinya. Ia dengan susah payah berusaha untuk segera membuka matanya. Benar saja! Sosok itu sudah duduk di tepi ranjang, pakaiannya sudah rapi dengan atasan polo dan celana jeans. "Jam berapa?" Tanya Callista lalu bangkit dan duduk. Matanya masih terasa begitu berat. Satu tangan menutup mulutnya yang menguap. "Jam lima. Tapi bukanlah aku sudah bilang kemarin kalau kita akan berangkat pagi sekali?" Senyum Rudi mengembang, membuat mata Callista auto melek seketika. "Kupikir aku masih bisa bangun barang beberapa jam nanti." desis Callista dengan tangan mengucek kedua mata. "Mandilah. Sarapan sudah siap, aku tunggu di depan!" Rudi bangkit, menjatuhkan kecupan di puncak kepala Callista. Sebuah kecupan yang lembut dan sedikit lama. Kecupan yang membuat Callista hampir terlonjak kaget. "Mandinya cepetan, oke?" Rudi mengelus pipi Callista dengan lembut. Melangkah keluar d